Anak, Sang Pengimitasi Nomor Wahid
Saya kurang tahu, dapat lelucon ini darimana, karena sudah sangat lama. Kalau tidak salah, sejak saya masih SMA dahulu. Jadi, mohon maaf, jika kebetulan pembuat plot dari lelucon yang sudah saya modifikasi sedemikian rupa ini adalah Anda. Sekalian saya memohon izin untuk menggunakan plot ini sebagai salah satu bahan kita dalam merenung.
* * *
Suatu hari, Budi, seorang
bocah polos yang masih duduk di kelas 1 SD, mendapat PR dari guru di sekolahnya,
berupa sebuah pertanyaan: “Siapa presiden Amerika Serikat sekarang?”
Karena Budi sama
sekali tidak tahu, dia pun berusaha mencari jawabnya. Yang pertama dia tanya
adalah kakaknya, yang saat itu tengah asyik nonton film yang dibintangi aktor
top asal Korea, Won Bin.
"Kak, siapa presiden Amerika Serikat?"
tanyanya.
"Won Biiin... kamyu sungguh
keyeeen...!" teriak kakaknya, saking seriusnya menyimak akting cowok korea
yang ‘cantik’ itu, dia abai dengan pertanyaan adiknya.
Berkali-kali ditanya, bukannya menjawab,
si kakak malah kian histeris berteriak-teriak menyebut nama Won Bin. Maklum,
dia penggemar berat K-Pop.
Merasa diacuhkan, sembari manyun, Budi
pun mencari ibunya. Saat itu, sang ibu sedang berbincang-bincang dengan Bu RT.
Kelihatan serius sekali, meskipun yang dibicarakan hanya seputar gosip seleb.
"Mama, siapa sih, presiden Amerika
Serikat?" tanya Budi.
"Ya emang gitu, Bu RT. Sukanya dia
begitu, Bu RT..., bla … bla … bla." Tak menjawab, ibunya tetap asyik
ngobrol dengan Bu RT.
Harapan Budi tinggal Papanya. Dia
berjalan gontai, menuju sang Papa yang tengah asyik menerima telepon di ruang
tamu.
"Pa, siapa presiden Amerika
Serikat?"
"Oke, Bos... oke... oke!" Sang
papa tak peduli dengan tanya si Budi, sibuk dengan HP-nya.
"Pa, siapa presiden Amerika
Serikat?"
"Oke, Bos!"
Saking sebalnya, Budi pun masuk kamar.
Tidur.
Paginya, Budi berangkat sekolah, dan
ditanya oleh gurunya.
"Sudah dikerjakan PR-nya,
Budi?"
"Sudah, Pak!"
"Baik, sekarang Bapak mau bertanya.
Siapa presiden Amerika Serikat?"
"Won Bin."
"Appaaa? Siapa yang
mengajari?"
"Bu RT."
"Keluar kamuuu!" teriak Pak
Guru.
"Oke Bos!"
* * *
Kita boleh tertawa,
atau mungkin sekadar senyum simpul membaca joke di atas. Tetapi, jika Anda
menyimak teori observational learning
dari Albert Bandura, mungkin senyum Anda akan segera mengatup.
Begini kata Bandura, “Learning would be
exceedingly laborious, not to mention hazardous, if people had to rely solely
on the effects of their own action to inform them what to do. Fortunately, most
human behavior is learned observationally through modeling: from observing
others one form an idea of her new behavior are performed, and on later
occasion this coded information serves as a guide for action".
Ya, sebagian besar
manusia belajar dengan cara mengamati model, alias mencontoh, atau mengimitasi.
Perilaku seorang manusia ternyata dibentuk karena adanya interaksi timbal balik
yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.
Jadi, pengaruh lingkungan ternyata sangat-super-duper penting (maafkan jika
saya lebay, tetapi memang begitulah adanya).
Pada seorang anak,
proses imitasi sangat kuat, karena mereka ibarat kertas putih, atau perekam
canggih dengan kapasitas penyimpanan yang masih kosong. Apa saja akan terekam
dari mereka. Hasil interaksi mereka dengan lingkungan, akan melahirkan
pengalaman. Dan, pengalaman adalah bahan baku pembentuk behaviour bahkan juga personality
dan konsep diri.
Misalnya, anak yang
dibesarkan dari keluarga yang sangat protektif dan dominasi orang tua yang
kuat, dia akan cenderung tidak mandiri. Tak berani mengambil keputusan, alias
terlalu menggantungkan diri pada lingkungan, pada apa kata orang, alias
memiliki ‘aku social’ yang tinggi. Sementara, anak yang dibesarkan pada
keluarga yang terlalu berlebihan dalam memanjakan, biasanya akan tumbuh sebagai
anak yang cenderung berorientasi pada diri sendiri, alias memiliki ‘aku diri’
yang dominan. (Perihal konsep diri, aku diri, aku sosial dan aku ideal,
insyaAllah akan saya bahas di kesempatan lain).
Jadi, meskipun
sepintar terlihat lebay—namanya juga joke—sebenarnya
apa yang terjadi pada Budi, bisa juga terjadi pada anak kita.
Tak usah jauh-jauh,
beberapa sifat kurang baik yang ada pada anak saya, saya sadari ternyata
menurun dari saya. Misalnya, jika saya sedang sangat berkonsentrasi dengan
sesuatu, misalnya membaca, menulis atau melakukan aktivitas lain, biasanya saya
suka cuek dengan sekitar. Dipanggil butuh beberapa kali panggilan untuk bisa connect. Nah, ternyata perilaku itu
menurun kepada anak saya, Anis. Usianya baru 8 tahun, tetapi dia sudah sangat
hobi membaca. Koleksi bukunya hampir seratusan judul. Jika Anis sedang membaca,
saya harus menyimpan kesal, karena butuh minimal tiga kali panggilan dengan
irama yang kian meninggi untuk membuyarkan konsentrasinya.
Nah, sekarang Anda
coba bayangkan, apa yang akan dipelajari anak kita, jika saban hari anak-anak
melihat kita melakukan hal-hal yang tidak produktif, atau bahkan bermaksiat. Mari
kita renungi sajak di bawah ini:
Jika anak sering di
cela,
Ia akan terbiasa
menyalahkan
Jika anak banyak
dimusuhi,
Ia akan terbiasa
menentang
Jika anak dihantui
ketakutan,
Ia akan terbiasa
merasa cemas
Jika anak banyak di
kasihani,
Ia akan meratapi
nasibnya
Jika anak sering
diolok-olok,
Ia akan terbiasa
menjadi pemalu
Jika anak dikitari
rasa iri,
Ia akan terbiasa
merasa bersalah
Jika anak serba
dimengerti,
Ia akan terbiasa
menjadi penyabar
Jika anak di beri
dorongan,
Ia akan terbiasa
percaya diri
Jika anak banyak di
puji,
Ia akan terbiasa
menghargai
Jika anak di terima
oleh lingkungannya,
Ia akan terbiasa
menyayangi
Jika anak tidak
banyak dipersalahkan,
Ia akan terbiasa
senang menjadi dirinya sendiri
Jika anak mendapatkan
pengakuan dari kiri-kanan,
Ia akan terbiasa
menetapkan arah langkahnya
Jika anak di
perlakukan dengan jujur,
Ia akan terbiasa
melihat kebenaran
Jika anak ditimang
tanpa berat sebelah,
Ia akan terbiasa
melihat keadilan
Jika anak mengenyam
rasa aman,
Ia akan terbiasa
mengandalkan diri dan mempercayai orang sekitarnya
Jika anak di kerumuni
keramahan,
Ia akan berpendirian : “Alangkah indahnya dunia ini!”
(Dorothy Low Nolte)
5 komentar untuk "Anak, Sang Pengimitasi Nomor Wahid"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!