Kreativitas, Epigonisme dan Plagiasi, Bagaimana Membedakannya?
Pernah pada
suatu masa, ribuan tahun silam, para tukang ternyata lebih dihargai ketimbang
para seniman. Berada di kubu terdepan penista para seniman adalah tokoh yang
sangat berpengaruh di Yunani saat itu, Plato, yang mengusir semua sastrawan dan
seniman dari negerinya. Murid Socrates ini sangat menganggap rendah para
seniman dan sastrawan. Apa pasal? Menurut Plato, seni itu rendah, karena hanya
merupakan sebuah mimesis-mimesos.
Tiruan dari tiruan, jiplakan dari jiplakan. Realita adalah mimesis—jiplakan dari yang asli. Sedangkan seni adalah mimesis dari
realita. Tukang dianggap lebih mulia, karena menciptakan realita, yang langsung
menjiplak dari yang asli.
Bagi Plato yang sangat mengagungkan ide-ide, seniman sama sekali bukan pekerjaan yang berguna, dan Athena akan hancur jika dipenuhi para seniman. Terlebih, kata Plato, seniman hanya mengagung-agungkan emosi, dan karya-karya seni tak berefek kepada penguatan rasio. Maka, jika masyarakat kelewat banyak mengonsumsi seni, negara ideal tidak akan bisa terbentuk di Athena.
Hal inilah yang
membuat banyak kalangan merasa heran. Mungkin Plato abai, bahwa saat meniru
sebuah realita, seorang seniman pun sebenarnya sedang menciptakan sesuatu yang
baru[1].
Inilah yang kemudian dikoreksi oleh murid Plato sendiri, yakni Aristoteles.
Menurut Aristoteles, Plato membuat kekeliruan besar. Seni tidak menjerumuskan
seseorang kepada kerendahan, justru seni sesungguhnya meluhurkan akal budi.
Saat seorang seniman membuat karya, dia tidak sekadar menjiplak realita, tetapi
juga sedang melakukan proses penciptaan
(kreasi) sesuatu yang baru. Bahkan, seni juga bisa menjadi sebuah katarsis—penyucian
jiwa. Jadi, kata Aristoteles, seni bukan sekadar copy.
Yang menarik,
dalam perkembangan kemudian, berbagai kalangan justru mengatakan bahwa
karya-karya Plato adalah termasuk dalam karya seni. Ternyata keterbatasan kita
dalam memberikan definisi sering menjadi awalan kita dalam berpikir sempit.
Dan nyatanya,
seni memang akhirnya berkembang. Seni bukan lagi sebuah proses mimesis. Di
bidang seni rupa misalnya, pada abad ke-19, para seniman lukis di Perancis
mulai menabrak aliran klasik berupa lukisan realisme/naturalisme. Mereka
menciptakan lukisan jenis impresionisme yang menekankan pada impresi cahaya.
Aliran impresionisme ini menjawab tantangan zaman seiring ditemukannya
teknologi fotografi, yang pada saat itu disebut-sebut akan mematikan seni lukis.
Hal ini
menunjukkan, bahwa seni memang lebih dari sekadar peniruan-peniruan dari sebuah
realita. Mari kita lihat pada seni tari. Misalnya tari Blambangan Cakil yang
berasal dari Jawa Tengah. Tari itu mengisahkan pertarungan Srikandi melawan
Buto Cakil. Jika seni disebut sekadar mimesis, bagaimana mungkin ada sebuah
gerakan bertarung yang begitu indah dan halus?
TEORI INTERTEKSTUAL
Bagi Plato yang sangat mengagungkan ide-ide, seniman sama sekali bukan pekerjaan yang berguna, dan Athena akan hancur jika dipenuhi para seniman. Terlebih, kata Plato, seniman hanya mengagung-agungkan emosi, dan karya-karya seni tak berefek kepada penguatan rasio. Maka, jika masyarakat kelewat banyak mengonsumsi seni, negara ideal tidak akan bisa terbentuk di Athena.
TEORI INTERTEKSTUAL
Pada zaman ini,
di mana karya seni sudah menjadi sebuah komoditi, unsur orisinalitas mendadak
menjadi permasalahan yang penting untuk dikaji. Terlebih, proses peniruan zaman
sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman Plato. Yang ditiru saat ini bukan lagi
jiplakan realita, tetapi—dalam bahasa Plato—adalah ‘jiplakan dari jiplakan’.
Semakin menarik, ketika seorang filsuf Rusia, Mikhail Bakhtin mengemukakan sebuah teori bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan.
Teori Bakhtin ini kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva menjadi sebuah teori yang disebut Intertekstual. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan; tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).[2]
Alasan dari Kristeva dipandang sangat masuk akal. Terlebih, banyak sekali teori yang menyatakan bahwa antara membaca dan menulis memang memiliki hubungan yang sangat kuat. Bahkan, ada seorang penulis yang mengatakan bahwa 75% pekerjaan seorang penulis adalah membaca. Adapun menurut Ismail Marahimin, membaca adalah ‘tenaga dalam’ seorang penulis.[3]
Semakin menarik, ketika seorang filsuf Rusia, Mikhail Bakhtin mengemukakan sebuah teori bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan.
Teori Bakhtin ini kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva menjadi sebuah teori yang disebut Intertekstual. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan; tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).[2]
Alasan dari Kristeva dipandang sangat masuk akal. Terlebih, banyak sekali teori yang menyatakan bahwa antara membaca dan menulis memang memiliki hubungan yang sangat kuat. Bahkan, ada seorang penulis yang mengatakan bahwa 75% pekerjaan seorang penulis adalah membaca. Adapun menurut Ismail Marahimin, membaca adalah ‘tenaga dalam’ seorang penulis.[3]
BETULKAH TAK ADA IDE YANG BENAR-BENAR ORISINAL?
Mendalami teori Kristeva, akan membuat kita bertanya-tanya: betulkah kebaruan dalam sebuah karya itu memang benar-benar ada? Apakah orisinalitas itu memang ada?Sebuah karya seni bermula dengan apa yang disebut oleh Alain Badiou—seorang pemikir Perancis, sebagai “kejadian” (atau l’événement). “Kejadian” itu seringkali cuma berlangsung sekilas; hadirnya pun misterius. Dan seringkali muncul dalam keadaan yang tak terduga-duga. Namun, kejadian ini bermakna sangat besar dari sebuah proses kreasi—baik dalam bidang seni, maupun bidang-bidang lain.
Hampir mirip dengan postulat Badiou barangkali adalah konsep ‘eureka’ Archimedes. Kita tentu tahu bagaimana seorang Archimedes berteriak “eureka!” dalam keadaan berendam di bak mandi dan berlari-lari dalam keadaan (maaf) telanjang, saat mendadak dia menemukan sebuah ide besar yang menjawab pertanyaan raja perihal keaslian emas yang melapisi mahkota sang raja.
Kita juga pernah mendengar bagaimana seorang Newton berhasil menemukan sebuah konsep besar yang menjadi awalan revolusi ilmu pengetahuan tentang teori Gravitasi hanya gara-gara buah apel yang jatuh dari pohonnya. Munculnya sebuah ide, memang seperti sebuah misteri tersendiri. Namun, jika kita memahami bagaimana sebuah kreasi muncul, sebenarnya proses ‘eureka!’ ini juga berawal proses kreatif yang panjang dari seorang penulis.
Proses penemuan ide ini mungkin akan menjawab pertanyaan di atas. Bisa jadi, memang tak ada yang benar-benar orisinal dalam sebuah karya. Akan tetapi, proses kreasi memang tidak ‘menuntut’ sesuatu yang benar-benar baru secara seratus persen.
Kreativitas, menurut The Liang Gie didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menciptakan penggabungan baru. Kreativitas akan sangat tergantung kepada pemikiran kreatif seseorang, yakni proses budi seseorang dalam menciptakan gagasan baru. Penggabungan baru itu dirumuskan oleh Haefele sebagai: A + B --> C
Hal ini disebut
sebagai proses bisosiasi, yakni yang menurut Arthur Koestler didefinisikan sebagai pengatuan dua alur
pemikiran yang sebelumnya tidak berkaitan.
Suatu saat, Anda
melihat lem dan serutan/ serbuk gergaji. Maka muncullah kreativitas untuk
menyatukan serbuk gergaji itu dengan lem, jadilah produk kayu lapis. Anda
melihat sepatu, lantas melihat sepeda. Maka terciptalah sepatu roda. Anda
melihat sampah plastik, lalu Anda melihat api. Terciptalah sebuah mesin yang
memproduksi plastik daur ulang. Anda melihat ceramah agama di masjid, lalu Anda
melihat orang bersenang-senang di sebuah cafe, maka terciptalah metode
berceramah ala cafe, yakni ceramah yang sekaligus untuk memasukkan nilai-nilai
agama, namun sekaligus menghibur.
Anda melihat ada
tanaman tomat, serta tanaman kentang. Lalu Anda menyambungnya. Akar hingga
bagian tengah adalah tanaman kentang, sedangkan bagian tengah hingga daun-daun
adalah tanaman tomat. Hasilnya adalah sebuah tanaman yang bisa menghasilkan
buah tomat sekaligus umbi kentang. Selain akan menghemat lahan, Anda juga akan
lebih efesien dalam merawat tanaman tersebut.
Kreativitas juga
bisa berupa merangkai dari banyak hal menjadi suatu hal baru. Persis seperti
seorang anak kecil yang merangkai keping-keping puzzle menjadi sebuah bentuk
yang utuh dan berwujud. Dan hakekat dari penciptaan yang dilakukan oleh manusia
memang hanya sekadar merangkai, menggabungkan materi dengan bentuknya, begitu
menurut Ibnu Rusyd. Penciptaan oleh manusia, bukanlah berasal dari sesuatu yang
tiada, is not creatio ex nihilo.
Bahan-bahan sudah tersebar di alam semesta, sebagian sudah tertulis di dalam
buku-buku, sebagian belum. Imajinasi kitalah yang kemudian merangkainya menjadi
sesuatu yang baru. Akan tetapi, ide awal dalam proses penciptaan inilah yang
sesungguhnya menjadi hal terpenting dalam sebuah karya.
Proses kreatif
seseorang itu sebenarnya juga merupakan pekerjaan yang tidak sim salabim. Menurut
Herman Helmhotz dan George Wallas, proses kreatif yang terjadi dalam kepala kita
bisa diringkas menjadi empat tahapan penting.
Persiapan: tahap
di mana individu bersangkutan mengumpulkan pengetahuan, informasi atau
data-data yang dijadikan bahan baku untuk penciptaannya. Tahap ini bisa memakan
waktu belasan bahkan puluhan tahun.
Inkubasi: proses
ketika kita menghadapi sebuah masalah yang membutuhkan pemecahan. Pengalaman
dan pengetahuan sangat berperan aktif dalam hal ini, karena bagaimanapun juga
kreativitas adalah kemampuan menciptakan kombinasi baru diatas struktur yang
lama
Iluminasi:
proses penemuan ide yang muncul ke permukaan. Proses inilah yang sering disebut
sebagai insight, saat kita merasa menemukan sesuatu yang ‘cling’! Atau yang
dalam bahasa Alain Badiou di atas disebut sebagai “kejadian” (atau l’événement)
Verifikasi: yakni
proses penjabaran ide secara terperinci. Mungkin di sinilah teori intertekstual
Julia Kristeva tersebut bermain. Kita mencari rujukan-rujukan, petikan-petikan
dan seterusnya dari berbagai teks yang kita baca. Akan tetapi, tanpa 3 tahap
yang berlangsung, mustahil kita bisa merangkai petikan-petikan itu menjadi
sebuah kepingan peristiwa yang menarik.
Terlebih, yang
akan dibagi oleh seorang seniman—termasuk sastrawan, adalah pengalaman estetik,
pengalaman artistik. Menurut Gunawan Mohammad pengalaman artistik ketika
menikmati sebuah karya seni, adalah sebuah situasi saat kita masuk ke dalam
pengalaman yang mengalir, ibarat turun ke sebuah sungai yang tak kita ketahui
apa namanya, tak kita ketahui di mana pula hilir dan hulunya. Yang kita ketahui
adalah arus yang bergerak tak henti-hentinya, menampung rakit yang mungkin ke
sebuah tujuan, tapi mungkin menampung anak yang berenang-renang tanpa arah.
Bisakah
pengalaman estetik itu dirasakan dari sebuah karya yang hanya merupakan
kumpulan rujukan-rujukan, tanpa adanya proses insight, tanpa adanya inkubasi,
dan juga tak ada ruh yang masuk di dalam sebuah karya?
TERINSPIRASI, EPIGONISME DAN PLAGIASI
Dengan
sedemikian rumitnya proses berkreasi, terbetiklah di benak, betapa lancangnya
sosok yang hanya sekadar menjiplak karya penulis lain dan mengklaim sebagai
karyanya sendiri.
Masalah
inspirasi, tentu sah-sah saja dalam sebuah proses kreasi. Seperti yang saya
kutip dari Ibnu Rusyd di atas: Penciptaan oleh manusia, bukanlah berasal dari
sesuatu yang tiada, is not creatio ex
nihilo. Yah, barangkali, kita sering merasa resah, karena kita ternyata
mendapatkan sebuah ide setelah membaca karya orang lain. Pokok keresahan kita
adalah, apa kita termasuk plagiator?
Josip Novakovich
menjawab tegas, tidak! Dalam buku “Berguru Pada Sastrawan Dunia” (terbitan
Kaifa), dia menganalogikan hal tersebut sebagai warisan. Ibaratnya kita adalah
orang yang mandiri, namun mendadak kita mendadak mendapat warisan dari orangtua
kita. Maka jika anda menerima warisan tersebut, anda akan terlihat bodoh jika
menyangkal keberadaan orangtua dan kakek-nenek kita. Akan tetapi, untuk
mendapatkan warisan, tentu kita harus menjadi ahli waris. Dan untuk menjadi
‘ahli waris’ kita harus bertekun dalam sebuah bidang yang sama, melakukan
proses persiapan dan inkubasi. Tanpa hal tersebut, bahkan berpuluh-puluh kali
kita membaca sebuah karya pun, kita tak mungkin akan mendapatkan proses
‘insight’.
Soal inspirasi
karya, Josip Novakovich memberikan contoh Homer yang mengarang The Odyssey dan The
Illiad yang berdasarkan laporan perang; Virgil yang menulis The Aeneid
berdasarkan karya Homer; Dante menulis The Inferno yang diilhami dari The
Aeneid dan seterusnya. Dan tidak ada yang mengatakan bahwa mereka adalah
plagiat.
Tetapi,
terinspirasi tentu sangat berbeda dengan epigonisme, apalagi plagiasi. Dalam
KBBI, epigon dimaknai sebagai orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya
mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya; sedangkan plagiat adalah
pengambilan karangan (pendapat dsb.) orang lain dan menjadikannya seolah-olah
karangan (pendapat dsb.) sendiri. Misalnya, menerbitkan karya tulis orang lain
atas nama dirinya sendiri.
Beberapa pekerja
kreatif menyebutkan bahwa epigon sesungguhnya hanya sedikit lebih baik daripada
plagiat. Dan epigon juga bukan sesuatu yang baik. Beberapa praktik epigonisme
yang sering kita lihat misalnya, dalam dalam soal merk. Seringkali
produk-produk tertentu membuat merk yang mirip-mirip dengan merk yang sudah
mapan. Misal, dulu zaman saya kecil ada merk sepatu EGEL, yang sepertinya
merujuk pada EAGLE. Lalu, saat ini ada kue dengan merk ORIORIO yang pastinya
merujuk pada OREO, dengan kemasan yang 90% sama. Saat novel karya Kang Abik,
Ayat-Ayat Cinta, meledak di pasaran beberapa tahun yang lalu, mendadak sebaris
panjang judul-judul novel yang hampir mirip, dengan alur cerita dan cover yang
juga sangat mirip, ikut membanjiri pasar… dan ikut laris.
Sepertinya,
praktik-praktik epigonisme ini memang banyak sekali terjadi, hampir di semua
lini kehidupan. Pernah dalam sebuah perjalanan, saya melihat sekitar satu lusin
orang berjualan bensin di depan rumahnya dengan jarak satu sama lain tak sampai
seratus meter. Demikian juga, ketika bisnis konter HP muncul, mendadak ratusan
konter serupa bersembulan bak jamur di musim hujan.
Jadi, sekali lagi,
bisa dikatakan, proses mimesis juga terjadi pada zaman sekarang. Hanya saja,
jika zaman Plato mimesis itu menjiplak dari realita, maka mimesis zaman
sekarang adalah menjiplak karya yang sudah ada. Jika Plato bangkit dari alam
kubur, mungkin dia tak hanya akan mengusir para seniman, tetapi membunuhinya.
Karena praktik epigonisme dan plagiarisme bukan lagi sekadar menjiplak
jiplakan, tetapi menjiplak jiplakan yang juga merupakan sebuah jiplakan.
Afifah Afra. Lahir di Purbalingga, 18 Februari 1979. Tinggal di
Kota Surakarta. Sehari-hari beraktivitas mengelola penerbit PT Indiva Media
Kreasi, sekaligus juga bergiat di Badan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena
sebagai Ketua Umum Periode 2017-2021. Website: www.afifahafra.net.
Akun Twitter: @afifahafra79.
[1] Luxemberg, Jan Van dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:
Gramedia (Diterjemahkan oleh Dick Hartoko).
[2] http://www.academia.edu/3485153/Teori_Intertekstual_Pengantar_
[3]
Ismail Marahimin, 2001, Menulis Secara Populer, Pustaka Jaya, Jakarta
Posting Komentar untuk "Kreativitas, Epigonisme dan Plagiasi, Bagaimana Membedakannya?"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!