Purnama Di Atas Ampera
Catatan Perjalanan
Afifah Afra
Sabtu, 25 Mei 2013
Matahari baru tergelincir ke arah
barat tatkala pesawat yang kunaiki mendarat di Bandara Sultan Mahmud
Badaruddin, Palembang. Seperti biasa, aku paling malas untuk berebut menjadi
tercepat keluar pesawat. Maka, sambil duduk santai sembari menunggu suasana
pesawat agak longgar, kuaktifkan ponselku. Sesaat ponselku diramaikan dengan
hampir selusin notifikasi. Satu pesan masuk.
“Mbak, aku lagi duduk manis, nunggu
di depan pintu keluar ya?” BBM dari Azzura Dayana, penulis muda yang novelnya
baru-baru ini memenangi salah satu event perlombaan bergengsi di tanah air. Aku
nyengir membaca BBM itu. Ternyata bukan panitia, namun seniornya langsung yang
menjemputku. Ya, meski Yana—begitu nama panggilannya, lebih muda dariku, di
Sumatera Selatan, dia termasuk senior. Jadi, boleh, dong, sejenak aku merasa
terhormat.
Azzura Dayana bukan orang lain
bagiku. Meski belum ada setengah lusin kali bersua fisik, kami bersahabat
lumayan dekat. Kami sering berdiskusi mulai tema kepenulisan hingga curhat, lewat
telepon, BBM, atau email—eh, jarang lewat socmed ya, baru nyadar :). Aku berhutang budi
kepada Yana, karena dia termasuk salah seorang yang ikut membidani lahirnya
novel Da Conspiracao, yang saat ini masih menduduki peringkat pertama novel
tertebal yang berhasil saya hasilkan.
Nah, selain Azzura Dayana, ternyata
ada juga Dian Rennuwati yang menyopiri sendiri mobilnya. Dokter yang sebentar
lagi berputera tiga ini, malah rekanku sebaya. Beliau mantan ketua FLP Sumatera
Selatan beberapa periode silam, sama-sama termasuk generasi ‘tuir’ di
organisasi kepenulisan yang berdiri sejak 1997 ini. Jadi, ajang pertemuan ini, sekaligus jadi
reuni antara saya dengan Dian yang sudah hampir 9 tahun tak bertemu.
Perjalanan dari bandara menuju lokasi
acara berlangsung seru. Apalagi ketika topik pembicaraan berubah dari obrolan
khas penulis menjadi bincang-bincang bisnis. Selain menjadi dokter, Dian
ternyata membuka beberapa outlet salon khusus perempuan. Jadi nyengir-nyengir
sendiri saat menyadari bahwa aku termasuk perempuan yang paling malas merawat
diri di salon. Paling banter ke salon ngantar anak-anak potong rambut doang.
Aih, Pindang Patin Musi
“Kita makan siang di mana nih, Mbak
Dian?” tanya Yana. Nah, ini pertanyaan yang paling kunantikan. Soalnya perut
sudah mulai meronta-ronta. Maklum, dari rumah belum sempat sarapan. Usai subuh,
suamiku mengantar ke Bandara Adi Sumarmo Solo, dan jam 6 tepat pesawat meluncur
ke Jakarta. Di Bandara Soetta, seperti biasa aku tak memiliki selera untuk
mencicip makanan di sana. Selain harganya berlipat-lipat lebih mahal, juga
lidah ‘jawaku’ ini termasuk sulit beradaptasi dengan makanan yang kebanyakan
bermerek asing di sana. Saya pun memilih bertahan dengan amunisi khas backpacker ala saya: sekotak kopi susu,
dan beberapa batang cokelat. Biasanya, saya mengandalkan snack pemberian
maskapai penerbangan, dan baru menyadari, maskapai yang kunaiki saat ini
ternyata tak menyediakan free snack.
Olala! Apa karena konsepnya flight is
cheap?
Mereka, Dian dan Yana sesekali
berdiskusi dalam bahasa daerah yang kadang tak aku pahami. Namun, karena aku
termasuk penggemar hal-hal yang berbau etnik, saya memaksakan diri untuk
menyelami perbincangan mereka. Serasa aneh malah, jika jauh-jauh ke Palembang,
malah yang kudengar bahasa Indonesia yang baik dan benar, alih-alih bahasa gaul
ala Jakarta. Lama-lama, sedikit banyak aku malah jadi sedikit tahu bahasa
Palembang. Cak mano. Cak itula… kito mau kemano, hihi….
Suasana Palembang kian terasa pada
menu yang disajikan. Yeeah, ternyata pilihan mereka adalah pindang patin.
Sesuai keinginanku. Beberapa tahun silam, aku juga pernah ke Palembang, dan
diajak jalan-jalan menikmati kuliner Palembang oleh sahabat saya, Ummi
Guzmilizar dan Abi Wijayanto sekeluarga, dan rekomendasi mereka saat itu adalah
pindang patin. Rasa pindang yang pedas agak asam, masih tertinggal di lidahku.
Haiyah.
Mobil yang dikendarai Dian pun
meluncur ke Rumah Makan Pindang Musi. Tak pakai lama, hidangan telah siap.
Hampir semeja penuh. Yang menarik, selain pindang patin itu sendiri, ada juga
ikan-ikan kecil yang digoreng renyah. “Ini namanya ikan seluang, Mbak Afra,”
ujar Yana.
“Ikan ini konon hanya ada di Sungai
Musi,” lanjut Dian.
Aku coba cicip ikan seluangnya, hm,
renyah nian, dan … enak! Selain
ikan-ikan seluang, hidangan pelengkap lainnya, ada hampir 4 jenis sambal dan
lalapan. Nah, pas saya coba salah satu sambal, waduuuh kecuuut. Ternyata
sambalnya terbuat dari mangga muda. Pantesan. Dian dan Yana ketawa-ketawa
melihat tampangku.
Makan siang yang seru berakhir
dengan perut kenyang.
Azzura Dayana menikmati hidangan Pindang Patin. Sayang aku cuma motret dengan kamera BB, goyang pula :-) |
Musywil
Kami pun meluncur ke Wisma
Rupalesta, tempat berlangsungnya acara Musywil FLP Sumatera Selatan. Jadi,
jauh-jauh datang ke Palembang, ceritanya, nih, aku sedang jadi utusan Badan
Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena untuk menghadiri Musywil tersebut. Memang,
dalam AD/ART FLP, Musywil wajib dihadiri peninjau dari pengurus pusat.
Bersama sebagian peserta Musywil. Saya yang berbaju hitam :-) |
Wajah-wajah ceria para peserta
musywil—yakni utusan dari 8 cabang FLP se-Sumatera Selatan menyambutku. Ada
perwakilan dari Lubuk Linggau, Ogan Ilir, Kota Palembang, OKU, Prabumulih dan
sebagainya. Seperti biasa, Musywil dengan segala dinamikanya berjalan seru.
Sutan, yang menjadi ketua sidang memimpin acara dengan kocak, membuat acara
terasa segar dan jauh dari membosankan.
Menjelang pergantian hari, sidang
berakhir, dan yang terpilih menjadi Ketua FLP Sumatera Selatan periode
2013-2015 adalah Saudara Acep Kusmana, yang juga incumbent—alias ketua sebelumnya. Kata Nani Syahriani, salah
seorang anggota senior di FLP Sumsel, Acep Kusmana memang relatif berhasil
memimpin FLP Sumsel. Salah satu bentuk keberhasilannya, saat ini FLP Sumsel
bahkan telah memiliki penerbit sendiri dan mesin cetak seharga sekitar Rp 150
juta. Keren, deh! Selamat, ya, Acep!
Jembatan Ampera
Nah, di sela-sela acara, tepatnya saat
break acara musywil, mendadak beberapa orang menghampiriku. “Ayo mbak, kita hang out sejenak ke Jembatan Ampera!”
ujar Azzura Dayana yang sudah siap dengan kamera DSLR di tangannya.
Wow, soal mendatangi tempat-tempat
yang jadi landmark sebuah daerah, itu sih hobiku. Tanpa pikir panjang, aku
mengangguk. Selain Yana, ada juga Deka dan Icha, dua gadis Palembang yang lucu
dan cerdas.
Kami meluncur menggunakan mobil
Toyota Rush hitam milik panitia. Wow, langit Palembang cerah sekali malam itu.
Dan, bulan purnama yang bulat sempurna, bertakhta begitu megahnya. Suasana
Palembang di waktu malam, menjadi begitu istimewa.
Mobil diparkir di Depan Benteng
Kuto Besak, yang kata Deka dibangun tanpa semen. “Trus, pakai apa, dong?”
tanyaku.
“Pakai putih telur, Mbak,” jawab
Deka. “Jadi, putih telurnya dipakai buat bangun benteng, kuning telurnya
dibikin empek-empek, hehe.”
Aku ngikik mendengar jawaban aneh
Deka. Ada-ada aja.
Di depan Benteng Kuto Besak, saya
sudah siap-siap membuka kamera digitalku. Tapi buru-buru dicegah Deka. “Jangan
lama-lama di sini, Mbak. Nggak baik. Banyak yang suka niat jahat.”
Yaah, nggak jadi deh, menjelajah
area sejarah yang selalu sukses mencubiti rasa penasaranku.
Untungnya, panorama di tepi Sungai
Musi malam itu sungguh elok. Pelataran sangat meriah. Ribuan manusia
tumplek-blek di sana. Minimnya pencahayaan dari lampu, membuat purnama menjadi
dominan, dan itu memunculkan nuansa romantic tersendiri. Apalagi, beberapa
ratus meter dari tempat itu, Jembatan Ampera terlihat begitu gagah sekaligus
cantik dengan themecolor yang
berganti-ganti: merah, pink, ungu, hijau, biru … oh, indah sekali. Keindahan
itu ingin sekali kuabadikan. Sayangnya, berkali-kali aku mencoba memotret,
hasilnya selalu jelek. Cahaya yang kurang, membuat gambar terlihat gelap.
Mungkin kamera digitalku harus disetting
mode twilight. Berhasil juga, tapi
gambarnya selalu rusak. Pada pencahayaan yang minim, kamera harus antigoyang.
Bahkan getar tangan atau napas si pemotret saja bisa membuat gambar menjadi
rusak. Ternyata, Yana yang memotret dengan DSLR pun mengalami kesulitan yang
sama. Mestinya, shootnight memang wajib menggunakan tripod untuk menghasilkan
gambar yang stabil.
“Mbak, jangan di sini motretnya,
gak asyik. Yuk loncat pagar!” usul Icha. Mereka, tiga gadis itu, mendadak
memiliki ide seru. Sebenarnya, tembok di tepi sungai Musi itu tak seberapa
tinggi, hanya sekitar 1 meter. Tapi, lumayan juga saat mencoba beraksi
melompati.
Nah, benar. Di tepi sungai, suasana
lebih enak. Lebih sepi. Hanya ada beberapa orang yang tengah asyik memancing.
Juga pasangan muda-mudi yang sedang pacaran. Malam minggu, soalnya.
Berada hanya beberapa langkah dari
Musi, membentang dengan megah sebuah panorama yang eksotis. Kapal-kapal
berseliweran dengan cahaya yang minim, jembatan yang indah, hamparan sungai
yang memantulkan cahaya, dan bangunan-bangunan di kejauhan yang kerlap-kerlip
indah. Ada keinginan dalam hatiku untuk menjajal menaiki kapal itu. Tetapi, aku
harus bijak memahamkan benak, bahwa waktunya tak banyak. Ya sudah, setelah
foto-foto, kami memilih cabut.
Ooh, Pesona Jakabaring
Karena masih ada sedikit waktu,
kami mampir di Stadion Gelora Sriwijaya alias Stadion Jakabaring. Sebagai wong
solo, aku punya kebanggaan dengan Stadion Manahan. Tetapi, dibanding
Jakabaring, Manahan jelas kalah. Wajarlah, kan lain kelas. Di Jakabaring sering
berlangsung event internasional, antara lain SEA Games 2011.
Sayang, lagi-lagi karena
keterbatasan waktu, kami hanya mengelilingi stadion yang indah dan megah itu,
dengan danau buatan yang memesona. Dalam hati, aku bertanya-tanya, berapa ya,
biaya yang keluar untuk membangun stadion seluas sekitar 40 hektar itu? Kami juga
sempat berupaya mengambil beberapa gambar lokasi, meski dengan tingkat
kesulitan yang sama dengan saat mencoba memotret di Ampera. Tapi, meski susah
payah, setidaknya aku memiliki dokumentasi tersendiri yang bisa menjadi
kenangan.
Kami pun kemudian pulang untuk kembali bergabung dengan peserta Musywil. Aku sendiri, masih harus menyimpan energi, karena esok pagi masih harus mengisi dialog interaktif tentang kepenulisan kreatif di Aula DPRD Provinsi Sumatera Selatan, yang juga menjadi rangkaian dari acara Musywil FLP Sumsel.
Kami pun kemudian pulang untuk kembali bergabung dengan peserta Musywil. Aku sendiri, masih harus menyimpan energi, karena esok pagi masih harus mengisi dialog interaktif tentang kepenulisan kreatif di Aula DPRD Provinsi Sumatera Selatan, yang juga menjadi rangkaian dari acara Musywil FLP Sumsel.
Baiklah, Palembang … sekian dulu
ceritaku. Lain kali, pasti aku akan kembali lagi untuk menatap purnama di atas
Ampera.
2 komentar untuk "Purnama Di Atas Ampera"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!