Attar (Sebuah Cerpen)
(Juara II LMCR Raya Kultura-ROHTO 2011)
Jadi, siapakah jajak insan yang hendak kau jerat dengan
jejala retinamu, Jelita? Tanpa peduli detak waktu yang terus berputar, kau
terus saja menebar jaring pandangmu. Padahal, piranti penjeratmu begitu sempit.
Sementara, padang ini membentang seluas mata memandang.
Dan, tempat ini pun pastinya tak selaras dengan napas
keindahan yang kau asakan. Ini bukan wahana penenggat penat. Bukan pula sarana
rehat. Ini sebuah tempat yang sangat akrab dengan bahaya. Lihatlah puncak
gunung yang terbelah, dengan kepulan asap solfatara yang menguar dari celah
kawah. Tataplah bebatang pohon yang pekat. Rumah-rumah separoh rencah, perabot
nan sisakan kerangka besi atau belukar hangus yang menghamparkan permadani
kelam.
Semua itu, mestinya mampu menggemparkan saraf ketenangan
di otakmu. Kau tahu penyebabnya, Jelita? Ya, gumpalan awan panas itu, yang
disebut orang-orang sebagai wedhus gembel, telah melelehkan semuanya. Juga
gelontoran lumpur dan bebatuan panas yang tiba-tiba termuntahkan dari lambung
gunung, yang menjulang di depan kita. Tahukah kau, mereka akan datang
sewaktu-waktu tanpa kita duga? Sudah banyak yang bergelimangan sebagai korban.
Jadi, mengapa kau tak pergi juga?
Ya, Jelita. Aku mampu mendeteksi kelindan pikirmu. Kau
tak lelah, dan mungkin tak akan lelah. Ada sesuatu yang besar, yang menggumpal
di dadamu. Sebuah obsesi yang panasnya mungkin mengalahkan bahang wedhus
gembel. Paling tidak, aku telah membuktikannya. Sejak lima hari
terakhir ini, kau selalu mendatangi tempat ini, bahkan sebelum cahaya mentari
menyambangi alam.
Begitu fajar merekah, deru suara kendaraanmu yang
bingar, menggetar semak belukar yang hangus terbakar. Saat itulah, aku
melihatmu turun dari jeep putih itu, berjalan pelan, dan berdiri memandang
lautan pasir ini, dengan sepasang mata penuh kabut. Seharian penuh kau menapakkan
kaki mungilmu yang terbungkus sepatu boot, memahat tapak-tapak frustasi, menyusuri depa
demi depa lokasi yang telah porak poranda. Kau hanya akan berhenti jika gelap
bertandang. Kau pergi dengan seonggok resah, yang kutebak tak membuatmu sanggup
lelap saat beristirahat. Buktinya, paginya,dengan setia kau datangkembali.
Kau mencari sesuatu, atau seseorang. Atau seseorang yang
telah menjadi sesuatu. Mungkin pasir, mungkin batu. Napasmu menghembuskan
kesedihan. Bahkan, seolah-olah elan hidupmu telah tercerabut, menyublim
dan menyatu dengan hawa.
Kau tampak begitu kusut. Rambutmu yang tergerai indah,
mungkin lama tak tersentuh sisir. Beruntung, kain hitam yang kau balutkan di
rambutmu itu, mampu melindungi mahkota bajangmu itu. Pakaian yang kau
kenakan pun selalu itu. Kulot baby jeans biru, t’sirt hitam,
dan mantel panjang menutup lebih dari separoh tubuhmu. Juga syal itu. Syal
warna pelangi yang selalu saja berkibar-kibar dimainkan angin.
Namun begitu, tak ada yang bisa menutupi pancaran pesona wadagmu,
Jelita. Bahkan, aku pun terpesona tatkala memandangimu. Wajahmu yang lembut,
sangat mirip gurat lukisan gadis-gadis klasik yang melintas di petala imajinasi
para perupa abad pertengahan. Maka, aku pun tak bisa menyimpan rasa cemburu,
sekaligus mengira-ngira, betapa bahagianya orang yang berhasil merapat di
pelabuhan hatimu.
Matahari telah begitu terik, keringat menganak sungai
dan menderasi wajahmu yang memerah lelah. Saat itulah, kau mendekatiku. Tetapi,
tatapan matamu begitu kosong. Kau tak ingin menyapaku, dan hanya bersedia untuk
duduk di sebuah batu di sampingku. Batu yang juga telah pekat tergampar awan
panas.
“Attar … di mana kau?” kau bersuara. Aku terkesima.
Ya,baru kali ini aku mendengarmu bersuara.
“Attaaaaaaar!” tiba-tiba kau berteriak, sangat nyaring.
Seperti sebuah katarsis yang ingin coba kau hempaskan. Sayangnya, teriakan yang
pastinya dilambari sekian joule energi itu, menjadi tak bernilai apa-apa
saat tertelan hamparan luas yang kini telah berubah menjadi lautan pasir.
Ya, lautan pasir.
Jelita, bolehkah aku bercerita? Dahulu, padang pasir itu
adalah sebuah aliran sungai. Sebuah jurang sedalam lebih dari duapuluh meter.
Aliran sungai yang membawa kesegaran dari pegunungan. Namun, saat sang arga
murka, ia mengeluarkan jutaan ton material vulkanik, yang digelontorkan lewat
aliran sungai ini. Pohon, semak dan bebatuan, kini terbenam pasir. Bahkan juga
rumah-rumah yang berada di sekitar aliran sungai. Jika lembah ini sekarang
telah rata dengan tanah, bisakah kau bayangkan, betapa dahsyat kejadian itu,
Jelita?
“Attaaaaaaar!”
Attar? Lengkinganmu yang kedua menghentakkan
kesadaranku. Nama itu, ya … tiba-tiba ada yang terasa lekat dalam diriku.
Sangat lekat. Coba, beri waktu aku barang sejenak untuk mengheningkan cipta,
Jelita. Rasa-rasanya, aku mengenal nama itu.
Sebentar … sebentar, Gadis Ayu! Sepertinya, slide
episode itu ada di memoriku. Aku akan memutarnya kembali. Nah,
itu … aku melihat film itu terputar kembali.
“Attar, pulang kau! Jangan coba-coba menentang maut!”
teriak seorang lelaki tegap, berseragam lapangan yang khas: celana kakhi,
kaos lengan panjang, rompi, sepatu boot dan berbagai peralatan yang tak terlalu
asing bagiku. Ya, karena hampir empat atau lima tahun sekali, saat hura-hara
itu datang, orang-orang seperti mereka selalu saja aku jumpai bertebaran di
tempat ini.
“Tak mungkinlah aku pulang, Bang!” lelaki muda itu
berkata, keras dan tegas. Sembari berdiri tegak, ia menatap lurus lelaki tegap
itu dengan pandangan menusuk. Ah… aku sungguh sangat terkesan padanya. Ia
memiliki sepasang mata setajam elang. Pandangan itu melekat kuat pada jejaring
memoriku, dengan ujung-ujung dendrit yang begitu peka terhadap memori baru.
Itulah sebabnya, begitu kau menyebut nama itu, dengan seketika slide itu
muncul di lanskap anganku.
“Aku sudah memutuskan jadi relawan. Aku akan berjuang
sebisanya di sini! Jika aku pergi, meninggalkan mereka yang tengah terluka, aku
akan sama derajatnya dengan pecundang.”
“Jangan mengorbankan diri. Kubur idealismu sejenak saja. Wedhus
gembel bisa datang seketika dan melumatkan tubuh kita. Sudah
ada beberapa relawan yang menjadi korban. Apa kau tidak takut?”
“Tidak ada yang kutakutkan di dunia ini kecuali
kepengecutan itu sendiri!”
“Attar, sekali lagi aku menasihati. Kau masih terlalu
muda. Sangat muda, malahan. Masa depanmu masih sangat panjang. Dan, kau belum
berpengalaman menjadi relawan bencana alam.”
“Aku pernah ke Padang saat gempa, beberapa
kali tanah longsor, dan ….”
“Letusan merapi berbeda dengan bencana apa pun di negeri
ini, Attar!” suara lelaki berkumis lebat itu meninggi. “Di sini, kita harus
berhadapan dengan badai piroclastic yang sewaktu-waktu meluncur dengan
kecepatan ratusan kilometer per jam.Sangat berbahaya jika kita berada di titik
luncuran itu. Jadi, pulang sajalah! Nanti, jika status awas sudah diturunkan,
kau bisa datang lagi dan menjadi relawan untuk aktivitas yang lebih aman. Recovery misalnya.
Bakti sosial, pengobatan massal, atau apalah … yang penting bukan rescue.
Terlalu besar risikonya.”
Anak muda bermata elang itu bergeming. Entahlah. Rasa
takut dalam jiwanya mungkin telah menguapdan melayang ke angkasa, bergabung
dengan atmosfir bumi. Meski koordinator relawan itu berkali-kali mengusirnya,
tetap saja ia selalu siap dengan seragam dan peralatan tim rescue-nya.Ia
bahkan selalu menjadi yang pertama hadir. Dengan tenang ia meloncat ke atas landrover berban
mati—atau terkadang mobil haglun alias kendaraan amfibi milik PMI yang
menjadi mobil operasional para relawan.
Apakah Attar itu, anak muda berhati baja yang kau
maksud, Jelita? Lelaki muda yang menjadi salah satu dari belasan relawan yang
saat subuh menyaksikan ‘neraka’ membentang di hamparan bekas Sungai Gendol.
Belasan relawan yang lantas terbelalak menyaksikan luapan material Merapi yang
menimbun daerah aliran sungai yang semula berkedalaman sekitar 25 meter itu.
Pijar jingga memancar dari areal yang sangat luas.
Terasa menyilaukan mata di pagi yang masih pekat. Rasa-rasanya, permukaan itu
telah diselimuti selapis tebal, dan lebar: permadani bara.
“Mengejutkan!” desah pimpinan tim rescue itu.
“Musibah ini justru terjadi pada titik yang dikira aman, KM ke 17. Lava pijar
dimuntahkan dari Merapi, dan hanyut di aliran sungai ini. Berapa banyak korban
yang jatuh? Lihatlah, daerah ini telah tertimbun material erupsi. Rumah-rumah
penduduk di tepi sungai tak terkecuali.”
“Ini … ini benar-benar neraka di depan mata,” bisik
lelaki muda bernama Attar itu. Ada rasa gugup melanda jiwanya. Yah, siapa yang
tak akan bergetar hatinya ketika berhadapan dengan sisa bencana sedahsyat
erupsi Merapi saat itu?
“Kau takut?” tanya sang pimpinan.
Attar mendengus. “Tidak! Sekali aku memancang tekad,
maka tak ada seorang pun yang akan mampu menghentikanku.”
Oh, sungguh anak muda berhati karang. Siapamukah anak
muda itu, Gadis Ayu?
“Kepala batu!” rutuk si senior.
“Lihat, itu ada sebuah rumah!” teriak Attar. “Ya Allah,
ada seseorang berdiri di depan pintu. Seorang nenek! Lihat, ia melambaikan
tangan ke kita! Ayo, kita tolong!”
Attar bergerak cepat. Namun tangan kokoh sang senior
menariknya. “Jangan gegabah. Semua harus penuh perhitungan. Kita memang akan
menyelamatkan mereka, tetapi keselamatan kita sendiri juga harus kita
perhatikan. Menuju rumah itu harus melewati hamparan lumpur pijar. Kau
mau,tubuhmu menjadi seperti ini?!”
Sang senior memasukkan sebatang bambu yang sejak tadi ia
pegang ke sebuah tempat yang mengepulkan asap. Sisa-sisa lava. Beberapa relawan
berseru kaget, ketika melihat bambu itu terbakar.
“Benar-benar mengerikan!”
“Yeaah! Bayangkan, suhu asal material ini, ketika
meluncur dari Merapi, sekitar seribu derajat celcius. Sekarang, mungkin sudah mulai mendingin,
tetapi tetap saja bisa menghanguskan tubuh kita.”
Attar mengangkat wajah. Ada resah membayang. Aku tahu,
ia gelisah melihat nenek tua yang melambai-lambaikan tangan di tengah kepungan
lumpur dan material pijar.“Tetapi, Bang! Kita harus mencari cara, bagaimana
bisa mencapai rumah itu, dan menolong nenek itu,” desahnya.
“Ada satu cara, tetapi memang penuh risiko,” desis sang
senior. Ia pun kemudian memerintahkan pada relawan mengambil batang-batang
bambu yang telah mereka persiapkan. Beruntung, bambu itu tidak sampai terbakar
ketika bersentuhan dengan lumpur panas, mungkin karena suhu lumpur yang berada
di permukaan tanah, tak sepanas sisa lava yang ada dalam genangan. Namun, tetap
saja lumpur itu bisa membuat kaki melepuh jika dilewati secara langsung.
“Sekarang, siapa yang hendak mencoba meniti bambu ini?”
Para relawan saling pandang. Namun, tanpa banyak
berpikir, si kepala batu itu melangkah mantap. “Aku yang akan mencoba!”
“Tidak!” tegas sang senior. “Kau belum berpengalaman.”
“Aku yang akan ke sana!” tanpa menunggu persetujuan sang
pimpinan, Attar beranjak. Ia meniti perlahan titian bambu yang melintasi
hamparan penuh lumpur pijar.Sangat hati-hati, namun lincah dan cekatan. Ia
menjadi tontonan para lelaki dewasa yang memperhatikannya dengan dada berdebar.
Ah, aku pun ikut merasa berdebar. Bagaimana jika kaki
itu tergelincir, dan tubuh itu jatuh dalam genangan lumpur panas yang
bertebaran di sana-sini? Namun, anak muda itu memang hebat! Attar, ia berhasil
melintasi titian, dan kini ia kembali dengan menuntun seorang perempuan tua
dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri dengan erat mencengkeram tongkat
bambu yang menjadi tumpuan ke lumpur itu. Beruntung, meskipun masih sangat
muda, ia memiliki postur tubuh yang sangat atletis. Tinggi besar, dan terlihat
sangat kuat. Sementara, si nenek tampak kurus dan ringkih.
Seruan dan gumaman kagum tercetus dari bibir-bibir para
relawan, melihat anak muda itu berhasil menyelamatkan si nenek tua. Sebuah
evakuasi gagah berani, yang dilakukan oleh seorang yang mungkin masih duduk di
bangku SMA.
“Kau hebat!” si senior menepuk bahu Attar. Wajahnya
terlihat haru. “Tetapi, kita harus tetap hati-hati. Di sini, maut mengincar
kita dari segala penjuru. Kau masih terlalu muda, tentu banyak yang akan
kehilangan jika kau ….”
“Siapa yang akan merasa kehilangan sekalipun ragaku
lumat?” tiba-tiba Attar mendesah. “Tak ada, Bang! Tak ada.”
Lelaki muda itu memandang langit yang mulai cerah, sebab
sinar mentari mulai menebarkan bilah-bilah lembut cahayanya. Ada keputusasaan …
sedikit, tergores di mata yang selalu bersinar tajam itu.
“Jika kedua orangtuaku sendiri tak menganggap ada
keberadaan anaknya, apakah aku harus merasa masih ada orang yang mengharapkan
kehadiranku? Tidak, Bang! Justru di sini, di tengah jeritan orang-orang yang
ditimpa bencana, aku merasa kehadiranku dibutuhkan. Kau tahu Bang, itu sangat
berarti bagiku. Bagi orang yang sejak kecil tinggal di panti asuhan, lalu
dipungut oleh keluarga yang hanya butuh seorang anak sebagai status, namun tak
pernah memberikan perhatian karena terlalu sibuk mengejar dunia.”
Ucapan Attar terdengar ketus.
“Jadi, jika Abang dan teman-teman yang lain terus
memaksa aku untuk pergi, maka aku tak akan pergi. Aku akan bergerak sendiri,
menolong mereka yang membutuhkan. Aku nggak peduli meskipun wedhus
gembel melumatkan tubuh aku. Bagiku, mati karena membantu orang
lain, jauh lebih baik daripada hidup tanpa ada yang menghargai aku.”
Tak ada yang bersuara. Semua terkesima dengan ucapan
Attar.
“Baiklah,” kata sang senior, akhirnya. “Terserah saja
apa maumu. Yang jelas, sebagai pimpinan, aku tidak ingin ada anak buahku yang
jatuh sebagai korban!”
“Haaai!” teriak seorang relawan yang tengah beraksi di
dekat reruntuhan sebuah rumah, tiba-tiba. “Di sini ada mayat anak kecil!”
Belasan manusia berseragam relawan lengkap itu berlarian
mendekat, termasuk Attar. Ah, ada yang teriris-iris dalam diriku menyaksikan
sesosok tubuh kecil yang kini tinggal tulang belulang itu. Sosok itu begitu
kecil, tak ada satu meter tingginya. Aku tahu siapa bocah itu. Ia bernama
Danang, anak yang dilahirkan sekitar dua tahun lalu. Ia tengah sangat
lucu-lucunya. Pipinya tembam, senyumnya indah, menggemaskan.
Lantas terdengar seruan relawan yang lain, yang berada
tak jauh dari reruntuhan rumah tersebut. “Hei, ini ada mayat perempuan. Hangus,
tapi belum begitu hancur. Masih terlihat jelas wajahnya. Ya Allah, mungkin ini
ibu si anak itu ….”
Para relawan terdiam. Seperti ada yang menyumbat
tenggorokan mereka sehingga tak mampu sedikitpun mengeluarkan suara.
Pemandangan di depan mereka, benar-benar menyayat hati. Aku terpekur. Ya, aku
pun mengenali perempuan itu. Benar, ia ibu Danang. Seorang ibu muda yang
trengginas, baik hati dan lumayan ayu. Mereka tengah tidur berpelukan saat
musibah itu datang. Hawa panas yang kuat mengejutkan sang ibu, sehingga ia
terbangun. Ia berlari cepat keluar rumah, akan tetapi, gelontoran lava itu
menghantamnya. Mereka terpelanting dan tewas dengan tubuh hancur.
Ah, musibah Merapi kali ini, benar-benar dashyat. Tak
hanya karena luncuran awan panas, namun juga karena aliran lava yang
termuntahkan dan memadati Sungai Gendol. Ratusan korban meninggal, rata-rata
dalam kondisi hangus. Bahkan, tulang-tulang mereka banyak yang remuk. Aku telah
berkali-kali menjadi saksi kemarahan Merapi yang secara siklik merancah Bumi.
Tapi, kemarahan kali ini, begitu getas.
“Angkut jenazah ke landrover!” perintah sang senior.
Cepat Attar dan beberapa relawan berlari memenuhi
perintah sang pemimpin. Mereka bekerja begitu keras, dan aku yakin, ikhlas.
Uniknya, mereka bekerja tanpa sorotan kamera media. Ya, karena bagi mereka,
popularitas itu tak penting. Kepuasan saat berbuat untuk sesama, itulah yang
mereka cari. Bukan sekadar tatapan kagum para manusia. Surga pasti merindukan
orang-orang seperti mereka.
Matahari semakin tinggi. Para relawan terus bergerak,
menyisir pemukiman yang telah rancah menghitam itu. Belasan korban dievakuasi.
Attar menjadi salah satu relawan yang paling bersemangat, meskipun ia adalah
relawan termuda di sana.
“Bang, di rumah itu ada seorang kakek yang masih hidup!”
Attar menunjuk ke sebuah rumah yang separoh ambruk, sekitar 200 meter dari
lokasi mereka beraktivitas. “Aku akan mencoba menolongnya!”
“Hati-hati Attar!”
Remaja itu bergerak lincah. Kakinya yang dilindungi
sepatu khusus—yang sebenarnya telah mulai gigis tersantap bahang—melangkah
cepat. Namun baru beberapa puluh meter, sang senior mendadak berteriak.
“Awas, luncuran awan panas mengarah kesini! Lariiii!!!”
Para relawan berhamburan. Attar tertegun. Dengan jelas,
ia melihat kakek tua itu melambai-lambaikan tangan dengan teriakan minta tolong
yang tak terdengar, dikalahkan suara bergemuruh awan panas, namun tampak dari
gerakan mulutnya.
“Attar, lariiii!”
Attar nyaris terjatuh ketika dengan cepat beberapa
relawan menarik tubuhnya.
“Jangan mengorbankan diri sendiri!” bentak seorang
relawan.
“Tidak, aku akan menolong kakek itu. Ia membutuhkan
kita!”
“Awan panas akan menghanguskan kita!”
“Tidaaaak!” Attar berontak. Namun tenaga tiga orang
lelaki dewasa yang kekar itu tak mampu ia lawan. Remaja itu dengan paksa
dimasukkan ke dalam landrover yang dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Ah, barangkali rasa sesal terasa begitu dahsyat
menghantui Attar. Ya, karena aku tahu pasti. Luncuranwedhus gembel itu
menghantam tubuh sang kakek. Lelaki sepuh itu terbanting, berkelonjotan, lalu
diam … Ia tewas dengan kulit terkelupas seperti barusan keluar dari wajan
penggorengan.
Dan Attar, aku menyaksikan sesalnya yang bercampur
linangan air mata, ketika beberapa hari kemudian ia datang. Ia berlutut di
depan rumah sang kakek, menangis tersedu.“Maafkan aku… maafkan aku!” bahunya
terguncang-guncang. Ia menangis sepuasnya, sampai sang senior datang, mencoba
menenangkannya.
Bagaimanapun, Attar hanya seorang remaja SMA yang masih
belum mampu mengendalikan emosinya. Namun wahai Jelita, aku sungguh
mengaguminya. Jika kau pun memiliki perasaan yang sama, memang Attar layak
mendapatkan semua kekaguman itu. Kita sehati dalam hal ini.
Nah, kau ingin tahu, di mana Attar sekarang?
Baiklah, kuceritakan kisah sore itu. Aku tak mengerti,
mengapa Attar datang seorang diri ke lokasi bencana ini. Ia datang dengan wajah
muram. Langkahnya gontai. Ia menyusuri bangunan-bangunan yang ambruk, dan
separoh tertimbun pasir. Ia tersenyum getir ketika melihat beberapa sepeda
motor yang tinggal rangka besinya. Menggigit bibir melihat seekor sapi yang
juga tinggal tulang belulang, dan menjerit lirih ketika menyaksikan sesosok
jenasah yang terjepit di antara puing bangunan.
Di atas, langit mulai pekat. Bukan hanya karena malam
bertandang, tetapi juga karena mendung bergelayut berat. Tetes-tetes air mulai
membasahi bumi. Hujan membuat Attar segera berlari, mencari tempat berteduh.
Aku terkejut. Ah, mengapa ia justru berteduh pada sebuah rumah yang tinggal
puing? Yang memang menyisakan sebagian atap, tetapi bukankah dinding tempat ia
bersandar, telah sedemikian rapuh.
Dan, oh Tuhan… ketika hujan semakin deras, aku melihat
dinding itu berderak. Attar tak sadar, karena sepasang matanya terkatup rapat.
Ia duduk nyaris tertidur, mungkin karena letih, sehingga tak mengerti apa yang
tengah terjadi. Ya Tuhan … ingin sekali aku berlari untuk menarik tubuh lelaki
itu ketika puing itu mulai ambruk dan menimbun tubuhnya.…
Aku ingin berlari, tetapi tak mampu. Tak mampu! Kau
tahu, inilah tamparan terhebat yang pernah aku rasakan, setelah sebelumnya aku
menjadi saksi atas gelontoran ribuan tol material erupsi nan berpijar, yang
meluluh-lantakkan dusun-dusun di sepanjang aliran Sungai Gendol.
Oh, Jelita… kau mencari Attar? Ada hubungan apa antara
engkau dengan Attar? Apakah kau saudaranya, adiknya, sahabatnya?
“Apakah bapak pernah melihat seorang anak muda, usia 17
tahun, bertubuh tinggi besar, berambut lebat dan bermata tajam serta alis tebal
berada di sekitar sini?” tanyamu, pada seorang lelaki berseragam relawan –
mendadak melintas di tempat itu.
“Oh, Attar maksudmu?” tanya relawan itu. Aku mengenal
relawan itu. Ia adalah sang senior.
“Attar. Ya, Attar. Di mana dia?” suaramu terdengar
sumringah.
“Dia… hilang. Sampai sekarang, kami kehilangan
jejaknya.”
Dia tidak hilang! Dia ada di sana. Tertimbun puing-puing
bangunan yang ambruk. Mengapa kau tak bertanya padaku, Jelita? Aku saksinya.
Mendadak aku tersadar. Kalaupun kau bertanya padaku, aku
tak mungkin bisa menjawabnya. Ya, karena aku hanyalah sebatang pohon trembesi
raksasa, yang telah hidup sejak puluhan tahun yang lalu. Berkali-kali aku
menjadi saksi meletusnya Merapi. Dan di peristiwa kemarin, aku ikut tersembur
awan panas. Daun-daunku pun mengering. Tetapi, aku masih bisa tumbuh lagi. Tak
seperti Attar, terkubur di sana.
Kusaksikan awan yang pekat menutupi pandanganmu. Kau
berjalan terhuyung, tanganmu bergetar saat membuka pintu mobilmu. Mendadak, aku
teringat kata-kata Attar.
“Siapa yang akan merasa kehilangan sekali pun ragaku lumat?
Tak ada, Bang! Tak ada.”
Kau salah, Attar. Ada yang sangat kehilangan saat kau
tiada. Gadis itu. Dan aku.
14 komentar untuk "Attar (Sebuah Cerpen)"
Menulislah dengan hati, merangkai kata dengan jiwa
saya orangnya suka menulis cerita, tapi kebanyakan cerita saya itu macet di tengah2 cerita, itu bagaimana mbak solusinya?
karena biasanya kalau sudah macet, aku susah untuk melanjutkannya. :D
terima kasih...,
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!