Yuk, Bermasyarakat Sehat di Media Sosial
Beberapa waktu terakhir ini, global warming melanda situs-situs jejaring sosial. Asap yang kebul-kebul
membuat kita harus siap dengan kipas, agar hawa panas itu bisa kita buang tuntas.
Maklum saja, ini musim politik. Siapa bilang musim di Indonesia cuma dua? Karena ternyata
bukan hanya musim hujan dan musim kemarau. Ada juga musim duren, musim rambutan, musim mangga ... juga musim politik. Jika pada musim rambutan kita direpotkan dengan
halaman yang dipenuhi buah rambutan busuk yang jatuh dari pohon, sampah-sampah kulit rambutan, atau sisa-sisa rambutan yang tak muat di lambung
karena kekenyangan, maka di musim politik pun kita direpotkan dengan aneka ‘sampah
informasi’ yang membuat beranda kita seringkali tak nyaman kita lihat.
Beberapa kenalan
mengaku merasa sangat terganggu dengan fenomena tersebut. Sebagian dari mereka
memilih puasa socmed, karena merasa
justru saat membuka socmed yang ada hanya hawa panas, hawa cekcok, berbantahan,
dan sebagainya. “Bayangkan, pulang kantor dalam kondisi penat, capek, lelah,
dan begitu buka Facebook, isinya cuma cekcooook melulu,” begitu kata seorang
kenalan dengan nada emosi.
Anehnya, terkadang
perseteruan di jagad maya itu ternyata mengalami hiper realitas. Saya mengalami
sendiri lho. Beberapa kali terlibat ‘cekcok’ karena diprovokasi oleh akun seseorang (bukan saya yang memulai,
lhooo :-p) tetapi saat bertemu, doski hanya senyam-senyum dan tak terlihat sama
sekali bekas kesangarannya. Saya sampai membatin, jangan-jangan akun orang itu
di-hack, lalu si hacker memposting berbagai status tanpa diketahui si pemilik akun.
Hihihi, beginilah fantasi seorang novelis!
ERA KETERBUKAAN
Fenomena ini
mungkin tak kita dapati pada musim politik sebelumnya. Penyebabnya kalau saya analisis ada beberapa
hal, pertama perkembangan dunia IT yang memungkinkan dunia dalam genggaman
kita. Batas-batas privasi menjadi lebur, dan informasi bahkan menguntit kita
hingga kamar mandi. Begitu bangun tidur, tanpa susah-payah kita bisa ‘melongok
dunia’ dan terhubung dengan orang lain hanya dengan membuka telepon seluler. Maka,
dunia yang luas, mendadak menjadi dusun kecil yang mengglobal—global village, meminjam istilah John
Naisbitt. Betapa enaknya kita berkomunikasi, berkirim foto atau video, guyonan
dengan teman yang berjarak ribuan kilometer dari rumah kita.
Karena itu,
situs-situs socmed dengan cepat merebut posisi popularitas tertinggi. Facebook
di negeri ini, saat ini menduduki situs paling populer, bahkan mengalahkan Google, search engine paling favorit
di kolong langit. Dengan demikian, masyarakat dunia nyata pun
berbondong-bondong membuka akun socmed, dan terciptalah masyarakat ‘maya’ yang hiruk-pikuknya tak
kalah ramai dibanding dengan Pasar Klewer. Apa yang terjadi pada sebuah
masyarakat, tentu menjadi topik yang juga dibincangkan. Coba Anda mendatangi
sebuah warung angkringan, saat terjadi duel El-Clasico antara Barcelona dengan Real
Madrid, pasti itu yang menjadi bahan diskusi para bapak sembari asyik menyeruput
teh nasgitel-nya (panas legi tur kentel). Yeiiy, para perempuan pecandu bola jangan bilang saya bias gender, ya? Begitu juga di beranda medsos, topik-topik
yang lagi ngetren pasti jadi inspirasi para status-ers. Saat musim politik, wajar
saja jika status yang paling populer adalah status politik.
Kedua, sebagian
kalangan menganggap socmed adalah lahan yang tepat untuk menyalurkan dissenting opinion-nya. Hal ini berawal
dari tudingan bahwa media-media mainstream mulai tidak netral, yang ditengarai dengan
keberpihakan para owner pada aliran
dan gerakan politik tertentu. Indikasi ini secara benderang bisa kita lihat.
Misal, MNC Group dimiliki oleh Harry Tanoe yang berafiliasi ke HANURA, TV One
dimiliki ARB yang berafiliasi ke Golkar, Metro TV ke Nasdem dan sebagainya.
Berbagai kalangan yang merasa bahwa media sudah tak bisa diharapkan menyalurkan
opini mereka, akhirnya memilih socmed.
Dalam satu sisi,
hal ini positif, karena suara-suara masyarakat menjadi lebih mengemuka, dan
juga menjadi koreksi dengan spidol tebal untuk media mainstream: bahwa mereka
rentan ditinggal masyarakat jika objektivitasnya mulai tereduksi. Saya sendiri, setuju dengan ide menyuarakan dissenting opinion lewat socmed. Tetapi, tentu saja 'syarat dan ketentuan berlaku'. Etika-etika jurnalistik harus tetap dipakai, meski yang memosting adalah pribadi lewat akun socmed-nya. Jadi, idealnya, socmed adalah media ekspresi para citizen jurnalism yang juga memegang teguh prinsip-prinsip semacam: memegang teguh kebenaran; cover both sides; disiplin verifikasi; dan sebagainya. Alih-alih disiplin verifikasi, terkadang saya melihat posting-posting hoax merajalela di beranda akun socmed.
Di sisi
lain, medsos yang mutlak dikendalikan akun-akun pribadi, benar-benar menjadi cerminan
pribadi tersebut. Pribadi yang matang, pintar, cerdas, berwawasan luas, memiliki
analisis yang ‘bening’, tentu akan memosting status-status yang sesuai dengan
kepribadiannya. Memiliki teman-teman seperti ini tentu sangat positif, karena ibarat penjual minyak wangi, kita akan kecipratan, minimal wanginya. Namun, pribadi yang labil, pemarah, tentu akan mudah marah-marah di
akunnya, demikian juga yang suka galau, senang menggosip, senang mencaci-maki
dan sebagainya.
YUK, SEHAT BER-SOCMED!
Dengan demikian, the choice is yours! (bukan lirik lagu).
Saya memilih
menjadi orang yang tidak mengambing hitamnya socmed, hanya karena ‘gue galau
lihat status elu!’ Socmed nggak salah, yang salah itu kita. Pada kenyataannya,
saya bahkan menemukan teman-teman yang baik, manis, hangat, mesra (jiaaah,
jangan diasosiasikan mesra yang ‘itu’), dari socmed.
Jadi, bagaimana
agar kita bisa ber-socmed dengan baik?
Pertama yang akan
saya lihat dari sebuah socmed tentu dengan siapa saya akan berteman. Pada
Facebook, scanning saya lebih detil.
Karena Facebook memang lebih digagas untuk sebuah interaksi yang lebih dalam
dan egaliter. Istilahnya saja ‘friend’.
Beda dengan Twitter yang istilahnya ‘follower’.
Kedua, saya akan
benar-benar memperhitungkan, apakah status saya akan berefek baik atau buruk
terhadap para tetangga saya di masyarakat maya. Sebab, satu masalah yang saya
keluarkan, akan menjadi masalah seluruh masyarakat maya. Maka, jika kita
sebenarnya hanya bermasalah dengan satu orang, mengapa kita tidak mencoba
melokalisir saja? Bukankah di Facebook sudah ada fitur inbox?
Ketiga, sebenarnya
socmed bukanlah dunia tanpa aturan. Sebagaimana masyarakat dunia nyata yang
memiliki pranata sosial, di socmed juga ada pranatanya. Unfriend, unfollow, block, dan sebagainya adalah salah satu pranata
yang bisa kita manfaatkan untuk menjaga harmonisasi. Kalau memang kita tidak
nyaman dengan sosok-sosok yang ada di masyarakat kita, mengapa tidak kita
gunakan piranti tersebut? Hanya saja, bagi saya, mencegah tentu lebih baik dari
mengobati. Memilih teman yang cocok dengan cara melihat terlebih dulu track-record si teman, menurut saya lebih baik daripada meng-confirm untuk kemudian meng-unfriend. Bagaimana
dengan Anda?
(Hak cipta @afifahafra79, boleh meng-share artikel ini atau meng-copas dengan mencantumkan sumber).
6 komentar untuk "Yuk, Bermasyarakat Sehat di Media Sosial"
Kadang kita lupa, yang ada di balik setiap status itu orang juga, sama kayak kita. Makanya saya kadang suka serem kalo liat perdebatan udah mulai personal attact. Atau ngeliat ada yang curhat berlebihan. Teknologi kadang berkembang lebih cepat dibanding perkembangan penggunanya. Sayangnya. ^^
Ini dia pangkalnya... kalau mengamati kemajuan teknologi dengan kemajuan peradaban manusia memang ada kontras yang jelas. Pada teknologi, ada pewarisan ide yang baik. Ada inovasi yang berkelanjutan.
Sementara, kebudayaan 'hanyalah' sejarah yang selalu berulang-ulang. Bangsa ini menguasai sebuah tempat,lalu datang bangsa lain, dan berbagai pranata sosial yang sudah ada dihancurkan.
Teknologi bergerak dari 1-2-3-4-5-6- dst.
Kebudayaan bergerak 1-2-1-2-1- dst.
Bisa dibayangkan, bukan, bagaimana jika orang berkebudayaan level satu menjalankan teknologi level 10?
Sebenarnya ada lah aturannya, sebab akibat banyak tercontohkan dari kasus2 yg menyeruak jadi perang publik.. aturannya jelas, jangan jadi pemicu dan jangan mudah terpancing masuk arus yg tidak perlu.. Aturan tersebut jika dilangggar akan ada efek tdk enak dalam diri sendiri atau orang lain..
Jauh dalam hati benar atau salah saya ini dlm mengungkapkan opini pada sebuah perdebatan.. setelah terperosok dalam debat itu jd nangis sendiri.. menyesal.
Wallahu a'lam.. nice posting mbak :)
(komen sebelumnya banyak saltik jd sy hapus hehehe..)
Bahkan, pada masyarakat yang beragam pun, kalau ada common will-- keinginan hidup bersama--bisa saja hidup berbarengan secara tertib dan teratur dengan cara 'bekerjasama dalam hal yang disepakati dan bertoleransi terhadap apa yang tidak disepakati', maka hidup akan damai sentiasa :-)
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!