SAMPAH*)
Oleh Afifah Afra
Ketika lelaki tua itu mulai muncul dengan suara cempreng khasnya,
sebenarnya segenap penduduk gang yang berjubel itu menyambut dengan gembira.
Kemunculan lelaki ramah yang mengaku berasal dari bagian timur Jawa itu seakan
menjadi solusi bagi problem pelik yang dihadapi oleh para penduduk: sampah!
Tanpa disadari,
setiap hari satu rumah membuang limbah paling sedikit satu keranjang sampah.
Padahal jumlah rumah di gang itu benar-benar telah melampaui batas yang wajar.
Yang disebut rumah di gang itu sebagian besar hanyalah petak sempit berukuran 4
x 3 meter persegi, masing-masing dihuni kira-kira 4 hingga 5 jiwa. Bahkan
rumah-rumah seperti milik Pak Derma atau Aa Karta, jubelan penghuninya berkisar
mencapai satu lusin. Tak terbayangkan, para manusia saling bertumpuk seperti
ikan asin di keranjangnya.
Maka produksi
sampah pun menjadi tak terkontrol. Setiap hari, sampah bertumpuk di sebuah bak
ukuran 2 kali 3 yang dibangun secara swadaya. Tiap sore, sampah itu dibakar
oleh warga yang dijadwal bergiliran. Namun karena out of control itulah,
lama-lama pembakaran itu tidak lagi menjadi hal yang efektif. Sampah pun
menggunung, kian hari kian menebarkan bau busuknya.
Oleh karenanya,
kemunculan lelaki ramah dengan gerobak sampahnya itu benar-benar disambut
gembira.
“Sampaaah!
Sampaaah!” begitu teriaknya.
Istriku sering
merasa heran, karena ia mengaku baru pernah menjumpai tukang sampah yang setiap
kali meneriakkan berita kedatangannya.
“Seperti pedagang
keliling saja,” ujar istriku. Sebenarnya aku pun belum pernah menjumpai tukang
sampah seperti itu, tetapi aku tidak perlu menganggap hal tersebut sebagai hal
yang aneh.
“Mungkin dia
sengaja mengabarkan kedatangannya, agar orang yang belum sempat buang sampah
menjadi tahu, dan segera mengambil sampah-sampahnya dari rumah untuk ia angkut
dengan gerobaknya itu,” dugaku. Tampaknya dugaanku itu memang benar. Lelaki
ramah itu sengaja memberi kesempatan kepada para warga untuk mengambil
sampah-sampah yang belum tersedia di depan rumah. Alhasil, setiap hari, begitu
keluar dari gang itu, gerobak lelaki ramah yang semula kosong begitu masuk ke
mulut gang, akan penuh berjubel begitu keluar dari gang tersebut.
Untuk
pekerjaannya itu, aku melihat pendar kebahagiaan tersendiri memancar di wajah
lelaki ramah itu.
“Saya menganggap
pekerjaanku ini adalah pekerjaan yang sangat mulia, Nak!” jawab lelaki itu
ketika kutanya akan semangatnya yang membuatku iri. Lantas aku pun membisikkan
sesuatu ke istriku. Lelaki itu pahlawan, dik.... Istriku tak menjawab,
sehingga aku tak tahu pasti, apakah ia setuju atau tidak dengan pernyataanku.
* * *
Tiba-tiba muncul
sebuah problem baru berkaitan dengan sampah itu. Aku baru menyadari ketika
suatu pagi di hari libur, aku membantu istriku membersihkan rumah petakan yang
kami sewa dengan harga dua ratus ribu sebulan itu. Tertatih aku mengangkat
kardus besar penuh berisi sampah, yakni kertas-kertas yang sebagian telah
dikerikiti tikus-tikus bandel, sepatu bekas yang sudah rusak, baju-baju yang
juga telah sangat usang—bahkan untuk sekadar diturunkan derajat menjadi lap,
serta beberapa buah tas yang beberapa lama menjadi rumah kecoa.
“Hm... ternyata
rumah kita ini jorok juga, ya?” ujarku.
“Bukan rumah kita
yang jorok, tetapi tikus dan kecoa di gang ini yang terlalu rese, Mas!” bela
istriku. “Mereka keluar masuk seenaknya. Obat dan racun tikus sudah tak mempan
saking saktinya mereka kini. Gang ini memang sudah tak sehat”
Aku tersenyum
tipis mendengar ucapan istri yang baru beberapa bulan kunikahi itu. Di luar,
kulihat Bu Asnah, Pak Diki dan Aa Karta tengah sibuk dengan keranjang sampahnya
juga.
“Sampah...
sampaaah!”
Hm... tepat
sekali kedatangan lelaki ramah itu.
“Sampah, Pak!”
ujarku. Lelaki itu mengangguk santun. Ia dorong gerobak besarnya menyusur jalan
sempit yang pas betul dengan ukuran gerobak itu menuju ke arahku.
“Hei... cepatlah
lewatnya! Bau, tahu!” teriak Pak Parlian tiba-tiba, ketus. Dan memang, begitu
gerobak itu lewat, serangkum bau busuk tercium dengan sangat tajam. “Bisa sakit
aku dibuatnya sama bau itu.”
“Iya!” sambut Pak
Sinaga, setali tiga uang. “Tahu bau busuknya minta ampun, sengaja diperlambat
lagi jalannya. Dasar tidak tahu diri!”
Aku tertegun,
lelaki pengangkut sampah itu pun tertegun. Sejenak ia terdiam, lalu serangkai
kata-kata halusnya pun keluar.
“Jadi, keberadaan
saya mengganggu?”
“Eh, jadi kau ini
tak sadar?” ujar Pak Diki. “Sampah yang kau bawa ini sumber penyakit, tahu!”
“Belum lagi,
gerobaknya segede truk, bikin yang berpapasan terpaksa harus ngacir keluar
gang, kalau tidak mau muntah-muntah mencium baunya.” Tambah Pak Sinaga lagi.
“Pak Sampah,” Aa
Karta, ketua RT di gang kami, tampak mencoba menengahi, “kami usul, bagaimana
jika mengambil sampahnya jangan pagi-pagi, tapi siang saja, saat kita, para
lelaki ada di luar rumah, saat mereka bekerja?!”
Pak Sampah
berpikir sejenak. Lalu ia mengangguk-angguk sambil tersenyum luruh. “Baiklah...
saya akan datang mengambil sampah setiap siang.”
Masalah selesai, desisku. Bersyukurlah,
karena Pak Sampah ternyata memiliki hati seluas samudera, sehingga tidak
menjadikan masalah menjadi berlarut-larut.
* * *
Ternyata aku
salah duga. Para bapak memang tak lagi melempar segudang komplain dengan
keberadaan Pak Sampah. Mereka tak harus berpapasan dengan gerobak bau itu saat
berangkat kerja, dan begitu mereka pulang, sampah-sampah telah tercerabut dari
gang sempit itu. Enak sekali, bukan?
Sayangnya, hal
tersebut ternyata tidak dirasakan oleh kaum ibu. Mereka mengeluh panjang pendek
di hadapan ketua RT, Aa Karta. Aku yang kebetulan bertempat tinggal tepat di
samping A’ Karta tentu saja mendengarnya. Bagaimana tidak? Batas antara rumah
yang satu dengan rumah lainnya di gang ini hanya selembar triplek tipis,
sementara suara para ibu nyaris mengalahkan deru mesin pabrik.
“Pak RT, kenapa
tukang sampah itu sekarang datangnya pas siang? Kami jadi merasa terganggu.
Saat siang itu waktunya kami bercengkerama, ngobrol-ngobrol ngegosip di depan
rumah,” ujar Bu Anton, berapi-api.
“Betul sekali!”
lengking Bu Asnah, penjual gado-gado. “Bayangkan, setiap saat saya disibukkan
bagaimana cara membuat gado-gado yang lezat, dan apa yang saya lakukan itu
menjadi buyar karena bau busuk itu!”
“Pak RT harus
membuat kebijakan tentang hal ini!”
“Ya. Kami tidak
mau terima!”
“Baiklah,” A’
Karta menimpali. “Nanti saya akan coba bicara dengan Pak Sampah. Kalian
mengusulkan kapan?”
“Sore saja!” ujar
Bu Asnah. “Kalau sore, kita kan sedang berkumpul di rumah. Kita bisa menutup
pintu rapat-rapat saat gerobak busuk itu datang.”
“Setuju!” teriak
yang lain.
“Baiklah, saya
akan mencoba bicarakan hal itu!”
Aku dan istriku
yang kebetulan mendengarkan pembicaraan itu hanya bisa saling pandang.
* * *
Masalah baru
kembali muncul. Kali ini, anak-anak yang bersuara lantang.
“Waktu sore itu
saatnya kami bermain! Kalau sampah itu datang, kami harus lintang pukang kabur.
Kami nggak terima!”
Akhirnya, waktu
pengambilan sampah pun diganti malam hari. Kupikir tak akan ada yang dirugikan
dengan keputusan itu. Bapak-bapak, ibu-ibu, juga anak-anak. Saat malam, semua
terlelap. Satu-satunya yang dirugikan, tentu saja Pak Sampah itu sendiri. Namun
dengan wajah tanpa goresan amarah, lelaki itu setuju dengan permintaan para
warga.
“Saya biasa tidur
selepas shalat Isya, dan bangun malam hari, sekitar jam satu malam. Nah, nanti
saya akan mengambil sampah ini jam satu malam.”
“Apa tidak
dingin, Pak?” tanyaku. Lelaki itu tersenyum.
“Tak apa, Nak!
Sudah kewajiban saya! Ini memang pekerjaan saya. Saya tidak mau membuat para
langganan saya kecewa.”
Padahal dia hanya
seorang tukang sampah, aku menelan ludah.
* * *
“Mas...!” istriku
berlari dengan tergopoh-gopoh, persis ketika aku baru saja menginjakkan kaki di
ruang tamu sempit rumah kontrakanku. “Orang-orang di sini memang sudah kelewat
batas!”
“O, ya?” aku
meletakkan tas berisi laptop buntut yang biasa menemaniku bekerja pada sebuah
kantor redaksi majalah bertiras minimal itu di atas karpet. Terus terang, aku
letih sekali, karena harus lembur dan pulang malam seperti saat ini. Beruntung
istriku masih terjaga. Paling tidak, secangkir kopi susu dan semangkok mie
rebus pasti sudah menunggu di meja makan.
“Tahu nggak mas,
tadi ada keributan di sini.”
“Keributan?”
Pantas istriku belum tidur.
“Itu lho,
anak-anak muda yang suka genjrang-genjreng di kardu siskamling sambil
mabuk-mabukan. Barusan mereka nggebukin orang!”
“Siapa yang
digebukin?”
“Pak Sampah.
Mereka marah, karena bau sampah itu mengganggu kesenangan mereka. Nah, karena
luka parah, Pak Sampah akhirnya dilarikan ke rumah sakit....”
Lidahku mendadak
terasa kelu.
* * *
Kutatap sampah
yang menggunung di mulut gang. Sudah seminggu lebih sampah-sampah itu tertumpuk
di sana. Tak ada lagi yang datang dengan gerobak dorongnya untuk memungutinya.
Pak Sampah masih tergeletak tak berdaya di ranjang kelas ekonomi sebuah rumah
sakit proletar. Dua orang tukang sampah yang mencoba menggantikannya hanya
bertahan masing-masing dua hari dan sehari.
Hanya Pak Sampah
yang sanggup menghadapi ketidaktahudirian warga gang sumpek ini.
“Mas, mobilnya
sudah datang!” ujar istriku, memecah lamunan. Aku tersentak. Segera kuraih tas
terakhir yang tergeletak di rumah kontrakanku. Mantan kontrakan, karena mulai
hari ini, alhamdulillah aku sudah bisa menempati rumah sendiri, meski harus
mencicil selama limabelas tahun.
“Sampah...
sampah...!!”
Suara cempreng
itu mengiang di telingaku.
*) pernah dimuat di majalah Annida
9 komentar untuk "SAMPAH*)"
Mbak Afifah, Syukran ya,, ditunggu cerita Inspirasi selanjutnya...
Syukran ya Mbak atas tulisan ini. Ditunggu artikel selanjutnya ya...!!
Mohon masukan dari Mbak juga di Blog saya.
Kebetulan saya pemula dalam dunia kepenulisan.
www.cahayapena.com
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!