Widget HTML #1

Yuk, Terampil Menulis Artikel #1: Mengapa Kita Menulis Artikel?


Bagi siapa saja yang tertarik menekuni dunia kepenulisan dan jurnalistik, sekaligus juga berkutat di dunia pendidikan, tentu mengenal apa itu artikel. Artikel menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai karya tulis lengkap. Misalnya laporan berita atau essai dalam majalah atau surat kabar.

Banyak orang beranggapan, bahwa menulis artikel itu sulit. Menurut saya, itu hanya masalah kebiasaan alias jam terbang saja. Praktiknya, berdasarkan pengalaman saya, menulis artikel itu sebenarnya cukup mudah. Bahkan, lebih mudah ketimbang menulis karya fiksi seperti cerpen atau novel. 

Mengapa Kita Menulis Artikel?

Tentu saja banyak alasan yang mendasari mengapa seseorang menulis artikel. Alasan saya dengan Anda, mungkin berbeda. Ada alasan yang sangat rasional, ada juga alasan yang terkesan seadanya. Misal, ada seseorang yang belajar menulis artikel, karena guru bahasa Indonesianya ganteng. Jangan-jangan, itu terjadi pada Anda :-) 

Artikel, seperti kita ketahui, adalah sebuah karya non fiksi. Apa beda fiksi dengan non fiksi? Menurut Josip Novakovich, perbedaan itu ada pada pengemasannya. Ketika Novakovich mendapati sebuah fakta, lalu fakta itu ditulis apa adanya, maka jadilah sebuah karya non fiksi. Dan, ketika fakta tersebut diutak-atik menjadi sebuah cerita, jadilah sebuah karya fiksi.

Karena artikel adalah non fiksi, maka ia adalah sebuah fakta yang harus ditulis apa adanya. Hal-hal semacam itu diperlukan untuk mempengaruhi pola pikir orang lain. Untuk menyebarkan pemikiran kita kepada sesama kita. Mengapa kita perlu mempengaruhi pola pikir orang lain?

Menurut sahabat sekaligus salah seorang mentor saya, Mas Agus M Irkham, pada hakikatnya seorang manusia itu diberikan oleh Allah 3 peranan (role), yakni sebagai individu, sebagai makhluk sosial/ organisasi/ masyarakat, dan sebagai makhluk Tuhan. Peran itu tidak boleh diabaikan, melainkan harus dioptimalkan.

Dengan demikian, tentu saja kita tidak boleh cuek bebek melihat berbagai kenyataan yang tidak sesuai dengan prinsip kebenaran yang kita anut. Free to will (kebebasan berkehendak) yang diberikan Allah kepada kita, hendaklah diwujudkan untuk menyebarkan pemikiran yang menurut kita baik, ber-amar-ma’ruf nahy munkar, dalam bahasanya Irkham, dialog nilai dengan cara yang baik. Dengan melakukan dialog nilai melalui media massa, akan memicu diskusi publik, yang ujung-ujungnya adalah pencerdasan masyarakat. Kadang, juga solusi dari sebuah problematika.

Inilah yang menurut Irkham, dilakukan oleh Walter Lippman, seorang wartawan Amerika Serikat yang memilih untuk menuliskan ketidaksetujuannya terhadap Presiden Johnson atas kebijakan Perang Vietnam di media massa dan tidak memilih berbicara dua pasang mata, padahal Johnson adalah sahabat dekat Lippman. Lippman ingin menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah, oleh karenanya ia menuliskan artikel tersebut, meskipun karena artikel tersebut, Johnson marah besar kepadanya.

Menulis artikel yang runtut, dengan bahasa yang jelas dan argumentasi kuat, jauh lebih mampu mengelaborasi pesan kita ketimbang sekadar ngobrol sana-sini, atau kalau zaman sekarang, ngetwit atau nyetatus di media sosial.

Jika anda adalah seseorang yang memiliki  suatu pendapat yang dengan pendapat itu anda yakin bisa memberi manfaat kepada ummat, mengapa anda tidak menuliskannya dalam bentuk artikel di media massa? Bukankah khairunnaas anfa’uhum linnas? Orang yang baik adalah yang bermanfaat bagi orang lain?

Apa yang Anda Butuhkan Untuk Menulis Artikel?

Dalam menulis artikel, hal khusus yang sangat anda butuhkan adalah keluasan wawasan, tanggungjawab dan kecermatan mengamati fenomena. Inilah sebenarnya bahan dasar pembuatan sebuah artikel. Kita tidak mungkin memasak sebuah makanan tanpa adanya bahan makanan, bukan?

1) Keluasan Wawasan
 Seorang penulis—apapun yang ditulisnya, diwajibkan memiliki wawasan yang luas. Namun untuk penulis artikel, tuntutan untuk memiliki wawasan yang luas ini lebih kuat dibanding penulis yang lain. Keluasan wawasan akan membuat anda mampu memandang dari berbagai sudut pandang. Meskipun sebuah artikel bersifat subyektif, namun dengan wawasan yang anda miliki, subyektivitas tersebut bisa ditekan hingga menuju titik yang obyektif. Semakin obyektif karya anda, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi ‘pengikut’ anda. Anda akan semakin dipercaya.

Keluasan wawasan, seringkali diidentikkan dengan kepakaran. Oleh karenanya, kita sering melihat di media-media massa, ketika menulis tentang dilematika petani misalnya, maka yang sering dimuat adalah tulisan orang-orang yang bergelut di bidang pertanian, misalnya guru besar fakultas pertanian, pegiat LSM pertanian dan sebagainya. Berkaitan dengan hal ini, saya pun menganjurkan agar anda mulai mengasah spesifikasi anda. Jika anda seorang mahasiswa fakultas hukum, perluaslah wawasan anda tentang hukum, dan cermatilah kasus-kasus yang terkait dengan hukum, lalu ulaslah. Ketika anda mengirimkan tulisan tersebut, anda bisa mencantumkan jati diri anda sebagai mahasiswa fakultas hukum.

2)Tanggungjawab
Salah satu perbedaan yang paling kentara antara karya fiksi dan non fiksi adalah masalah tanggungjawab. Jika kita mengutak-atik sebuah fakta untuk dijadikan cerpen atau novel, kita bisa berlindung di balik kata-kata, “Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan tokoh dan tempat, hanyalah kebetulan belaka.” Memang betul, ada beberapa sastrawan yang terpaksa harus tinggal di balik jeruji besi karena tulisannya dianggap memojokkan penguasa atau kalangan tertentu. Namun tentu saja, seorang penulis fiksi masih bisa berkilah, bahwa apa yang ia tulis, hanya sebuah imajinasi belaka.

Hal itu tentu saja berbeda dengan karya non fiksi. Tanggung jawab yang harus kita sandang lebih berat. Pihak-pihak yang merasa tersinggung oleh tulisan kita bisa memperkarakan ke pihak berwajib. Mungkin kita akan dituduh mencemarkan nama baik, melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan, dan sebagainya.

Untuk menghindarkan hal tersebut, hindarkan pembahasan yang terkesan memojokkan suatu pihak. Dalam pers, kita mengenal apa yang disebut dengan asas cover both side. Meskipun dalam artikel, terutama yang bersifat opini, kita tidak terlalu dituntut untuk melakukan cover both side, mengingat apa yang kita sampaikan adalah pendapat kita, sebaiknya kita memang tidak terlalu membabi buta dalam menyerang suatu kalangan. Kalaupun kita memang harus mengungkap realita yang ada, cantumkan bukti-bukti yang kongkrit, bisa dipercaya, sehingga kita tidak ‘asal main tuduh.’ Apalagi, biasanya sebuah media yang pangsa pembacanya umum, juga tidak mau memuat sebuah karya yang terlalu peka.

Pada prinsipnya, kebenaran memang harus disampaikan, namun sampaikanlah dengan cara yang elegan. Namun, meskipun cara yang elegan telah kita tempuh dan kita ternyata menghadapi sesuatu yang di luar keinginan kita, misalnya dipenjara, atau dikeroyok preman suruhan, itu sudah resiko. Kita harus siap menghadapinya.

3) Kecermatan Mengamati Fenomena
Seorang penulis, harus jeli melihat fenomena. Apalagi jika yang akan kita tulis adalah sebuah artikel. Marahaimin menuliskan, bahwa ketika kita menulis, tulislah sesuatu yang faktual, bukan sekadar realita, atau aneh tetapi nyata. 

Realita adalah sesuatu yang memang kita hadapi sehari-hari, misalnya hiruk-pikuk di sebuah terminal, kemacetan di kota Jakarta dan sebagainya. Realita, jika ditulis, tidak akan memancing keingintahuan pembaca. Untuk apa membaca, wong sehari-hari saja mereka mengalaminya. 

Sedangkan aneh tapi nyata, adalah sesuatu yang tidak terjadi namun kita paksakan untuk ditulis, sehingga yang terjadi adalah sebuah dagelan yang menggelikan, atau justru sesuatu yang dianggap fitnah. Jika kita memang bermaksud menulis sebuah anekdot, atau fiksi, tak masalah. Tetapi, jika kita ingin menulis sebuah artikel, orang justru akan menertawakan atau bahkan memojokkan kita.

Cermat mengamati fenomena, akan membuat kita melihat sebuah sisi yang unik. Keunikan itulah yang membuat tulisan kita menjadi berbobot.

Posting Komentar untuk "Yuk, Terampil Menulis Artikel #1: Mengapa Kita Menulis Artikel?"

Deskripsi Gambar