Harga Persahabatan
Baru-baru ini saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dari anak saya, Anis (8 tahun). Pelajaran yang meninggalkan bekas cukup dalam. Begini ceritanya, suatu siang, saya mengajak Anis dan Rama makan mie ayam di warung mie dekat kantor yang memang lumayan lezat dan murah meriah. Tentu saja, anak-anak senang bukan kepalang. Makanan favorit mereka memang mie ayam.
Bertiga kami berjalan kaki menuju
warung yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari kantor itu. Karena pengunjung
cukup banyak, kami pun menunggu untuk beberapa saat di ruangan yang bersih
meski sederhana. Saat menunggu datangnya hidangan itulah, seorang anak seusia
Anis keluar. Manis dan berjilbab pink, warna kesukaan Anis. Ternyata dia adalah
anak dari Bapak penjual mie ayam.
"Ayo kenalan, Cin...," bisikku pada Anis (saya biasa memanggil anak-anak dengan Cinta). “Siapa tahu nanti dia jadi sahabatmu. Enak, kan, punya sahabat anak pemilik warung mie ayam, bisa makan mie ayam gratis." Asli, tak ada maksud apapun yang melambari ucapan spontan saya kecuali sekadar bercanda.
Di luar dugaan, Anis menjawab serius. "Lho, nggak begitu, Mi. Kalau sahabat, tuh, misal harga mie ayamnya 5 rb, malah kita harus bayar 6 ribu."
"Lho, kok lebih?"
"Kan, sebagai hadiah karena dia sudah mau bersahabat denganku."
Jleeeb...."Ayo kenalan, Cin...," bisikku pada Anis (saya biasa memanggil anak-anak dengan Cinta). “Siapa tahu nanti dia jadi sahabatmu. Enak, kan, punya sahabat anak pemilik warung mie ayam, bisa makan mie ayam gratis." Asli, tak ada maksud apapun yang melambari ucapan spontan saya kecuali sekadar bercanda.
Di luar dugaan, Anis menjawab serius. "Lho, nggak begitu, Mi. Kalau sahabat, tuh, misal harga mie ayamnya 5 rb, malah kita harus bayar 6 ribu."
"Lho, kok lebih?"
"Kan, sebagai hadiah karena dia sudah mau bersahabat denganku."
Kutatap
wajah anak sulungku itu dengan perasaan yang mendadak penuh haru. Ya, saya
memang hanya sedang bercanda saat itu. Tetapi, ucapan Anis, di luar kelindan
pikir yang saat itu berada di benak. Bukan, bukan berarti saya tak pernah
mendapatkan ajaran semacam itu. Hanya, saya LUPA.
Lupa, entah
karena apa. Mungkin karena sampah materialistis telah sekian lama menjejali
otak saya, sehingga keluhuran nilai semacam itu terasa menakjubkan. Seiring
dengan ucapan bening itu, mendadak kisah-kisah heroik yang pernah saya dapatkan
dari berbagai sumber berloncatan keluar dari memori jangka panjang saya.
Salah satunya kisah yang termuat di buku Memoar Hasan Al-Banna (diterbitkan Era Intermedia). Ada sepasang sahabat di Mesir yang terlibat dalam perdebatan keras. Apa pasalnya? Sangat unik! Dikisahkan bahwa si A hendak membeli barang yang dijual oleh si B. Si B, karena merasa yang membeli adalah sahabat dekatnya, bersikukuh hendak memberi diskon. Lucunya, si A, karena merasa membeli barang dagangan dari sahabatnya sendiri, bersikeras hendak membeli dengan harga lebih, agar keuntungan yang diterima sahabatnya itu bertambah banyak. Setelah berdebat, akhirnya mereka sampai pada kesepakatan untuk jual-beli sesuai harga, tanpa diskon, tanpa harga lebih.
Subhanallah...
Kejadian ini memaksa saya untuk berkaca. Saat ini, jika saya memiliki sahabat, saya justru menganggap bahwa ini keuntungan buat saya. "Kasih diskon lebih dong," begitu kata saya kalau membeli sesuatu darinya. Atau, kadang malah, "gratisin yaaa?"
Sementara, di kisah-kisah mulia yang digoreskan dalam lembaran sejarah, kita juga mengenal berbagai kisah mendebarkan tentang para sahabat yang justru lebih mengutamakan sahabat lainnya.
Salah satunya kisah yang termuat di buku Memoar Hasan Al-Banna (diterbitkan Era Intermedia). Ada sepasang sahabat di Mesir yang terlibat dalam perdebatan keras. Apa pasalnya? Sangat unik! Dikisahkan bahwa si A hendak membeli barang yang dijual oleh si B. Si B, karena merasa yang membeli adalah sahabat dekatnya, bersikukuh hendak memberi diskon. Lucunya, si A, karena merasa membeli barang dagangan dari sahabatnya sendiri, bersikeras hendak membeli dengan harga lebih, agar keuntungan yang diterima sahabatnya itu bertambah banyak. Setelah berdebat, akhirnya mereka sampai pada kesepakatan untuk jual-beli sesuai harga, tanpa diskon, tanpa harga lebih.
Subhanallah...
Kejadian ini memaksa saya untuk berkaca. Saat ini, jika saya memiliki sahabat, saya justru menganggap bahwa ini keuntungan buat saya. "Kasih diskon lebih dong," begitu kata saya kalau membeli sesuatu darinya. Atau, kadang malah, "gratisin yaaa?"
Sementara, di kisah-kisah mulia yang digoreskan dalam lembaran sejarah, kita juga mengenal berbagai kisah mendebarkan tentang para sahabat yang justru lebih mengutamakan sahabat lainnya.
Di
antara korban yang berjatuhan di Perang Yarmuk, Hudzaifah al-Adwiy berusaha
mencari keponakannya dengan membawa seteko air. Akhirnya, dia menemukan
kemenakannya tengah tergeletak dalam kondisi luka parah. Hudzaifah berlutut,
dan memberinya minum. Namun, baru saja kemenakannya itu hendak minum, terdengar
suara erangan dari sampingnya. Spontan si kemenakan menunjuk ke arah sosok yang
tengah mengerang itu, memberi isyarat kepada Hudzaifah untuk memberikan
minumnya kepada sosok itu.
Hudzaifah
pun bergeser ke arah sosok yang mengerang itu, yang ternyata sedang kehausan,
yang tak lain adalah Hisyam bin ‘Ash. Akan tetapi, baru Hisyam hendak minum,
kembali terdengar suara mengaduh dari arah lain.
Hisyam spontan memberi isyarat kepada Hudzaifah untuk memberikan minumnya kepada orang tersebut. Hudzaifah menurut dan bergerak, namun saat sampai ke lokasi, ternyata orang tersebut telah meninggal. Lantas, ketika kembali ke Hisyam, lelaki itu pun telah meninggal, demikian pula sang kemenakan, sementara teko berisi air di tangan Hudzaifah masih utuh.[1]
Hisyam spontan memberi isyarat kepada Hudzaifah untuk memberikan minumnya kepada orang tersebut. Hudzaifah menurut dan bergerak, namun saat sampai ke lokasi, ternyata orang tersebut telah meninggal. Lantas, ketika kembali ke Hisyam, lelaki itu pun telah meninggal, demikian pula sang kemenakan, sementara teko berisi air di tangan Hudzaifah masih utuh.[1]
Kita
juga teringat akan kisah Abu Bakar Ash-Shidiq yang menemani Rasulullah SAW
dalam perjalanan hijrah ke Madinah. Saat itu, mereka dikejar-kejar pasukan
Kafir Quraisy, sampai mereka kemudian menemukan sebuah gua untuk bersembunyi.
Karena masih ada waktu, Abu Bakar pun masuk terlebih dahulu untuk membersihkan
gua.
Mereka pun masuk saat gua bersih. Namun, saat ada di dalam, Abu Bakar melihat ada satu lobang yang belum ditutup. Khawatir bahwa lobang itu adalah sarang ular yang membahayakan sahabat tercintanya, Rasulullah SAW, Abu Bakar pun menutup lubang itu dengan ibu hari kakinya. Dan, ternyata benar, seekor ular berbisa mematuk ibu jari kaki Abu Bakar.
Mereka pun masuk saat gua bersih. Namun, saat ada di dalam, Abu Bakar melihat ada satu lobang yang belum ditutup. Khawatir bahwa lobang itu adalah sarang ular yang membahayakan sahabat tercintanya, Rasulullah SAW, Abu Bakar pun menutup lubang itu dengan ibu hari kakinya. Dan, ternyata benar, seekor ular berbisa mematuk ibu jari kaki Abu Bakar.
Derajat
persahabatan zaman ini mungkin belum sampai pada taraf tersebut, yang oleh para
ulama dinamai dengan itsar, yang menurut para ulama dimaknai sebagai: “Mementingkan
orang lain atas diri mereka sendiri.” Akan tetapi, karena sifat inilah, Kaum
Anshor dipuji oleh Allah dan diabadikan dalam Al-Quran.
"Dan mereka mengutamakan
(orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hasyr: 9).
Jadi, tidakkah kita menginginkan pujian Allah juga tercurah kepada kita?
[1] Berkas-Berkas
Cahaya Kenabian, Muhammad Ahmad Assaf
4 komentar untuk "Harga Persahabatan"
leyla
Tapi serius, saya sedang mencoba mempraktikkan konsep socialpreneur...
Semoga tak luntur oleh kerasnya kehidupan T_T
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!