Pilih Mana: Penulis Buku vs Kreator Buku?
Beberapa hari
terakhir, saya kehilangan konsentrasi untuk menulis teks panjang, baik fiksi
maupun non fiksi. Padahal, ada dua atau tiga buku yang semestinya segera saya
selesaikan agar bisa terbit di tahun ini, sesuai target. Banyak hal yang
membuat saya susah mengarahkan pikiran pada pekerjaan yang sebenarnya telah
sangat menyedot minat saya sejak kecil ini. Hiruk pikuk, bising dan ingar-bingar
di sekitar, mulai dari pekerjaan kantor, urusan dengan beberapa agen ‘bermasalah’,
perkembangan dunia perbukuan yang begitu dinamis, hingga kondisi perpolitikan yang
memanas di tahun politik, membuat mau tidak mau saya harus melirik ke dunia
luar. Oh, tidak melirik, malah mempelototinya dengan akomodasi minimal plus
kacamata (hehe, lebay, ya?).
Dan itu, terus
terang sering membuat saya kehabisan energi. Sebenarnya, saya bukan sama sekali
tak memiliki waktu untuk menulis. Akan tetapi, konsentrasi yang terpecah,
sering membuat pikiran saya berkelana entah kemana, dan sulit untuk melekat
pada sebuah alur dan menyatu di dalamnya.
Oh, ini
sejenis hantu writer block kali ya?
Kalau iya,
hantu dari spesies mana? Apakah dia adalah sejenis vampire yang bangkit dari
kuburan kuno kaum Tionghoa? Atau drakula dengan darah berleleran di kanan kiri
mulutnya yang bertaring? Entah, bahkan saya terlalu lelah untuk mampu
mendefinisikan spesies writer block
jenis ini.
Yang jelas,
saat ini saya mendadak merindukan saat-saat saya berprofesi sebagai penulis
murni—dalam artian tidak mendobel profesi lain. Akhir tahun 2003, saya memilih resign dari pekerjaan saya di sebuah
penerbit—yang sebenarnya menjanjikan karir baik, salah satunya karena ingin
total di dunia tulis menulis. Dan, terbuktilah, masa-masa pasca resign, ternyata menjadi masa ‘kejayaan’
saya dalam karir kepenulisan. Paling tidak, saya cukup produktif saat itu.
Hampir setiap bulan ada buku saya yang terbit. Dan puluhan cerpen berhasil saya
tulis dan dimuat di berbagai media. Beberapa event perlombaan juga berhasil
saya menangi.
Keadaan itu
sangat berbeda ketika saya bersama teman-teman kemudian mendirikan Penerbit
Indiva pada 1 Agustus 2007. Meski pada awalnya saya berpandangan dengan menjadi
pengelola sebuah penerbitan berarti jadwal saya bisa lebih fleksibel, ternyata
kenyataan tak seperti itu. Jam kerja saya memang fleksibel, tetapi jika ketika
saya menjadi karyawan biasa tugas saya hanya delapan kali lima hari kerja dalam
seminggu, sementara menjadi bagian dari pengelola, tanggung jawab saya bisa 7
kali 24 jam dalam seminggu.
Wow!
Apalagi,
ketika mulai pertengahan tahun 2012, saya diminta total mengelola Penerbit
Indiva. Artinya, jika tahun-tahun sebelumnya tanggung jawab saya hanya sebatas
produksi, sekarang keseluruhan. Dari produksi, marketing hingga administrasi
keuangan.
Tunggu, saya sama
tidak keberatan dengan tugas itu. Saya menikmatinya. Bukan soal gaji, karena
bagi saya, work is like playing a game.
Ya, kerja yang sesuai passion tentunya. Karena kata pepatah sesuatu yang tanpa passion itu akan jadi poison. Pernahkah Anda menyukai game
tertentu? Tak hanya suka mengulang-ulang, Anda pasti akan termotivasi untuk
menaklukkan grade demi grade, sehingga Anda berhasil sampai pada level
tertinggi? Hayo, yang nyengir berarti pecandu game! Hehe.
Balik ke
permasalahan, ya?
Saya menyukai
tantangan baru ini, akan tetapi, saya mendadak tersadar, dengan keputusan yang
saya ambil ini, saya sudah tak sebebas dahulu. Saya telah tergabung dalam
sebuah tim besar, yang memiliki tujuan lebih besar lagi. Saya memahami, ketika
saya melebur dalam sebuah tim, maka orientasi saya bukan lagi
kemenangan-kemenangan pribadi, tetapi kemenangan tim. Jika dahulu saya cukup
merasa puas jika buku saya terbit, mendapat respon yang baik, dan selling yang
bagus, maka sekarang saya juga harus berpikir, bagaimana puluhan—bahkan ratusan
buku yang diterbitkan oleh tim saya, semuanya terbit dengan konten dan kemasan
sebaik mungkin, terdistribusi sebaik mungkin, dan terjual sebanyak mungkin.
Tapi, tunggu!
Sebenarnya,
apa sih tujuan saya terjun di jagad literasi ini? Bukan untuk sok-sokan ya,
tetapi menjadi bagian dari kebangkitan literasi di negeri ini, adalah salah
satu visi yang hingga kini cukup mampu menggerakkan mesin dalam tubuh saya.
Ketika sel-sel saya tertidur dan jaringan dalam tubuh bermalas-malasan, visi
itu bak semprotan air yang seketika membangunkan saya dan seketika membuat mata
saya terbuka lebar dan bersemangat kembali.
Apa beda saya
antara sekarang dengan kondisi waktu-waktu itu?
Saat saya
masih bekerja di penerbit, saya 50% penulis buku dan 50% creator buku. Saat memilih
jadi penulis lepas, saya 90% penulis buku dan 10% creator buku. Saya tidak
menyebut 100% penulis buku, karena pada kenyataannya, meski sedikit, saya juga
tetap berperan sebagai creator buku. Misalnya, mengeditkan naskah teman-teman,
memberikan saran-saran perbaikan dan sebagainya, yang saya lakukan secara
independen. Sekarang? Perimbangannya mungkin 25% penulis buku dan 75% creator buku.
Tak ada
masalah. Karena masih sama-sama berkutat di perbukuan, bukan?
Jadi, apa
masalahnya?
Ya, apa
masalahnya ya? Ya tadi, masalahnya, saya ingin terus menjadi penulis buku.
Baiklah, saya yakin, hidup pasti melewati satu siklus. Perlahan, saya akan
kembali merebut porsi lebih besar untuk menjadi seorang penulis buku. Jika saat
ini saya hanya punya 25% waktu produktif saya untuk menulis, lama-lama, saya
akan tambah menjadi 30, 35 dan seterusnya.
Jadi,
saat-saat bising seperti saat ini, nikmati sajalah.
1 komentar untuk "Pilih Mana: Penulis Buku vs Kreator Buku?"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!