Siti Gugat Mendikbud
Siti ribut bukan main. Ya, gadis usia 23 tahun ini memang sangat senang ribut. Maksudnya, dia ini orangnya cenderung cerewet dan mudah meledak. Tetapi, memang sih, meledaknya itu untuk urusan-urusan tertentu. Biasanya jika ia melihat ketidakadilan terbentang di depan mata. Kalau untuk urusan lain, Siti orangnya pendiam, dan nerimo.
Apa
yang membuat Siti meledak? Gara-garanya, Pujo, adiknya yang masih SMP, dengan
wajah gelisah, datang kepadanya.
"Yu,
aku pinjami uang, Yu ...," kata Pujo.
"Buat
apa? Mau maen PS? No wei!" ketus Siti, yang memang paling anti dengan hobi
Pujo main di Play Station. Meskipun kata Pujo, mainnya gratis karena ditraktir
temannya, bagi Siti, main PS tetap buang-buang waktu percuma. Apalagi Pujo kan
sekolah di SMP negeri favorit yang persaingannya sangat ketat. "Orang
miskin seperti kita, Jo... harus bisa terus berprestasi. Kamu mending, bisa
SMP. Aku malah cuma lulusan SD," begitu terus ia menasihati Pujo.
"Siapa
yang mau main PS. Uang ini mau buat bayar biaya sekolah, Yu! Aku kan nunggak
SPP selama lima bulan. Sebulan bayarannya dua ratus ribu, jadi harus bayar
sejuta. Kalau tidak, aku ndak boleh ikut ujian."
"Sejuta,
Jo? Duit soko ngendi? Ini saja gajiku terancam dipotong karena ikutan
demo."
"Ya
pokoknya Mbakyu cari, kalau tidak, aku bisa dikeluarkan dari sekolah juga.
Kemarin saja aku sudah dimarah-marahi. Katanya kalau mau cari gratisan, bukan
di SMP negeri itu sekolahnya. Orang kaya yang mau masuk situ saja antre."
"Siapa
yang bilang?"
"Bu
Tantri, TU di sekolah."
"Weh,
belum pernah merasa disemprot Siti ya, orang itu!"
*
* *
Di
pabrik, perbincangan ternyata juga masih di seputar biaya sekolah. Yu Karni,
buruh yang paling senior, yang katanya sudah 20 tahun kerja, tetapi gajinya
juga belum sampai sejuta, pusing tujuh keliling.
"Lha,
anakku ni mau masuk SMA. Dengar-dengar untuk masuk SMA harus menyiapkan 4 juta.
Uang darimana aku?" keluh Yu Karni.
"SMA
mana yang 4 juta, Yu," ujar Wanti. "Kemarin keponakanku masuk SMK,
cuma sejuta biayanya."
"SMK
mana?" tanya Yu Karni. Wanti menyebut nama sebuah SMK swasta. Yu Karni
melotot."Halah, kalau SMK itu, gratis pun aku ndak mau. Sudah gedungnya
mau ambruk, gurunya selalu telat, anak-anaknya senang tawuran, kabarnya yang
cowok pada jadi pengedar narkoba, dan yang cewek pada jadi ayam ... ayam apa
itu? Ayam sekolah?"
"Ayam
kampus maksudnya?"
"Kalau
masih SMA, namanya ayam sekolah."
Sedang
asyik mereka berbincang, mendadak muncul Pak Darmo. Mandor, tapi baik hati.
Satu-satunya mandor yang paling ramah dan sering gaul dengan para
buruh."Lagi pada ngomongin apa, nih?" tanyanya.
"Biasa,
biaya sekolah, Pak. Dengar-dengar putera Pak Darmo, Handoko mau masuk perguruan
tinggi ya?"
"Ada
rencana mau kuliah di universitas anu. Tapi, kemut-kemut mikir biayanya.
Handoko ingin masuk teknik sipil, tetapi pas tahu bahwa biaya masuk ke
universitas itu sampai 25 juta, aku jadi bingung."
"Berapa
Pak? Dua puluh lima juta?" Yu Karni melongo. "Wah, panjenengan saja
yang mandor kelimpungan mendengar uang sebesar itu, bagaimana jika anakku besok
kuliah?"
"Ndak
tahu nih," gerutu Pak Darmo, "Dulu aku masukkin anak kuliah ke
jurusan yang sama, di universitas yang sama, biayanya masih murah. Sekarang,
kok jadi komersil begini, tuh ... kampus-kampus. Kalau swasta masih masuk di
akal. Ini? Kampus negeri?"
"Mungkin
orang miskin dilarang sekolah, kali ya, Pak?"
"Bisa
jadi!" emosi Pak Darmo. "Kemarin, bos cerita, anaknya masuk SD
favorit, biaya masuk 10 juta. SPP sebulan 400 ribu. Bos mampu-mampu saja. Dan
anaknya memang ya pintar sekali. Malah katanya, biaya sekolah hingga kuliah di
luar negeri sudah disiapkan. Apa hanya anak para bos saja yang berhak
pintar."
"Iya,"
timpal Yu Karni, tak kalah emosi. "Sekarang, SD-SD memang banyak yang gratis.
Tetapi kualitasnya benar-benar memprihatinkan. SD dekat rumah kakakku malah
gedungnya sudah hampir ambruk. Karena takut anak-anak kerobohan tembok,
akhirnya mereka sekolah di rumah warga."
"Negeri
ini bakalan hancur, jika pendidikan murah yang berkualitas hanya mimpi semata
bagi rakyat jelata seperti kita!" Pak Darmo mengepalkan emosi. "Atau,
orang atasan di Jakarta sana, memang ingin bangsa kita hancur
berkeping-keping?"
*
* *
Siti
mendidih. Ia merasakan ketidakadilan berayun-ayun di pelupuk matanya. Maka,
sepulang dari pabrik, ia mampir ke rumah gurunya, Mbak Garsini. Perempuan itu
terdiam sesaat, lalu matanya menerawang jauh.
"Persoalan
pendidikan di negeri ini memang runyam, Sit," ujarnya, sambil
mempersilahkan Siti duduk. "Memang sudah disetujui, bahwa 20% APBN
dialokasikan untuk pendidikan. Namun nyatanya, hingga saat ini, pendidikan kita
masih terpuruk. IPM Indonesia tahun 2011 saja, melorot ke peringkat 124 dari
187 negara. Padahal, tahun 2010, IPM Indonesia ada di peringkat 108 dari 169
negara."
"Apa
itu IPM, mbak?" tanya Siti.
"IPM
itu singkatan dari Indeks Pembangunan Manusia. IPM diukur dari angka harapan
hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh
dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah
negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur
pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Semakin rendah IPM
sebuah negara, berarti semakin terbelakang negara itu."
Siti
termenung. "Jadi, rengking Indonesia di dunia itu hanya 124? Kalau
diibaratkan anak sekolah, kita bodoh banget, ya, Mbak."
"Begitulah,"
ujar Mbak Garsini. "Hingga kini, kita memang masih kesulitan untuk
mewujudkan cita-cita para pendiri negara ini."
"Memangnya,
apa cita-cita mereka?"
"Coba
kau baca Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Sit. Masih hapal, kan?"
"...
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial..."
"Yap,
betul sekali. Itulah cita-cita yang hingga kini belum mampu diwujudkan. Entah
karena para penyelenggara negara kita saat ini tidak amanah, atau karena mereka
terlalu sibuk bertransaksi politik dan melanggengkan kekuasaan."
Mendadak
Siti bangkit dari kursinya.
"Eh,
mau keman, Sit?"
"Demo
lagi."
"Kemana?
Menggugat Mendikbud. Aku mau ke Bale Kota."
"Siti
... Siti ... Sittiiiii!"
Karena
teriakan Mbak Garsini sangat keras, akhirnya Siti batal meraih sepeda
onthelnya. Sepeda pinjaman dari Pakliknya yang kini kerap dibawa kemana-kemana,
termasuk ke pabrik. Ngirit, ceritanya.
"Ada
apa, Mbak?"
"Mendikbud
itu di Jakarta, bukan di Bale Kota!"
GUBRAK!
16 komentar untuk "Siti Gugat Mendikbud"
mentri nya di jakarta, bukan di bale kota!
Mbak Afra,, alhamdulillah,,
menarik sekali mbak,,,
tak pikir demo beneran,,,
hehehe,,,
sayang sekali mbak, forum kepenulisan muda kaya KETIK sudah ndak begitu aktif, byk mereka yang kuliah diluar Solo
hem,,, baca ini jadi pengin ikutan nulis juga mbak,, :D
sederhana, tapi penuh makna.
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!