Dijodohin? Siapa Takut?!
PENGANTAR: Saat buka-buka file jadul, saya menemukan tulisan ini. Ada keterangan bahwa tulisan ini dibuat tahun 2004. Tulisan ini saya buat karena diminta Mas Ali Muakhir dari DAR Mizan, untuk dibukukan bersama para penulis-penulis lain. Jadi, inilah kisah perjodohan saya. Silakan dibaca, semoga bisa diambil hikmahnya :-)
__________________________________
Pas masih SMU dulu, saya
benar-benar sangat ngeri dengan istilah perjodohan serta berbagai macam
perniknya. Perjodohan? Bayangkan! Kok kesannya kuno banget, ya?! Kayak zamannya
Sitti Nurbaya. Bagaimana jika saya dipaksa nikah sama Datuk Maringgih? Duda tua
yang kaya raya tetapi tengilnya minta ampun. Hii, takut! Mending nggak
usah nikah, deh?
So, bagaimana bentuk pernikahan
yang saya inginkan saat itu? Yach, like the others, cari jodoh sendiri.
Pacaran. Gagal dengan yang satu, cari yang lain. Kan bisa lebih bebas, begitu
pikiran saya.
Tetapi, setelah saya aktif di
pengajian kampus, mentor saya dalam soal agama bilang, bahwa dalam Islam itu
tidak ada pacaran. Karena pacaran itu mendekatkan seseorang kepada zina.
Padahal zina adalah termasuk dalam kategori dosa besar. Apalagi pacaran itu
juga penuh dengan berbagai jenis kepura-puraan. Buang-buang energi, bikin
ibadah nggak khusyu dan sebagainya.
Wah, gimana dong?!
“Trus, gimana caranya biar aku
dapat suami?” Tanya saya waktu itu.
“Gampang!” Jawab beliau,
enteng. “Dijodohin!”
Haaa?! Gubrak! Dijodohin? Kayak
Sitti Nurbaya dong.
Eh, tetapi ternyata perjodohan
yang dimaksud mentor saya itu, bukan sembarang perjodohan lho. Kok bisa? Coba
deh, simak kisah ‘perjodohan indah’ antara saya dengan suami saya. Dijamin
seru!
Dimulainya saat deg-degan
Ada sebuah kisah ‘ajaib’
tergores di lembar-lembar catatan harian sebelum saya menikah. Saat itu, saya
sedang melintas di koridor Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Muwardi
Surakarta. Seorang wanita pengamen yang menjadi binaan saya barusaja melahirkan
di rumah sakit milik pemerintah tersebut. Karena ia juga mengidap penyakit TBC,
Rumah Bersalin yang kami datangi menolak menangani proses kelahirannya. Jalan
terbaik, masuk rumah sakit. Kalau ada komplikasi, penangannya kan lebih cepat,
soalnya banyak dokter di berbagai spesialisasi yang bisa dilibatkan. Saya
memang aktif di Seroja, sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan
perempuan pinggiran.
Nah, dalam kondisi letih,
serombongan mahasiswa profesi kedokteran (koas) tiba-tiba lewat. Nah, satu dari
mereka adalah… sesosok pria yang melintas di depan saya. Pria itu memakai jas
putih, berjalan dengan pandangan tertunduk.
Dan plass…!!
Seperti ada aliran listrik berpuluh watt yang datangnya entah dari mana, hati
saya mendadak kesetrum. Lalu sebuah pikiran tiba-tiba melintas, “Jangan-jangan
ini calon suami saya, nich!”
Padahal, saya benar-benar
belum mengenal, who is that man?
Tapi Sobat, lelaki itu…,
ganteng juga lho! Kayak Aktor film India yang lagi nyebur di parit. Hehe…
Apakah ini sebuah
firasat? Bisa jadi.
Surprais!!
Cerita seru saya
berlanjut lagi, Saudara-saudara! Berjarak beberapa hari dari peristiwa aneh
tersebut, saya dipanggil oleh guru ngaji saya. Suer, saat itu saya merasa biasa-biasa
saja. Tidak punya firasat apapun saat itu. Padahal pertemuan saya dengan guru
ngaji saya tersebut, adalah sebuah awalan dari peristiwa besar yang akan saya
alami.
“Yen, ini ada ikhwan yang
bermaksud menggenapkan separuh dien!”
What? Ikhwan?
Lantas sebuah amplop
berwarna cokelat yang berisi ‘proposal nikah’ sang ikhwan pun kuterima. Dengan
sepenuh gemetar, saya membuka proposal tersebut. Ada lembar bio data dengan
berbaris tulisan yang cukup rapi untuk ukuran seorang ‘cowok’, beberapa lembar
gambaran tradisi keluarga, proyeksi masa depan serta… selembar foto ukuran post
card. Sekilas saya pun membaca lembaran-lembaran tersebut.
Ahmad Suprianto? Siapa
dia? Nama itu tak ada dalam memori saya. Memang saya punya beberapa kenalan
yang bernama Ahmad, di antaranya adalah suami seorang penjual rujak langganan
saya di kampung, tetapi Ahmad-Ahmad yang saya kenal tersebut, bukanlah sosok
yang biodatanya tengah saya pelajari. Sayangnya, profesi Ahmad yang ini
bukannya penjual rujak, padahal saya hobi makan rujak lho… hehe.
Akhirnya, meskipun dengan
malu-malu, saya pun meraih foto tersebut.
Rabbi…!! Nyaris saya
berseru. Lelaki yang ada di foto itu, adalah sosok yang saya jumpai di koridor RSU Muwardi beberapa
hari yang lalu.
Ta’aruf Supersingkat
Dalam kondisi takjub,
setelah memohon petunjuk kepada Yang Maha Pemberi Petunjuk, ternyata batin saya
dikuatkan untuk menerima proposal nikah tersebut. Mulailah sebuah fase baru,
yaitu perkenalan alias ta’aruf. Untuk proses ini, guru ngaji dan suaminya
bersedia menjadi mediator. Kebetulan ta’aruf tersebut memang berlangsung di
rumah beliau.
So, jangan
bayangkan ta’aruf itu berlangsung di sebuah restoran yang romantis, dengan
hidangan makan malam yang nikmat, alunan musik klasik, liukan nyala lilin dan
aroma bunga mawar. Jangan pula dibayangkan saat ta’aruf kami cuma berduaan
saja. Wah, itu namanya berkhalwat. Dua orang berlainan jenis, jika tengah
menyendiri di sebuah tempat yang sepi, yang ketiganya adalah syetan.
Nah, saya benar-benar merasa panas dingin saat itu.
Mau ketemu calon suami, euy! Padahal saya belum kenal sama sekali, siapa
dia? Boro-boro kenal, dengar namanya saya tidak pernah. Kalau dia, mungkin
sekali kenal. Paling tidak, pernah dengar nama saya. Kan saya ini lumayan
terkenal, hehe…
Maka, pada sebuah hari yang
gerimis, saya pun untuk pertama kali melihat sosoknya. Ya, ampuun, orangnya
kurus sekali. Yang gede cuma
matanya doang. Rajin puasa kali, ya?! Tapi sayangnya, dia nunduk terus. Jadi
sia-sialah usaha saya untuk curi-curi pandang. Saya pikir, nggak ada salahnya
kan, curi-curi pandang. Kalau tidak paham betul parasnya, bagaimana kalau pas
nikah besok salah orang, keliru sama kakak atau ayahnya barangkali, kan barabe,
ya?!
Saya sudah membayangkan sebuah
ta’aruf yang panjang lebar, memakan waktu lama dan sebagainya. Because,
kami kan sama-sama belum kenal. Apalagi, saya sering mendengar kisah-kisah
ta’aruf yang lumayan heboh. Misalnya, ada calon suami yang sampai menguji
kepada sang akhwat, berapa harga lombok, minyak atau tomat satu kilo; ada yang
sampai meminta sang akhwat muraja’ah (mengulang hafalan) juz ‘amma; Ada
juga yang menanyakan detail-detail keseharian, seperti warna kesukaan, makanan
kesukaan dan sebagainya. So, saya pun telah mempersiapkan segala
sesuatunya dengan lumayan panik.
Tetapi apa yang terjadi,
Saudara-saudara?! Cuma ada 3 butir pertanyaan dari dia yang saya jawab dengan
singkat, serta 5 butir pertanyaan dari saya yang juga ia jawab dengan singkat
pula. Apa yang kami tanya-jawabkan? Just hal-hal superprinsip, seperti,
“Boleh nggak saya nanti kuliah lagi?” dan sebagainya.
But, meski cuma ada 8 pertanyaan
yang bergulir, dan hanya memakan waktu kurang dari setengah jam, kami
memutuskan untuk maju terus.
Ta’aruf Keluarga
Setelah proses ta’aruf pribadi,
babak selanjutnya adalah ta’aruf keluarga. Rencananya, rombongan keluarga mas
Ahmad (calon suami saya) akan datang ke rumah saya. Waah, persiapannya heboh
betul! Sejak hari sebelumnya, ibu sudah belanja, dan saya yang disuruh memasak.
“Biar calon mertuamu tahu kalau
kamu pinter masak!” begitu kata Ibu. Aku cuma garuk-garuk kepala yang memang
rada gatal, habis belum keramas. Sebenarnya sih, saya tidak terlalu bisa
memasak. Cuma karena sering disuruh membantu memasak, ya… bisalah, dikit-dikit.
Saat itu saya memasak sup,
tumis sawi campur bakso dan ayam goreng. Tak lupa, ada juga sambal plus
lalapnya.
Ta’aruf keluarga berjalan
meriah. Soalnya, baik keluarga saya maupun keluarga Mas Ahmad, ternyata
sama-sama senang ngobrol. Jika ada yang tidak banyak bicara saat itu, dia
adalah saya sendiri, juga Mas Ahmad, tentu saja. Dari ta’aruf keluarga itu,
ditetapkanlah hari pernikahan saya. 30 November 2003. Saya cuma bisa menelan
ludah, satu setengah bulan lagi status saya berubah.
Nah, setelah ta’aruf, acaranya
adalah makan-makan. Tahu tidak, masakan yang persiapkan dengan sepenuh hati itu
ternyata… keasinan! Maka berbagai guyonan pun terlontar. “Wah, yang masak udah
pengin nikah, nich…!!”
Nggak tahu deh, bagaimana paras
saya saat itu. Merah, kuning, ijo?
Akhirnya, Hari Pernikahan Itu pun Tiba
Kami sepakat, pernikahan akan dilakukan dengan
sederhana. Tetapi meskipun begitu, pelaksanaannya ternyata meriah juga.
Apalagi, sebuah grup musik rebana di kampung saya juga ikut berpartisipasi
membuat semaraknya acara.
Nah, Sobat… Kami melangsungkan akad nikah di Masjid
Uswatun Hasanah dalam suasana yang penuh haru. Saat itu, jujur saja… saya
menangis terisak-isak. Why? Yach, saya ngerasa ajaib saja. Hanya dengan
ucapan “Ya Ahmad Supriyanto bin Noto Hadiwardoyo, aku nikahkan kau dengan
anakku Yeni Mulati binti Sucipto dengan mas kawin Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
tunai!”
Yang disambut dengan ucapan, “Saya terima nikahnya
Yeni Mulati binti Sucipto dengan mas kawin tersebut.”
Maka status saya resmi, menjadi istri orang!
Artinya, seabrek hak dan kewajiban kini melekat di pundak saya. Dan saya harus
hidup bersama seorang lelaki yang belum saya kenal sebelumnya.
That’s miracle! Iya, kan?
Dan kini... tiga bocah ceria dan lucu telah diamanahkan kepada kami. Pernikahan dari perjodohan ternyata berbuah manis dan insya Allah barakah... |
Dijodohin, Why Not?!
So, apa salahnya dijodohin? Saya juga objek
perjodohan, tetapi pernikahan berlangsung dengan baik-baik saja tuh!
Tapi, nggak sembarang
perjodohan kita terima lho. Ada syarat-syaratnya. Pertama, dari
kita sendiri. Kita harus memiliki tujuan, bahwa pernikahan yang akan kita
lakukan adalah dalam rangka menggapai keridhaan Allah. Bukan tujuan-tujuan
lain, misalnya pengin kaya, takut dibilang perawan tua, dan sebagainya.
Kedua, dari pihak perantara, alias
yang menjodohkan. Pihak ini harus benar-benar orang yang bisa kita percaya
memiliki akhlak dan pemahaman agama yang bagus. Jika perantara kita orang yang
benar-benar faqih, maka yakin deh… bahwa dia tidak akan sembarangan
mencarikan jodoh buat kita. Masak kita akan dipilihkan pasangan yang
berantakan. Iya nggak?
Ketiga, prosesnya tidak boleh ngawur.
Harus berjalan sesuai syariah. Misalnya, saat ta’aruf, kita tidak boleh cuma
berduaan sama calon. Terus kita juga wajib berkata jujur. Kita harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan calon kita apa adanya. Nah, beda banget kan
sama pacaran. Dalam pacaran, yang ada kepura-puraan doang!
Keempat, kita harus yakin, bahwa semua
orang pasti punya jodoh, karena Allah menciptakan segala sesuatu itu
berpasang-pasangan. Dan jodoh itu pasti selevel dengan kita. Artinya, jika kita
orang baik, maka jodoh kita pasti juga baik. Jika kita orang yang bandel, jodoh
kita pasti bandel. Makanya, biar kita bisa punya pasangan yang oke, kita juga
harus oke duluan!
Terakhir, kita harus meyakini bahwa
jodoh itu urusan Allah. Perjodohan itu hanya ikhtiar yang dilakukan oleh
manusia. Dan kita tahu, sebaik-baik pembuat rencana, adalah Allah Rabbul
‘Izzati. Pernah ada seorang teman, prosesnya sudah sampai khitbah (lamaran),
ternyata perjodohan itu gagal. Padahal baju pernikahan sudah disiapkan, dan
undangan pun sedang dicetak. Kasihan dia…
Demikianlah…
Semoga kisah pernikahan saya bisa diambil
hikmahnya. Amiin.
21 komentar untuk "Dijodohin? Siapa Takut?!"
Semoga Mba Afra dan keluarga dilimpahkan keberkahan, Aamiin 😊
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!