Catatan Kecil Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) 2017 #Bagian 2
Mendikbud, di akhir acara panel pertama, akhirnya hadir juga di Munsi 2017 |
Untuk mempermudah, silakan baca terlebih dahulu bagian pertama tulisan ini
Usai pembukaan, panel pertama pun dimulai. Ada 3 pembicara
hebat yang mengisi panel bertajuk: “Sastra dan Kebinekaan”, yaitu Janet de
Neefe, Ignas Kleden, dan sastrawan Radhar Panca Dahana. Panel dimoderatori oleh
Sastri Sunarti dari Badan Bahasa. Pastilah pembaca sekalian mengenal nama-nama
panelis tersebut, bukan? Jika belum, saya ulas biografinya sedikit.
Janet de Neefe adalah Founder & Director dari UWRF (Ubud
Writers & Readers Festival). Beliau lahir di Melbourne dan menetap di Bali
dan menjadi WNI sejak 1984. Sebagai tanggapan atas Bom Bali yang membuat Bali
terguncang, Janet mendirikan UWRF pada tahun 2004.
Dr. Ignas Kleden, M.A., juga nama yang tak kalah terkenal. Beliau
adalah sastrawan, sosiolog, cendekiawan, dan kritikus sastra kelahiran Flores. Tulisannya
banyak dimuat di Kompas, Tempo, dan juga pernah menjadi editor senior di
Yayasan Obor. Beliau merupakan peraih Penghargaan Achmad Bakrie pada 2003.
Sedangkan Radhar Panca Dahana, adalah sastrawan yang juga
sudah lama malang melintang di jagad kasusastran Indonesia. Beliau saat ini
merupakan pengampu rubrik Gagasan di Harian Kompas dan juga mengajar di
Universitas Indonesia.
Sebagai pembicara pertama, dalam bahasa Inggris yang
diterjemahkan Luh Anik Mayani dari Badan Bahasa, Janet menceritakan asal muasal
kemunculan Ubud Writers and Readers Festival yang dia inisiasi sejak 2004. Janet
ingin menepis anggapan dunia tentang Bali yang suram pasca pengeboman yang
merengut nyawa ratusan warga asing pada 12 Oktober 2002. Upaya Janet menuai
hasil. Saat ini, UWRF merupakan salah satu event sastra paling bergengsi di
Indonesia, dan juga menuai pujian dari banyak kalangan di luar negeri.
Ada dua hal penting yang diungkapkan Janet terkait
perkembangan sastra di Indonesia. Menurut beliau, perkembangan sastra Indonesia
terkendala oleh dua hal. Pertama, penerjemahan karya-karya penulis Indonesia
dia rasa sangat kurang, sehingga tulisan karya orang Indonesia kurang dikenal
di luar negeri. Janet mencontohkan tentang upaya penerjemahan karya sastra di
Amerika Selatan dalam bahasa internasional, yang ternyata mampu mengangkat
popularitas karya sastra di negara-negara tersebut.
Kedua, perlu adanya editor andal yang bisa membuat karya-karya
penulis Indonesia menjadi semakin bagus. Untuk poin kedua ini, saya ikut
merasakan. Mencari sosok yang mampu melatih diri menjadi editor hebat di negara
ini memang sangat sulit. Kebanyakan lebih memilih menjadi penulis ketimbang
editor. Seorang teman editor pernah mengatakan, wajar kalau banyak yang tak mau
menjadi editor, lha wong penghargaannya
sangat minimalis. “Di event-event penghargaan kepenulisan, misalnya, apa ada
penghargaan khusus editor? Yang ada ya penulis, penerbit, dan paling banter
ilustrator dan desain cover,” ujar teman saya tersebut.
Padahal, editor yang benar-benar profesional sangat
dibutuhkan untuk mempertajam karya-karya para penulis. Menjadi teman sharing
yang menyenangkan, mencari-cari kekurangan untuk diperbaiki, celah-celah untuk
ditutup dari sebuah karya sastra.
Selain kedua hal tersebut, Janet juga berpendapat, bahwa
Indonesia perlu lebih banyak menyelenggarakan ajang-ajang penghargaan terhadap
penulis. Beliau mencontohkan, bahwa di Australia sangat banyak ajang tersebut,
sementara di Indonesia sangat minimalis.
Apakah Anda setuju dengan pernyataan Janet tersebut? Kalau
saya sih, setuju sekali.
Panelis kedua adalah Pak Ignas. Terasa asyik, karena beliau
membekali diri dengan makalah setebal 14 halaman dengan judul “Sastra dan
Kebinekaan.” Beliau mencoba membagi makalah tersebut dalam tiga persoalan,
yaitu analisis hubungan antara sastra dan kebinekaan, kebijakan pemerintah
terhadap sastra dan hubungannya dengan kebinekaan, serta advokasi peran sastra
dalam mendukung atau memperkuat kebinekaan. Akan tetapi, beliau memfokuskan
pemaparannya pada hal yang pertama, yaitu hubungan antara sastra dan
kebinekaan.
Baik, saya coba peras intisari pemaparan Pak Ignas, ya.
Ada dua pengertian kebinekaan, yaitu heterogenitas dan
pluralitas. Heterogenitas, ringkasnya adalah bineka karena given, karena ada
secara alamiah, misalnya kebudayaan. Dalam hal ini, budaya Indonesia sangat
heterogen, berbeda dengan Jepang atau Jerman yang relatif homogen, misalnya.
Sedangkan pluralitas adalah bineka karena adanya unsur-unsur perjuangan,
penjagaan, negosiasi dan sebagainya. Di sinilah kemudian muncul adanya dominant culture, contohnya kebudayaan
Jawa yang diserap pengaruhnya dalam birokrasi Orde Baru.
Sastra sendiri, merupakan bentuk dari pluralitas. Menurut Ignas Kleden, karya sastra selalu mengalami
kebinekaan dalam bentuk dan isi, dalam tafsir dan makna, dan dalam konteks yang
selalu dinamis dalam sifatnya. Maka, menurutnya, sastra adalah dunia
pluralitas. Dalam sastra, kebinekaan bukan saja dimungkinkan, tetapi juga
dirayakan.
Radhar Panca Dahana yang berbicara di sesi ketiga memecah
suasana yang semula relatif hening dan serius menjadi panas dan bergairah. Ada
beberapa hal yang beliau sampaikan, di antaranya kaitan menjelaskan sumpah
pemuda sebagai salah satu fenomena penghargaan kebinekaan yang sangat hebat. “Saya ingin tahu, apa yang mendorong para pemimpin
di daerah-daerah untuk datang ke sumpah pemuda dalam bersatu dalam sumpah
pemuda,” ujarnya. Sebab, apa yang terjadi dalam sumpah pemuda, bagi Radhar
adalah sesuatu yang luar biasa. Mereka menyatakan satu tanah air, satu bangsa
dan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Sementara, mereka memiliki latar
belakang yang sangat heterogen.
Radhar juga menegaskan, bahwa sumpah pemuda tercipta karena
gerakan budaya. “Di sumpah pemuda tidak ada organisasi politik, yang ada
organisasi-organisai budaya. Orpol nggak ada saham dalam sumpah pemuda,”
teriaknya, lantang, diikuti tepuk tangan sebagian peserta. Mungkin pernyataan
tersebut merupakan kritik Radhar terhadap para politisi yang justru lebih
banyak merusak kebinekaan demi kepentingan kelompok atau golongan.
Akan tetapi, meskipun ada semangat satu bahasa, seyogyanya
kebinekaan tetap dijaga. Menurut Radhar, saat ini banyak bahasa daerah yang
mati karena tidak dijaga. Jika ada 200 bahasa daerah di negara kita, mestinya
ada 200 karya sastra daerah, yang membuat negara ini menjadi luar biasa. Bahasa
daerah tidak boleh dimatikan. Sastrawan, selain lincah menulis dalam bahasa
Indonesia, juga harus mulai memikirkan untuk menulis dalam bahasa lain, dalam
hal ini bahasa daerah.
Di akhir pemaparan, beliau mengatakan, “Bahasa adalah puncak
dari simbolik pencapaian manusia, dan sastra adalah puncak dari bahasa. Jadi,
jangan sepelekan sastra.”
Di sela-sela acara, saya perhatikan Radhar banyak minum air
putih, sampai-sampai seorang sastrawan peserta dengan bercanda membuat
pelesetan namanya menjadi Radhar Panca Dahaga, karena selalu merasa dahaga.
Usut punya usut, ternyata beliau mengidap penyakit ginjal. Semoga lekas sembuh,
Pak!
Posting Komentar untuk "Catatan Kecil Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) 2017 #Bagian 2"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!