Idealisme dan Masalah Krusial Dunia Perbukuan
Ketika memasuki sebuah toko buku yang menjadi langganan,
saya melihat sebuah tulisan yang cukup menyolok dari kejauhan. Diskon 40%!
Awalnya, saya hanya melirik sekilas dan tak tertarik. Dalam bayangan saya, namanya
buku didiskon segede itu, di toko buku yang terkenal jarang kasih diskon pula
(nggak usah kepo ya?), pasti kualitasnya di bawah rata-rata. Sebab, buku yang
bagus, tanpa diskon pun tetap diburu.
Akan tetapi, karena berkali-kali saya harus melewati lokasi
tersebut, akhirnya mata saya melirik juga. Dan betapa kagetnya… ternyata di
deretan buku yang didiskon tersebut ada buku-buku penulis favorit saya: John
Grisham. Nyaris tak percaya, saya pun bertanya ke pramuniaga, apakah betul buku
John Grisham itu didiskon 40%? Ternyata betul. Tak menunggu waktu lama, saya
pun mengambil buku tersebut dan membayarnya ke kasir.
Selanjutnya, akhirnya saya jadi pelanggan setia buku-buku
berdiskon besar. Semakin senang, karena penulis-penulis favorit saya, ternyata
banyak yang masuk rak buku diskon. Michael Crichton, Mary Higgins Clark, bahkan
juga pernah melihat buku Divakaruni terpajang di sana. Faktor nama penulis,
memang menjadi alasan terpenting bagi saya untuk membeli sebuah buku—selain tema
yang tengah dibutuhkan dan branding penerbit. Saya tidak termasuk pembeli buku
tipe judge by its cover. Buku-buku
bercover sangat sederhana, asal saya lihat berkualitas—berapapun harganya,
biasanya saya beli, eh kalau dompet lagi tebal juga, ding! Kalau lagi krisis, ya puasa dulu :-D
Nah, kembali kepada permasalahan
diskon tadi… akhir-akhir ini, saya—dan juga Anda pastinya, memang sering sekali
melihat buku didiskon tinggi. Lama-lama, angka 40% termasuk biasa, karena ada
yang berani mendiskon bahkan hingga 70%. Karena saya juga seorang praktisi
perbukuan, saya paham, penerbit hanya mengambil Harga Pokok Produksi belaka.
Daripada menumpuk di gudang, mending buku diobral sehingga bisa dinikmati
masyarakat dan uang pun bisa dicairkan.
* * *
Sebagai penulis, saya merasa nyeri
sendiri melihat kenyataan tersebut. Bagaimana tidak? Buku yang ditulis dengan susah
payah, dielus-elus menjelang kelahiran, dan ditimang-timang bahagia saat lahir—bak
seorang bayi mungil, mengalami nasib sengenes itu.
Memang sih, dari sekitar 50 buku
yang saya tulis, hanya ada beberapa yang menikmati ‘serunya’ rak obral. Saya
bersyukur, karena mulai menjadi penulis saat genre kepenulisan yang saya ambil
sedang hangat-hangatnya, sehingga saat iklim perbukuan menjadi lesu seperti
sekarang ini, saya sudah memiliki pembaca-pembaca setia yang saya yakini tak akan
berpaling (manaaah, pembaca setia sayah… peluuuk—tapi yang perempuan ajah, hehe).
Akan tetapi, melihat buku
teman-teman, khususnya yang baru saja mulai memasuki dunia perbukuan yang belum
ada setahun sudah diobral, rasanya ngenes juga.
Jujur, penerbit saya juga
sebenarnya mengalami permasalahan yang sama. Sekilas, kebijakan yang diambil
penerbit itu terlihat solutif. Sebagai orang yang berkecimpung di penerbit,
saya memahami mengapa penerbit mengambil langkah tersebut. Sama dengan penulis,
penerbit sebenarnya juga menjadi korban. Bahkan, efek yang menimpa penerbit
sebenarnya lebih berat lagi. Penerbit sudah menginvestasikan dana yang tak
sedikit untuk mencetak buku. Setiap buku, jika dicetak 3000 eksemplar dengan
harga bandrol Rp 50.000,- membutuhkan biaya sekitar Rp 30.000.000,- Jika buku
tidak segera cair menjadi rupiah, bagaimana penerbit tersebut akan mampu
meneruskan produksinya? Bagaimana dengan gaji karyawan?
Menyalahkan pihak distributor, yang hanya memberi masa tayang terbatas pada buku-buku baru, juga tak tepat. Jumlah distributor buku relatif sangat terbatas. Sementara, pasokan buku melebihi kapasitas tempat. Padahal, distributor kita harus membayar biaya yang sangat tinggi untuk gedung, karyawan, dan berbagai peralatan seperti AC. Wajar saja jika akhirnya mereka hanya bersedia memajang buku yang memang bagus penjualannya. Menyalahkan buku yang terlalu banyak terbit juga tak bijak, karena pada dasarnya, buku yang terbit di Indonesia sebenarnya masih sangat sedikit.
Menyalahkan pihak distributor, yang hanya memberi masa tayang terbatas pada buku-buku baru, juga tak tepat. Jumlah distributor buku relatif sangat terbatas. Sementara, pasokan buku melebihi kapasitas tempat. Padahal, distributor kita harus membayar biaya yang sangat tinggi untuk gedung, karyawan, dan berbagai peralatan seperti AC. Wajar saja jika akhirnya mereka hanya bersedia memajang buku yang memang bagus penjualannya. Menyalahkan buku yang terlalu banyak terbit juga tak bijak, karena pada dasarnya, buku yang terbit di Indonesia sebenarnya masih sangat sedikit.
Jadi … sebenarnya apa sih, masalah
paling krusial di dunia perbukuan? Daripada menuding sana-sini, yang itu
sebenarnya hanya permasalahan turunan, bagaimana jika saya mencoba menguraikan
hal yang satu ini?
* * *
Seperti saya sebutkan dalam artikel
sebelumnya di blog ini, bangsa Indonesia adalah negeri yang nyaris tak melewati
periode beraksara (literer). Memang, di Indonesia telah ditemukan beberapa
prasasti—yang sekaligus penanda bahwa negeri ini telah masuk dalam fase
sejarah. Prasasti yang pertama kali ditemukan, Prasasti Mulawarman di Kutai, diperkirakan
ditulis pada sekitar tahun 400 Masehi menggunakan bahasa sanskerta dan huruf
pallawa. Artinya, berarti Indonesia telah mengenal tulisan sejak 16 abad silam.
Akan tetapi, kenyataan tersebut tidak lantas menjadikan Indonesia memiliki
budaya literer yang kuat. Informasi, kisah, cerita dan sebagainya, berlangsung
dari mulut ke mulut. Tak heran, banyak fakta sejarah yang akhirnya dicampur
dengan mitos, misalnya kisah Joko Tingkir (Mas Karebet), pendiri Kerajaan
Pajang yang bisa meloncati kolam yang luas dalam keadaan jongkok.
Ketika tahun 1440, mesin cetak
ditemukan oleh Johannes Gutenberg. Dunia seperti mengalami revolusi. Bisa
dikatakan, periode lisan pun berakhir, karena tulisan-tulisan telah dicetak
secara massal. Akan tetapi, kita tahu, sekitar seabad setelah itu, negeri kita
mulai dijamah kekuatan asing, yang terus bertahan hingga tiga setengah abad lamanya.
Payahnya, penjajah menyadari betul, bahwa membuat bangsa ini pintar dan
berbudaya literer itu sama dengan bunuh diri. Walhasil, baru di akhir-akhir
masa penjajahan, bangsa Indonesia mulai berkenalan tradisi kepenulisan. Tetapi,
terlambat! Meski sekolah-sekolah didirikan, meskipun buta aksara diberantas,
meski koran-koran, penerbit buku, dan penulis-penulis bertumbuhan, hanya dalam
sekejap semua terkalahkan dengan masuknya televisi yang menguatkan peran
mitranya yang lebih dahulu eksis: radio.
Budaya literer semakin mati suri,
ketika beberapa dasa warsa terakhir ini, internet merajalela. Eh, bukankah internet
itu justru menguatkan budaya literer? Siapa bilang? Karena yang populer dari
internet ternyata media sosial, sedangkan menurut beberapa pengamat komunikasi,
sesungguhnya media sosial juga merupakan komunikasi gaya lisan. Alih-alih
menjadi agen terbentuknya reading society, kalangan terdidik pun ikut
mencebur dan ketagihan socmed. Dengan kenyataan semacam ini, wajar sekali jika
budaya membaca di kalangan masyarakat kita masih sangat rendah.
Tentu saya sedang tidak
membenturkan antara tradisi lisan dan keberakasaraan (literacy), dan mengatakan satu lebih baik dari yang lainnya. Kedua
tradisi tersebut memiliki keunggulan masing-masing. Hanya saja, semestinya
kedua tradisi itu berkembang dengan sama-sama kuat. Bangsa yang ingin maju
harus dibangun oleh masyarakat yang tak hanya melek aksara, tetapi juga
masyarakat membaca. Itulah mengapa UNESCO sejak 8 September 1964, menetapkan 8
September sebagai International Literacy Day, dan pada 1995, Presiden Suharto
menyatakan 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional.
Kembali ke premis awal. Artinya,
mengembangkan bisnis penerbitan buku di masyarakat yang belum menjadi reading society, ibarat seorang petani
yang hendak mengubah hutan belantara menjadi sawah yang gembur untuk ditanami
padi. Menurut saya, sesungguhnya inilah tantangan terberat yang dihadapi oleh
kita semua yang berkecimpung di dunia perbukuan. Membangun sebuah bisnis
perbukuan perlu ditambah satu pilar khusus: idealisme. Ini bukan berarti bisnis
lain tak butuh pilar ini. Akan tetapi, di dunia perbukuan, dosis idealisme ini
bisa berlipat-lipat kebutuhannya dibanding bisnis lain.
5 komentar untuk "Idealisme dan Masalah Krusial Dunia Perbukuan"
salam, Riska di Semarang
Saya gak bisa komen tentang budaya membaca karena susah saya mau komennya. T.T Tapi saya bisa cerita ini.
Beberapa tahun yang lalu, saya bikin perpustakaan yang bukunya bisa disewa dan dekat sebuah kampus. Saya pikir, mahasiswa bakalan sering datang karena, yah, dibanding harus beli buku dan mendingan minjem. Tapi ternyata saya salah. Perpus itu sepi. Dan saya pun bingung sampe sekarang kenapa bisa begitu.
Beberapa hari yang lalu, suami saya jenjalan di sekitaran kampus dia di Arkansas dan ngasih laporan kalo di sana public library tuh besaaar dan gretong. Dan bukan cuma buku, DVD pelem pun ada. Dan bukan cuma itu; ada public class untuk penduduk sekitar yang mau belajar menulis, bahasa Inggris, dan ada diskusi buku juga.
Saya gak bisa nyambungin ini semua karena belom riset dan ngelakuin segala macem yang perlu buat mengambil kesimpulan. Tapi menurut saya, yang namanya budaya, ya perlu dibudayakan. Dan entah kenapa saya kadang mikir kalo membuadayakan budaya membaca itu gak bisa dari, "Nih buku, baca!" Kayaknya itu cuma bakalan ngebikin orang tertekan aja. Tapi saya juga gak tahu harusnya gimana.... *dikeplak*
Trus lagi, si Indonesia sini, kagak ada jurusan Creative Writing! Penulis kalo mau belajar nulis kudu otodidak atau ikut kursus. Di US sana, itu jurusan ada di fakultas seni dan budaya. Tapi saya juga gak ngerti apakah ini ada hubungannya. *lama-lama dilempar panci*
Beneran ini otak saya macet karena lapar~ .___________.
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!