Catatan Kecil Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) 2017 #Bagian 3
Foto: Jurnal Timur News |
Puan, dan Tuan, ada baiknya sebelum membaca catatan sederhana ini, Anda terlebih dahulu membaca bagian pertama dan kedua. Tabik!
Sebenarnya, setelah panel 1 berakhir, masih ada beberapa
agenda di malam harinya. Salah satunya adalah diskusi kelompok. Tapi, saya akan
menuliskannya di kesempatan lain, mungkin di bagian empat tulisan ini.
Sekarang, saya akan menceritakan saja perihal panel 2 yang diselenggarakan pada
hari kedua. Panel ini bertajuk “Tradisi, Proyeksi dan Dialektika Sastra” yang
menghadirkan narasumber Prof. Suminto A. Sayuti, Prof. Abdul Hadi W.M., dan
Rusli Marzuki Saria, dengan moderator Nurhayati.
Prof. Suminto A. Sayuti bukan nama asing bagi saya. Pada
Munas II FLP tahun 2009, saat itu saya ketua Panitia, beliau kami undang
sebagai pembicara di seminar nasional yang menjadi pembuka gawe besar 4
tahunan FLP tersebut. Lantas, 2 tahun silam, kami juga satu forum, sama-sama
menjadi narasumber di sebuah seminar kepenulisan untuk guru-guru Bahasa
Indonesia SMP se kabupaten Pemalang, yang difasilitasi oleh Balai Bahasa
Provinsi Jateng.
Saya juga merasa bangga, karena memiliki kampung halaman
yang sama dengan pakar bahasa dari Universitan Negeri Yogyakarta tersebut. Ya,
kami sama-sama orang Purbalingga. Meski ayah saya asli Solo dan sejak 2002 saya
menetap dan ber-KTP Solo, saya punya ibu orang Purbalingga, dan lahir serta
sekolah hingga SMA di Purbalingga.
Nama Prof. Abdul Hadi WM juga sering saya dengar, meski
belum pernah bertemu. Nama lengkap
beliau Abdul Hadi Wiji Muthari, lahir di Sumenep, 71 tahun yang lalu. Beliau
adalah sastrawan, budayawan dan ahli filsafat yang terkemuka di negara kita. Sedangkan
Pak Rusli Marzuki Saria, pria asal Minang yang terlihat sangat bersahaja tersebut,
merupakan salah satu sastrawan yang sering meraih berbagai penghargaan.
Pak Rusli membuka panel dengan satu kalimat yang membuat
saya terngiang-ngiang. “Kembali ke akar, kembali ke akar.” Maksud dari beliau,
seorang sastrawan mestinya menggali dengan optimal apa-apa yang ada di
daerahnya, yang berada di sekitarnya. “Kalau saya lahir di Madura, saya akan
bicara soal garam. Kalau saya lahir di Aceh, saya akan bicara soal Cut Nyak
Dien,” begitu tuturnya.
Kalimat beliau ini, seperti menyindir saya dan beberapa
penulis muda yang alih-alih mengembangkan lokalitas, eh malah keluyuran
mengisahkan negara-negara yang bahkan tak pernah dikunjunginya. Duh, saya jadi
malu.
Prof. Abdul Hadi WM lebih banyak menyoroti
ketidaksetujuannya pada dikotomi yang berkembang saat ini, tentang sastra
modern versus sastra tradisional. “Sastra itu fenomena universal. Tidak ada
sastra yang tidak dipengaruhi asing. Sastra Jepang, Jerman, Inggris dan
sebagainya, semua dipengaruhi sastra asing. Jangan takut dengan pengaruh,”
ujarnya.
Beliau juga menolak anggapan bahwa sastra tradisional
merupakan sastra klasik, sebab, banyak tembang-tembang kuno yang sampai
sekarang masih eksis. Puisi-puisi Hamzah
Fansuri, sampai saat ini masih menarik untuk disimak. Jadi, pembedaan adanya
sastra modern dan sastra tradisional iotu harus direvisi. Sayangnya, di
Indonesia tidak ada upaya menghubungkan diri dengan tradisi bangsanya. Padahal,
menurut beliau, “Proses menjadi Indonesia berawal dari saat belajar bahasa dan
kesusastraan.”
Menarik sekali ungkapan beliau. Memang, selama ini saya
amati, bahwa seperti ada yang proses yang terputus antargenerasi. Entah karena
persoalan eksistensi, seringkali saat kita berganti generasi, maka berganti
pula kulturnya. Ganti rezim, ganti pula sistemnya. Tak ada kesinambungan, semua
dimulai dari nol.
Ini berbeda dengan di dunia sains dan teknologi. Betapa
mesranya hubungan antargenerasi, sehingga kita mengenal inovasi dan perubahan
yang tiada henti. Di dunia komputer misalnya, komputer generasi pertama,
besarnya separuh lapangan badminton. Di generasi mutakhir, komputer menjadi
begitu kecil, ramping, tipis, namun memiliki kinerja dan memori luar biasa.
Bisakah dibayangkan, apa yang akan terjadi jika teknologi
mengalami kesinambungan antargenerasi sehingga menjadi sangat maju, sementara
sastra, budaya dan politik selalu mematahkan kearifan generasi terdahulu dan
tak mau menghubungkan diri dengan keadiluhungan masa lalu? Ya, teknologi
bergerak semakin canggih, sementara kultur dan pola pikir pemakainya, manusia,
mungkin masih setaraf zaman batu. Pantas saja jika teknologi yang modern pun
paling hanya dimanfaatkan untuk saling caci, saling maki, saling bully.
Panel Prof. Abdul Hadi ditutup dengan satu kritikan kepada
kaum politisi, “Sastrawan bekerja sendirian untuk kepentingan bersama, politik
bekerja bersama-sama untuk kepentingan sendiri.” Kalimat ini mungkin debatable,
ya… tapi tak usah didiskusikan di sini. Nanti saja, di lain kesempatan.
Dengan gaya yang santai dan penuh humor, Prof. Suminto
mengajak audiens untuk tidak kaku dan terbuka terhadap perubahan. “Tradisi akan
langgeng jika terbuka terhadap keterbukaan,” paparnya. Maka, sastra modern dan
sastra lokal tak mesti harus jadi perbedaan yang dikotomis. “Sastra Indonesia
itu satra lokal, yang harus ditulis dengan selokal-lokalnya.”
Agenda Munsi semakin menemukan gereget di panel kedua yang
berlangsung nyaris tiga jam tersebut. Sayangnya, justru seperti mengalami
antiklimaks di panel ketiga, yang mengambil tema “Kultur Etnik dalam Sastra
Indonesia.” Padahal, di panel ketiga, ada tiga pembicara yang tak kalah
menawan, yaitu Riris K. Sarumpaet, Seno Gumira Ajidharma, dan Akhmad Sahal.
Antiklimaks terlihat dengan ruangan yang semakin berkurang
audiensnya. Mungkin para sastrawan sudah mulai bosan dengan paparan demi
paparan yang teoritis dan terkesan lebih kuat aroma akademisinya. Sempat saya dengar beberapa peserta berkata, "namanya musyawarah kok isinya duduk mendengar melulu."
Namun, saya masih bisa mengikuti panel ketiga dengan
semangat tinggi. Bagi orang seperti saya, kesempatan seperti ini mungkin jarang saya ikuti. Meski saya penulis, basik saya manajemen, sehingga lebih sering hadir di ajang-ajang yang berkutat tentang manajemen perusahaan.
Seno Gumira Ajidarma menegaskan, bahwa jika ada
tradisi-tradisi yang hancur, di sinilah tempat seorang penulis mendapatkan
inspirasi. Artinya, tugas penulis adalah mengangkat sesuatu yang sudah dilupakan
masyarakat, agar kembali bergaung.
Akhmad Sahal, lebih banyak membahasa tentang fenomena kaum
Yahudi di Timur Tengah sebagai contoh etnik yang kuat kulturnya. Sedangkan
Riris K. Sarumpaet mencoba membedah beberapa karya yang kuat secara etnik, di
antaranya karya Benny Arnas, Bulan Celurit Api yang sangat kental nuansa
Sumatera bagian Selatannya. Pesan tersirat dari Riris, ayolah penulis,
kembangkan sastra lokal yang kental, sehingga karyamu menjadi kian bermakna.
Sebab, “cerita adalah narasi kita, narsi tentang sang pencerita. Orang yang
bercerita memberikan hidupnya untuk mencerita.”
Ya, pencerita memberikan hidupnya, catat, bukan hidup orang
lain, untuk mencerita.
Posting Komentar untuk "Catatan Kecil Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) 2017 #Bagian 3"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!