Media Sosial dan Hiperrealitas
Dunia telah berubah sangat cepat dalam satu dasawarsa
terakhir ini. Yang paling jelas terlihat, tentu saja teknologi informasi, di
antaranya internet. Dari web berplatform 1.0 yang membuat penyedia konten hanya
bisa memberi konten tanpa adanya feedback,
sekarang berkembang web 2.0 yang memungkinkan penyedia konten dan pembaca
saling berinteraksi secara aktif. Media-media yang menggunakan model web 2.0
adalah yang kita kenal dengan media sosial, di antaranya yang paling kita kenal
adalah Facebook, Twitter dan sebagainya. Meski di dunia Facebook menduduki
peringkat kedua website paling populer (di bawah Google sebagai website nomor
satu), di Indonesia, Facebook menduduki peringkat pertama website yang paling
banyak diakses.
Gambar diambil dari http://www.kilkku.com/blog/wp-content/uploads/2011/08/Social_media_icons_by_Paulo_Goode.jpg
Keberadaan media-media sosial, ternyata menciptakan
fenomena baru yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Fenomena yang paling jelas
adalah hiperrealitas. Jean Baudrillard, seorang sosiologis ternama dari
Perancis, dalam bukunya “Simulacra and
Simulation”, menyebutkan bahwa hiperralitas adalah sebuah konsep dimana
realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan
permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (hyper-sign). Hiperrealitas adalah
suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, tercampur-baur. Masa
lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda
melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Hiperrealitas
menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi (tiruan yang mirip
dengan aslinya). Simulasi itu menciptakan simulacrum
(jamak: simulacra), didefinisikan
sebagai image atau representation. Hiperrealitas membuat
orang akhirnya terjebak pada simulacra,
dan bukan pada sesuatu yang nyata.
Nicolas Carr menyebut hal ini sebagai citra kamuflase.
Dalam buku The Shallows: What the
Internet Is Doing to Our Brains, Carr mengejutkan publik, karena
mengeluarkan teori bahwa kehidupan digital (baca internet) telah mendangkalkan
cara berfikir manusia. Salah satu mengapa pikiran menjadi dangkal, adalah
karena citra-citra kamuflase tersebut. Orang terbiasa hidup dalam alam yang
bukan realitas, tetapi hiperrealitas. Terlebih di media sosial. Orang bisa
mencitrakan dirinya sesuka hati, sehingga citra yang muncul benar-benar
positif. Sebagai contoh, saya pernah “tertipu” dengan seorang pemilik akun
sosial media yang terlihat begitu imut dan cantik, tetapi setelah bertemu,
ternyata (maaf) penampilannya biasa-biasa saja.
Bagi saya, tentu itu bukan masalah, karena saya tak
pernah beranggapan bahwa keindahan fisik adalah sesuatu yang sangat penting.
Tetapi, bagaimana jika hal tersebut terjadi pada seorang pemuda yang
tergila-gila karena melihat tampilannya di facebook dan karena itu memutuskan
untuk melamarnya? Apakah ada yang salah dari apa yang dia lakukan? Bukankah
wajah itu memang wajahnya? Dan foto itu memang fotonya? Tak salah. Tetapi, foto
itu dia pilih dari sekian ratus foto yang dia miliki, dan telah diedit
sedemikian rupa sehingga terlihat begitu cantik, putih, mulus tanpa jerawat.
Demikian juga dalam masalah karakter. Dalam media
sosial, kita akan bisa melihat seseorang begitu bijak, penuh kehangatan,
berwibawa dan sebagainya, ternyata itu hanya kamuflase. Lagi-lagi, saya pernah
memiliki kenalan yang memiliki citra sangat positif. Tampan, sukses,
berpendidikan tinggi. Dan dia telah berkeluarga. Alangkah kagetnya ketika saya
mendapatkan laporan dari beberapa teman perempuan yang sangat saya percayai,
bahwa lelaki itu ternyata sering menggoda mereka. Kata teman-teman perempuan
saya, “Jangan kaget, ketika dalam satu waktu lelaki itu meng-upload foto keluarganya yang terlihat
begitu harmonis, dalam waktu yang sama dengan sedang chatting merayu calon korban.”
Di kesempatan lain, saya juga terkaget-kaget mendengar kisah seorang kawan yang memilih bercerai karena pasangannya selingkuh dengan seseorang pembicara
publik memiliki citra sangat bagus. Ada juga pasangan yang telah menikah
puluhan tahun, ternyata berpisah gara-gara salah satu di antara mereka terpikat
dengan mantan pacarnya yang juga sudah puluhan tahun tak bertemu dan mendadak
bertemu di media sosial. Si mantan pacar dipandang sangat romantis dibanding pasangan syah yang telah puluhan tahun mendampinginya dengan setia.
Fenomena ini tentu membuat kita mengelus dada. Dalam
dosis-dosis yang lebih rendah, kita pun bisa melihat hal-hal yang sebangun.
Misal, suami istri yang terlihat begitu mesra di media sosial, saling ber-say hello, mengumbar kata-kata mesra,
tetapi ternyata di kehidupan sebenarnya mereka garing. Bagaimana orang-orang
saling sapa, saling berkomentar, saling curhat dengan kawan-kawannya begitu
akrab, ternyata mereka aslinya belum benar-benar saling mengenal. Padahal
mereka sering menggunakan ikon-ikon yang akrab, seperti pelukan, kedip mata,
ciuman, mata penuh cinta (gambar love) dan sebagainya. Sebaliknya, ada akun-akun
yang di sosial media selalu bertengkar seperti anjing dan kucing, melakukan twitwar, salik blok dan remove, ternyata begitu bertemu,
sama-sama diam dan hanya senyum-senyum kecut satu sama lain.
Apa bahaya itu semua? Sangat mengerikan! Karena, hiperrealitas
membuat akhirnya kita juga berada dalam kehidupan yang penuh kamuflase.
Akhirnya, kita pun akan terseret pada sesuatu yang sebenarnya bukan sebuah
kenyataan. Memilih pemimpin yang (terlihat) baik, memiliki kawan yang
(terlihat) ramah, relasi bisnis yang (terlihat) bisa dipercaya, bahkan juga
mencari jodoh yang (terlihat) sempurna.
Benar sekali kata senior saya, Mas Gola Gong, bahwa
beliau selalu berdoa memohon keselamatan, bukan hanya di dunia dan akhirat,
tetapi juga di ruang maya alias social
media. Sepertinya, saya juga harus mengikuti langkah beliau. (Ingin
berinteraksi, silakan follow akun @afifahafra79).
(Dimuat di Majalah Nurhidayah Edisi Mei 2015)
__________
__________
INFORMASI BUKU-BUKU TERBARU SAYA (TERBIT TAHUN 2015)
1. Nun, Pada Sebuah Cermin. Novel, Terbitan Republika.
2. Akik dan Penghimpun Senja. Novel, Terbitan Indiva Media Kreasi.
3. Sayap-Sayap Mawaddah, Non Fiksi Pernikahan, Terbitan Indiva Media Kreas
Pemesanan Online klik SINI atau SMS/WA: 0878.3538.8493
13 komentar untuk "Media Sosial dan Hiperrealitas"
Perkenalkan saya andreas, mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di jakarta. Saat ini saya sedang menyusun skripsi mengenai Perilaku Gambling (lebih mudah untuk dipahami adalah perilaku orang yang suka mengikuti kuis atau kompetisi sejenis di media sosial).
Kalau anda tidak keberatan, bolehkan saya mengetahui id media sosial anda untuk keperluan pengumpulan data. Jika berkenan mohon emailkan id media sosial anda via mr.andreaz02@gmail.com nanti akan kita lanjutkan lagi dengan perbincangan yang lebih tertutup lagi. terima kasih sebelumnya.
Silakan lihat di bawah header blog ini, ada tombol yang menuju akun media sosial saya...
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!