Stop Perang Dingin Perempuan Karir VS Ibu Rumah Tangga!
Perdebatan soal perempuan karir vs ibu rumah tangga, seperti tak habis-habisnya. Beberapa kali, saya melihat perdebatan itu telah keluar dari koridor, dan seperti menjadi ajang adu eksistensi. Kedua kubu saling beradu argumen, dan masing-masing menginginkan pengakuan sebagai yang terbaik.
Kubu ibu rumah tangga murni—saya sebut murni, karena perempuan karir pun rata-rata juga ibu rumah tangga—dengan argumen-argumennya, sering akhirnya ‘menyerang’ kubu perempuan karir. Sementara perempuan karir, di satu kesempatan, balas menyerang dengan amunisi yang tak kalah garang.
Maka, duduk permasalahannya pun menjadi rancu. Perempuan karir yang ‘kalah argumen’, akhirnya merasa nglokro, karena dianggap sebagai perempuan ‘durhaka’ yang tak memiliki kecukupan waktu untuk mengurusi rumah tangga. Padahal, contoh para perempuan karir yang memiliki putra-putri berprestasi, shalih-shalihah, dan suami yang ‘terpuaskan’ juga tak kurang-kurangnya.
Sementara, jika yang kalah argument adalah ibu rumah tangga, mereka menjadi underestimated dan akhirnya menjalani kehidupan yang mulia itu dengan ‘terpaksa’.
Ops, maaf ya, posisi saya di sini netral! Meski saya juga bukan ibu rumah tangga murni, saya sangat menghormati dan ‘cemburu’ kepada para perempuan yang bisa seratus persen di rumah, mengurusi anak, mengurusi rumah dan memenej segalanya dengan ‘sempurna’. Saya juga salut pada para ibu yang memilih dengan sadar menjadi ibu rumah tangga murni, dan bahkan mendidik anak-anaknya sendiri lewat home schooling—sesuatu yang pasti akan sangat sulit saya lakukan.
Tetapi, tentu masalahnya tak sesederhana itu.
* * *
Mari kita merujuk pada ajaran agama. Tak ada satu pun nash yang melarang perempuan untuk meniti karir yang tepat untuknya. Bahkan, seperti dituliskan oleh DR. Muhammad Baltaji, beberapa nash menunjukkan, bahwa lelaki dan perempuan harus saling tolong menolong dalam rangka mewujudkan kemashlahatan umum.
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” (QS. at-Taubah: 71).
Demikian juga dalam hadits Rasulullah, “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain laksana bangunan yang saling menguatkan satu bagian dengan yang lainnya.”
Ketika seorang perempuan meniti karir—di mana karir tersebut adalah sebuah pekerjaan yang ikut menyumbang kemashlahatan umat—tentunya ia menjadi bagian dari bangunan Islam itu.
Demikian juga, tak ada larangan bagi seorang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin di sebuah organisasi atau perusahaan. Hadits yang menyebutkan, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan” adalah hadits riwayat Bukhari yang terdapat dalam bab tentang peperangan. Nabi mendengar bahwa penduduk Persia—yang sangat memusuhi Islam—mengangkat anak perempuan Kisra menjadi ratu. Jadi, hadits tersebut adalah untuk masalah kepemimpinan puncak suatu negara. Para ulama bersepakat, bahwa perempuan tidak boleh menjadi pimpinan tertinggi suatu negara atau kekhalifahan, akan tetapi boleh menjadi yang selain itu.
Menurut DR. Mustafa as-Siba’i, perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin bagi anak-anaknya, orang-orang yang terbelakang kapabilitasnya, mewakili organisasi kemasyarakatan, termasuk memimpin karyawan-karyawan di sebuah perusahaan, asal ia berkompeten. Perempuan juga boleh menjadi wakil masyarakat di parlemen, khususnya jika ia mewakili kaum perempuan.
Hanya saja, perlu diperhatikan, bahwa perempuan boleh bekerja dengan catatan:
· Tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu
· Mendapatkan izin dari suami
· Tidak bekerja di tempat yang lelaki dan perempuan saling berbaur
· Tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang merusak kepribadian muslimah
· Senantiasa menjaga aurat dan kesucian dirinya
Bahkan, dalam kondisi darurat seperti perang pun, kaum perempuan boleh terlibat di dalamnya.
Anas berkata, “Aku melihat Aisyah dan Ummu Sulaim dalam keadaan sibuk. Kulihat perhiasan betis keduanya ketika mereka mengangkut air dari wadah. Kemudian wadah itu kosong diteguk oleh pasukan yang haus. Kemudian mereka mengisi lagi, wadah pun segera kosong kembali…” (HR. Bukhari).
Anas juga berkata, “Rasulullah berperang dengan mengikutsertakan Ummu Sulaim dan sejumlah perempuan Anshar. Mereka membawa air dan mengobati anggota pasukan yang terluka.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).
* * *
Sebagaimana kita tahu, manusia memiliki dua tugas utama, yakni tugas pribadi dan tugas kolektif. Tugas pribadi, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya: “Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun, dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali Aku ciptakan agar mereka menyembah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Sedangkan tugas kolektif, Allah berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’".(Q.S. Al-Baqarah:30).
Tugas khalifatu fil ardhi adalah tugas kolektif yang dibebankan kepada semua manusia. Untuk itulah, setiap manusia diberikan potensi masing-masing, yang berfungsi untuk menjalankan tugas sebagai bagian dari khalifatu fil ardhi itu. Maka, menggali potensi masing-masing adalah sebuah tugas besar umat manusia. Saya meyakini, amalan terbaik kita adalah amalan yang kita jalankan sesuai dengan potensi kita. Karena itulah, Allah menyuruh kita untuk ber-fastabiqul khairat—berlomba-lomba dalam kebaikan (QS. Al-Baqarah: 148). Dan, orang yang paling mulia di mata Allah, adalah “yang paling bertakwa di antara kamu”
“…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa di antara kamu….” (QS. Al Hujurat: 13).
Karena itu, ketika perempuan memang memiliki potensi yang sifatnya publik, semestinya dia harus mengoptimalkan hal tersebut untuk kemashalatan ummat. Misal, seorang perempuan memiliki kecakapan dalam masalah bahasa, berarti tugas dia dalam tim ‘khalifatu fil ardhi’ tentu berkaitan dengan masalah tersebut. Perempuan yang dia memiliki kemampuan kedokteran, dia wajib menolong orang lain, khususnya untuk hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan para lelaki, semisal menjadi dokter kandungan.
* * *
Dalam konsep rumah tangga Islam, pembagian tugas telah jelas. Lelaki mencari nafkah, perempuan melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Tetapi, tentu tak dilarang jika perempuan pun ikut terlibat dalam tugas mencari nafkah. Namun, lebih dari itu, konsep bekerja dalam agama Islam, sesungguhnya bukan hanya sekadar soal nafkah, tetapi juga dalam rangka saling menolong: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” (QS. at-Taubah: 71).
Juga dalam rangka tugas sebagai khalifatu fil ardhi, serta fastabiqul khairat untuk mendapatkan amalan terbaik sebagai seorang hamba Allah.
Jadi, mari kita tidak saling menghujat. Kedepankanlah prasangka baik. Jika Anda ibu rumah tangga murni, bersyukurlah, karena berarti Anda bisa lebih total mengurusi keluarga. Tetapi, Anda masih memiliki kewajiban lain, yakni mengoptimalkan potensi untuk tugas kolektif sebagai khalifatu fil ardhi itu. Sungguh indah, jika tugas-tugas kolektif itu ternyata bisa secara cemerlang Anda lakukan dari rumah.
Lepas dari itu, saya sangat menganjurkan para ibu rumah tangga untuk pelan-pelan memiliki kemandirian finansial. Berjualan secara online, membuat usaha-usaha kerajinan tangan, membuka toko kelontong atau warung makan, menulis, dan sebagainya.
Jika Anda perempuan karir, jangan keblinger! Tugas utama kita adalah menjadi seorang istri dan ibu. Jangan sampai tugas yang paling penting itu terabaikan untuk tugas-tugas lain. Dan yang paling penting, mari luruskan niat, bahwa apa yang kita lakukan sehari-hari, adalah demi kemashlahatan umat.
Wallahu a’lam.
23 komentar untuk "Stop Perang Dingin Perempuan Karir VS Ibu Rumah Tangga!"
Hidup adalah pilihan, Yang terbaik lakukanlah.
Dari umur 3 tahun saya diasuh sama pembantu. Alhamdulillah pembantunya baik. Dia sayang sekali sama saya , semua urusan tetek bengek diurus sama dia, dia tau makanan favorit saya, makanan yang saya ga suka , dia tau apa saja yang saya suka dan apa saja yang saya ga suka. Kami dekat banget , sehingga saya banyak bercerita kehidupan sekolah dan teman2 saya kepada dia. Dan kalau sedih ataupun senang , saya pasti langsung cerita sama dia. Itu semua terjadi sampai SMA bahkan kuliah. Bahkan ibu saya sempat bercanda "dia itu anak mba (pembantu) hahaha". Hahaha .lah iya wong semuanya apa-apa sama pembantu diurusinnya.
Jujur aja , pembantuku itu selalu ada di hatiku, malah dulu itu aq lebih sayang sama pembantuku daripada mamaku :( .
Barulah ketika saya mulai berpikiran dewasa, saya menyadari kalau saya harusnya lebih menyayangi ibu saya (bukan berarti saya benci atau ga sayang sama sekali). Bahwa saya seharusnya menempatkan ibu saya di posisi pertama di hati saya.
Seandainya ibuku membaca tulisan ini pasti hancur hatinya. Tapi ini adalah kejujuran hati seorang anak yang lebih sering diasuh pembantu.
Kesimpulan dari pengalaman saya adalah , jika para ibu tidak merawat dan mengasuh sendiri anaknya , akan tercipta gap antara ibu dan anak. Akibatnya komunikasi menjadi kurang baik, sulit untuk saling memahami, dan mempengaruhi kasih sayang antara keduanya. Dan yang paling utama adalah anak akan salah mengenali figur ibu yang sesungguhnya.
Skrg saya blm menjadi ibu , tp seandainya kelak menjadi seorang ibu saya akan merawat dan mengasuh sendiri anak saya, karena anak saya pantas untuk mendapat perhatian penuh dari ibunya, dan saya ga mau jadi yg nomer 2 di hati anak saya..
Memang benar , banyak wanita karir yang anaknya sholeh sholehah , tp itu bukan berarti tanda bahwa Allah ridho terhadap pilihan menjadi wanita karir yang bekerja di kantor (seperti mengabaikan fitrah dan tugas wanita sesungguhnya).
Ujian tidak selalu dalam bentuk kesulitan tapi juga kelapangan (anak sholeh atau pintar).
Semoga ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk para ibu2 di luar sana. Mohon maaf kl ada yg kurang berkenan.
Tulisan yg sangat menarik untuk dibaca:
https://asysyariah.com/tanggung-jawabmu-di-rumah-suamimu/
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!