Ada Apa dengan Nama Pena Afifah Afra?
Banyak yang
bertanya-tanya, mengapa penulis sering menggunakan nama pena? Saya pun tak
luput dari pernyataan tersebut. Dari sekian banyak acara workshop kepenulisan,
bedah buku atau seminar-seminar yang saya isi, pertanyaan: “Mengapa mbak Afra
menggunakan nama pena? Apa arti nama pena Mbak Afra?” dan berbagai pertanyaan
sejenis termasuk jenis pertanyaan yang kerap dilontarkan.
Sebelum
saya menjawab, saya ingin cerita dulu ya, sejarah penggunaan nama itu. Seorang
penulis memakai nama pena, tentu merupakan sebuah hal yang tak asing bagi saya.
Bahkan tak hanya penulis, seniman di bidang lain pun sering menggunakan nama
alias. Ayah saya, meski hanya seniman lokal, punya nama alias, yaitu Aribowo.
Ayah menulis naskah drama, ketoprak, cerpen dll. menggunakan nama itu. Beliau
juga menciptakan banyak lagu keroncong dan langgam, dengan nama pena Aribowo.
Terkadang juga Sucipto Aribowo, atau bahkan meniru nama seorang marsekal angkatan udara yang gugur saat revolusi fisik melawan Belanda dan menjadi nama bandara di Yogya,
Adi Sucipto.
Selain
ayah, jelas, karena saya kutu buku asli, saya tahu bahwa para seniman khususnya
penulis, rata-rata menggunakan nama pena. Seperti WS Rendra (Willibrordus
Surendra Broto), NH Dini (Nurhayati Srihardini Siti Nukatin) atau Arswendo
Atmowiloto (Sarwendo) dan sebagainya. Nah, karena sejak kecil saya juga sudah
hobi baca dan menulis (keranjingan malah…), saya juga punya beberapa nama pena, seperti Vicky,
Odissey, dan sebagainya. Saya kurang tahu, apa dasar saya memilih nama pena
itu, hehe. Namanya juga bocah.
Tetapi,
meski punya nama pena, saat mengirim cerita ke beberapa media, dan sebagian
dimuat, saya pakai nama asli yang ditambah nama ayah, Yeni Mulati Sucipto.
Alasannya sangat sederhana, saya takut jika mengirim tulisan menggunakan nama pena, lantas jika
dimuat, weselnya tak sampai ke tangan saya. Aneh sekali, karena kan saya
sebenarnya bisa mencantumkan nama pena sekaligus nama asli di biodata.
Lalu,
pada awal kuliah, saya merasakan sebuah kehidupan yang sama sekali baru. Intinya,
saya dapat hidayah. Beberapa teman menggunakan nama baru sebagai ‘kelahiran’
kedua mereka, atau yang sering disebut nama hijrah. Saya pun tertarik
menggunakan nama hijrah. Oh, sama sekali bukan karena tak menghargai nama
pemberian orang tua. Buktinya, nama itu juga tetap dipakai dalam pergaulan
sehari-hari, dalam acara-acara resmi, dan tentu saja dalam berbagai dokumen
formal, hehe. Setelah mencoba membuka-buka kamus bahasa Arab, ketemulah nama
Afifah. Artinya, ‘Perempuan Yang Menjaga Kesucian.’
Nah,
kemudian adik saya, Anang, memberikan nama lain sebagai tambahan, yaitu
Amatullah, alias ‘Hamba Wanita Allah.’ Kata Anang, yang sudah jadi ‘ustadz’
sejak SMP (sueeer, adik saya yang cowok ini memang sholeeeh banget hehe),
sebaik-baik nama adalah Abdullah. Tapi, karena Abdullah kesannya lelaki, maka
disematkanlah nama Amatullah.
Horeee!
Saya punya nama baru: Afifah Amatullah. Tetapi, rasanya masih tetap kurang ‘jreng!’
Lalu saya ingat beberapa nama sastrawan yang terasa megah dengan 3 kata,
seperti Seno Gumira Ajidarma. Saya pun mencari-cari satu kata lagi untuk
disisipkan di tengah. Ketemulah Afra. Tepatnya Afra’, artinya, malam 13
purnama. Kadang, teman-teman yang paham bahasa Arab sering menyebut Afrah.
Padahal artinya berbeda, Afrah adalah jamak dari Farhah, yang artinya
kegembiraan. Tapi, okelah… silakan mau pakai Afra’ atau Afrah. Toh artinya
sama-sama positif. Jadi, alasan saya memakai nama Afifah Afra Amatullah
adalah karena itu nama hijrah. Namun, karena saya juga hobi menulis, lama-lama
saya pun menjadikan nama itu sebagai nama pena saya.
O,
ya… saat itu, ada penulis yang juga menggunakan nama pena Amatullah, kalau
tidak salah Amatullah Shafiyah, yang buku-bukunya diterbitkan oleh Gema Insani. Dan suatu hari, saya berkesempatan bertemu,
bahkan mengobrol cukup intens dan berguru dengan beliau, karena saat itu beliau memang bekerja di Gema Insani, meski bukan di lini fiksi. Saat itu, saya diajak mbak Aminah Mustari, editor buku-buku saya di Gema Insani untuk bertemu beliau di kantor Gema Insani di Depok. Tak disangka, saat itu, penulis keren itu sudah menjadi istri seorang menteri, yaitu Ibunda Sri
Rahayu Tifatul Sembiring. Sesama pengguna 'Amatullah' mungkinkah kelak nasib saya sama dengan beliau? :-D
Tapi,
bukan karena bertemu ‘kembaran’ dan kemudian merasa minder melihat ‘kembaran’
saya tersebut begitu cerdas dan keren, jika akhirnya saya melepas nama
Amatullah, hehe. Setelah sempat menggunakan nama AAA dalam beberapa cerpen dan
buku, saat saya menulis Trilogi Ilalang, akhirnya saya memutuskan untuk
menyingkat nama menjadi Afifah Afra saja. Saat itu saya berdiskusi dengan Mas
Ali Muakhir, yang menggawangi pernaskahan di Mizan. Beliau yang suka meledek
saya dengan mempelesetkan nama Afifah Afra Amatullah menjadi Afifah Afra
Amatlelah. Mungkin, karena aktivitas saya saat itu memang seabrek-abrek.
Organisasi saja mendobel di mana-mana. Hampir setiap hari, usai bekerja, saya
beraktivitas, lalu di sela-sela waktu menulis, dan tak ada waktu sela kecuali
saat tidur.
Sstt…
tetapi sebenarnya ada satu hal lagi yang membuat saya memilih tetap menggunakan
nama pena. Saya orangnya pemalu. Saya tidak mau identitas asli saya dikenal
orang di sekitar dengan cepat. Nah, terkait dengan ini, ada sebuah kejadian
yang lucu. Saat saya masih lajang, saat dalam perjalanan dari Purbalingga
(rumah orang tua) menuju Semarang dengan bus, saya satu bangku dengan seorang
anak muda, semester awal di bangku kuliah. Kami berkenalan dan ngobrol panjang
lebar. Saat itulah dia mengatakan, bahwa dia sangat suka membaca. Iseng saya
bertanya, siapa penulis favoritnya. Dia menjawab Asma Nadia dan Afifah Afra.
Wooow… saya nyaris meledak. Tetapi, ya itu… saya kan pemalu. Sampai dia turun
dari bus, dia tidak tahu, bahwa yang duduk di sampingnya adalah penulis
favoritnya. Xixixi….
Ya,
saya senang dengan privasi yang terbangun karena nama pena itu. Setidaknya, di
lingkungan sekitar, di mana saya lebih dikenal sebagai Bu Ahmad, Ummi Anis,
atau bahkan Bu Dokter (jika suami meraih gelar dokter karena ijazah, maka saya
menjadi bu dokter karena ijab-sah), saya merasa lebih nyaman menjadi seorang
ibu yang sama dengan ibu-ibu lain. Ikut rapat arisan PKK, ikut rewang saat ada
yang punya hajat, among tamu dan sebagainya.
16 komentar untuk "Ada Apa dengan Nama Pena Afifah Afra?"
Doa baik di akhir tulisan kuaminkan... :)
apa mungkin harus melahirkan suatu karya dulu?
makasih...
Untuk doanya, saya aamiinkan :)
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!