Lawu, Antara Keunikan Ekologi, Histori dan Tradisi
Telaga Sarangan, di Kaki Gunung Lawu |
Angin
berembus dari arah Puncak Gunung Lawu. Pohon-pohon Kina (Chinchona cortex) bergoyang, dan bunga-bunga berwarna merah kejinggaan
berjatuhan. Kuntum-kuntumnya bertaburan di pelataran sebuah bangunan kuno
berupa candi. Tak ada yang tahu persis nama candi itu, akan tetapi, karena di
sekitarnya banyak bunga-bunga berwarna jingga, orang-orang di sekitar situ menyebutnya
Candi Sekar Jinggo, yang berarti bunga berwarna jingga. Bunga kina memang
memiliki berbagai variasi warna, mulai dari merah, pink, hingga jingga. Dan
yang mendominasi lokasi tersebut adalah bunga kina yang berwarna jingga.
Akan
tetapi, suasana romantis itu sudah sangat sulit ditemui di masa kini. Ilustrasi
yang saya goreskan di atas, akan bisa leluasa kita nikmati jika kelak ditemukan
mesin waktu, dan pada program tahunnya kita ketik angka 1930-an. Ya, pada tahun
tersebut, Candi Sekar Jinggo memang berada di lokasi perkebunan kina (Chinchona cortex) milik sebuah perusahaan
zaman itu (jika menelisik sejarah, perkebunan kina itu mungkin milik Praja
Mangkunegaran).
Menurut
Majalah Historia, selama 53 tahun, antara 1714-1767, sebanyak 72.816 penduduk
Eropa di Batavia meninggal karena penyakit malaria. Tak heran Batavia sempat
berjuluk Het graf van het Oosten atau
kuburannya negeri timur. Bertahun-tahun setelahnya malaria masih sulit
ditanggulangi.[1]
Kina yang merupakan obat mujarab untuk mengatasi malaria ditanam di berbagai tempat, antara lain di Tawangmangu. Akan tetapi, di sekitar Candi Sekar Jinggo saat ini sudah jarang didapati pohon Kina. Sebagai ganti, pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi bertumbuhan seolah-olah pagar berlapis-lapis dengan kanopi yang merimbunkan kawasan tersebut.
Kina yang merupakan obat mujarab untuk mengatasi malaria ditanam di berbagai tempat, antara lain di Tawangmangu. Akan tetapi, di sekitar Candi Sekar Jinggo saat ini sudah jarang didapati pohon Kina. Sebagai ganti, pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi bertumbuhan seolah-olah pagar berlapis-lapis dengan kanopi yang merimbunkan kawasan tersebut.
Kata
Sekar Jinggo, menurut beberapa penduduk, juga pernah digunakan untuk menyebut
lokasi yang kini lebih lazim disebut sebagai Bumi Perkemahan Sekipan, Kalisoro,
Tawangmangu. Tempat yang diapit dua bukit itu berada di ketinggian sekitar 1100
M dpl. Sebenarnya, sebagai warga negara yang memegang KTP Solo, saya tak asing
dengan lokasi Bumi Perkemahan Sekipan. Akan tetapi, setelah belasan kali
mendatangi lokasi tersebut, saya baru tersadar bahwa di lokasi tersebut
ternyata berdiri sebuah candi. Orang-orang lazim menyebut lokasi tersebut
sebagai Blok Candi.
Candi Sekar Jinggo, masih ada pohon-pohon kina, tetapi tak sebanyak dahulu, lebih didominasi pohon pinus |
Bentuk
candi itu tak semenarik candi-candi yang ada di kaki Gunung Lawu lainnya
seperti Candi Sukuh dan Candi Cetho. Candi itu berbentuk kotak, dengan tinggi
sekitar 2 meter, lebar sekitar 3 meter dan
panjang sekitar 5 meter. Saat saya mencoba mengamatinya, ada sebuah pintu
yang tampaknya tambahan, dan pintu itu digembok dengan gembok yang sudah
berkarat. Candi disusun dari batu-batu yang disusun sedemikian rupa. Jika
dilihat dari strukturnya, pola candi ini mirip Candi Sukuh dan Candi Cetho yang
dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Hindu Majapahit. Sayangnya, ketika
saya mencoba mencari referensi terkait dengan candi ini, ternyata saya cukup
kesulitan.
Tetapi, dari sebuah website, saya mendapatkan informasi bahwa candi ini ditemukan pada tahun 1928 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hanya apakah betul candi ini berasal dari Dinasti Hindu Majapahit, atau memang dibuat oleh pemerintah yang berkuasa saat itu (Praja Mangkunegaran), saya tak mendapat keterangan yang pasti. Akan tetapi, berbeda dengan Candi Sukuh dan Cetho yang punya kaitan erat dengan peribadatan, khususnya agama Hindu, candi itu dibangun dan difungsikan untuk penampungan atau reservoir air.[2]
Tetapi, dari sebuah website, saya mendapatkan informasi bahwa candi ini ditemukan pada tahun 1928 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hanya apakah betul candi ini berasal dari Dinasti Hindu Majapahit, atau memang dibuat oleh pemerintah yang berkuasa saat itu (Praja Mangkunegaran), saya tak mendapat keterangan yang pasti. Akan tetapi, berbeda dengan Candi Sukuh dan Cetho yang punya kaitan erat dengan peribadatan, khususnya agama Hindu, candi itu dibangun dan difungsikan untuk penampungan atau reservoir air.[2]
Ini
hal menarik! Ternyata proses konservasi air di Gunung Lawu telah dilakukan
sejak zaman dahulu. Di depan bangunan (yang menyerupai candi) tersebut memang
terdapat sebuah telaga kecil yang ternyata merupakan sumber air. Dari telaga
itu mengalir sungai kecil, dengan air yang sangat jernih dan sejuk. Ketika saya
mencoba mencuci tangan dan kaki, serta membasuh muka, kesejukan terasa meresap
ke pori-pori. Selain sungai kecil yang bersumber dari telaga tersebut, terdapat
juga sungai yang lebih besar yang terletak sekitar sepelemparan batu dari
lokasi tersebut. Kedua sungai kecil itu mengaliri ladang-ladang pertanian yang
terbentang di sekitar situ. Para pengunjung yang berkemah di sekitar situ, juga
mengambil air dari sumber tersebut untuk memasak dan beraktivitas lainnya.
Telaga kecil di depan Candi Sekar Jinggo |
Lereng
Lawu memang menakjubkan. Berbeda dengan gunung-gunung lain yang mengalami
permasalahan dengan air, misalnya Gunung Slamet yang menjadi gersang dan
sungai-sungai yang berhulu di sana banyak yang kering, di Lawu, kita mendapati
persediaan air yang melimpah. Air mengalir tiada henti, memberi kehidupan pada
berbagai tanaman sayur-mayur yang memberikan geliat yang marak pada para
petani. Saban hari, kita melihat mobil-mobil yang mengangkut sayur-mayur segar
menuruni jalan Tawamangu menuju kota-kota sekitar. Tampaknya, hal itu berefek
sangat baik terhadap kehidupan perekonomian masyarakat Tawangmangu. Selintas
saja, kita bisa melihat bahwa masyarakat Tawangmangu rata-rata memiliki
kehidupan yang cukup sejahtera.
Selain
sumber air yang menyediakan air berlimpah di kawasan Sekipan, di kawasan lain Gunung
Lawu juga banyak dijumpai mata-mata air yang berlimpah air, seperti Telaga
Sarangan, Sumber Air Watu Pawon, Sendang Drajat Sendang Panguriban, Telaga
Kuning dan sebagainya. Berlimpahnya air membuat kehidupan berlangsung semarak
di gunung setinggi 3.265 meter DPL yang terletak di empat kabupaten, yakni
Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Magetan itu.
Lawu, Antara Keunikan Ekologi, Histori dan Tradisi
Lawu
memang sangat unik. Selain panorama alamnya yang menawan, biodiversitas (keragaman
hayati) di gunung tersebut juga tinggi. Kemelimpahan air yang merupakan faktor
terpenting dalam kehidupan, membuat beragam spesies makhluk hidup, tumbuh subur
di kawasan tersebut. Sebuah fakta yang menarik, karena Gunung Lawu ternyata
merupakan peralihan antara lingkungan Jawa bagian timur yang cenderung kering,
dan Jawa bagian barat yang relatif basah. Karena merupakan lingkungan
peralihan, beberapa spesies bersifat khas, alias tidak ditemukan di wilayah
timur maupun barat pulau Jawa. Pohon cemara gunung (Casuarina jughuhniana) misalnya, merupakan contoh spesies khas yang
hanya ditemukan di daerah peralihan[3].
Lawu
juga merupakan lokasi yang memiliki nilai histori yang kuat. Dari masa ke masa,
kawasan Lawu telah menjadi salah satu wilayah yang berkaitan erat dengan
tradisi-tradisi religius kaum bangsawan saat itu. Di zaman Majapahit misalnya,
Gunung Lawu menjadi lokasi tempat raja-raja Majapahit melakukan proses
pensucian jiwa. Terdapat kaitan yang cukup erat antara Majapahit dengan Lawu,
karena Tawangmangu saat itu berada di bawah nagara
(Provinsi) Pajang (Surakarta), dengan gubernurnya adalah Bhre Pajang. Di Kitab
Negarakertagama, disebutkan bahwa salah satu Bhre (bangsawan penguasa provinsi)
di Pajang adalah Dyah Nertaja, seorang bangsawan perempuan yang merupakan adik
dari Raja Hayam Wuruk. Putra Dyah Nertaja, Wikramawardana, adalah raja
Majapahit selanjutnya. Pengaruh Majapahit terlihat jelas dengan dibangunnya
candi-candi seperti Candi Sukuh dan Candi Cetho yang merupakan tempat
peribadatan agama Hindu.
Pada
masa pemerintahan Hindia Belanda, sebagian lereng Lawu, khususnya yang berada
di kabupaten Karanganyar, merupakan wilayah yang berada dalam pemerintahan
Praja Mangkunegaran yang merupakan salah satu daerah vorstenlanden, atau daerah-daerah kerajaan yang menjalankan
kekuasaan dan pemerintahan sendiri, meskipun masih tunduk di bawah kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda. Di masa pemerintahannya, penguasa Praja
Mangkunegaran dikenal memiliki visi ekonomi yang baik. Mereka membangun
pabrik-pabrik gula, serta membuat perkebunan-perkebunan seperti tebu, kopi, nila,
teh dan kina di sekitar gunung Lawu.
Di
dalam tradisi masyarakat kita, segala sesuatu yang berhubungan dengan raja-raja
biasanya bersifat ‘wingit’ (sakral,
keramat). Dan entah mengapa, beberapa tempat yang wingit di Lawu ternyata berhubungan dengan mata air. Sendang Drajat
misalnya, sering disebut-sebut sebagai tempat Raja Brawijaya dari Majapahit
mensucikan diri alias tapa brata. Demikian juga tempat-tempat lain yang
dianggap wingit, banyak yang ternyata berupa sumber air, seperti Sendang Inten,
Sendang Panguripan, Telaga Kuning, dan sebagainya. Bahkan Candi Sekar Jinggo
yang saya sebut di atas pun, menurut penduduk sekitar juga terkenal wingit.
Jika
ditarik, saya bisa menyimpulkan, bahwa keunikan demi keunikan baik histori
maupun tradisi itu ternyata berawal dari daya dukung alam kawasan Lawu yang
sangat kuat. Kemelimpahan air bersih, yang merupakan kebutuhan dasar makhluk
hidup, telah membuat Lawu menjadi kawasan yang sangat subur. Kondisi lingkungan
yang baik, mengundang para penguasa dari masa ke masa untuk menjadikan Lawu
sebagai sebuah kawasan yang istimewa—mulai dari peribadatan hingga eksplorasi
seni budaya. Kesadaran para penguasa masa lalu tentang pentingnya air, membuat
mereka berupaya agar sumber-sumber air itu tidak dirusak oleh oknum-oknum yang
tak bertanggungjawab.
Zaman
dulu, raja-raja memiliki karisma yang kuat. Ada istilah sabda pandita ratu, artinya, ucapan raja adalah sekaligus ucapan
pendeta (tokoh agama), sehingga sangat dipercaya oleh masyarakat. Apalagi, mereka
mempercayai bahwa raja adalah titisan dewa. Maka, apa yang dianggap sakral oleh
raja, akan tetap dipertahankan secara turun temurun. Dan kepercayaan semacam
itu, akhirnya menjadi sebuah kearifan lokal yang diyakini oleh masyarakat
sekitar.
Kerusakan Hutan dan Krisis Air di Indonesia
Sayangnya,
penjagaan yang kuat oleh para penguasa tempo dulu ternyata justru cenderung
diabaikan oleh penguasa masa kini. Modernisasi—yang seringkali berkaitan dengan
perilaku banal orang-orang yang mengaku modern, akhirnya merambah juga di
kawasan tersebut. Disebutkan, bahwa dalam kurun waktu tahun 2000-2005 laju
kerusakan hutan di Lawu adalah 142,56 ha
per tahun[4].
Penebangan hutan illegal, pembangunan vila-vila di kawasan resapan air, dikhawatirkan semakin tak terkendali, apalagi saat ini transportasi menuju kawasan Lawu sudah semakin mudah dengan dibukanya jalur Solo-Magetan.
Penebangan hutan illegal, pembangunan vila-vila di kawasan resapan air, dikhawatirkan semakin tak terkendali, apalagi saat ini transportasi menuju kawasan Lawu sudah semakin mudah dengan dibukanya jalur Solo-Magetan.
Kekhawatiran
bahwa Lawu akan menyusul gunung-gunung lain tentu bukan tanpa alasan. Kita
melihat, bahwa ekosistem di gunung-gunung—khususnya di Pulau Jawa, sudah mulai
rusak. Di daerah asal saya, lereng pegunungan Slamet, Purbalingga, sebagian kawasan
telah menjadi lokasi yang kering, dengan sungai-sungai yang hanya mengalir pada
saat musim hujan. Di daerah lereng Merapi pun dilaporkan mengalami hal yang
sama setelah makin meluasnya penambangan pasir liar. Demikian pula di
daerah-daerah lain. Kenyataan ini tentu memprihatinkan, karena pegunungan
merupakan sumber utama air bersih di Indonesia. Padahal, potensi air bersih di
Indonesia adalah 6% dari total air bersih di dunia, atau 21% dari potensi air
Asia. Saat ini, persediaan air bersih setiap tahun cenderung menurun, dan
diprediksi pada tahun 2020 Indonesia akan mengalami kelangkaan air. [5]
Alih-alih
memelihara fungsi pegunungan sebagai sumber air, saat ini saya melihat di
daerah-daerah hulu, khususnya di Pulau Jawa, justru ditanami aneka tanaman yang
tidak ramah terhadap air, misalnya Pinus.
Pengamatan saya, di daerah sekitar Candi Sekar Jinggo yang hingga kini
masih berlimpah air, justru didominasi pohon Pinus. Sebenarnya pinus tidak
cocok ditanam di daerah yang semestinya menjadi resapan air. Daun pinus yang
berbentuk jarum, memiliki banyak stomata yang membuat air mudah menguap.
Kawasan pegunungan yang ditanami pinus, akan cenderung kering dan mudah
longsor.
Konservasi Berbasis Tradisi Modern!
Permasalahan
pelik yang terjadi di pegunungan, tentu tak bisa dianggap sepele. Beberapa
pakar menyebut bahwa konservasi di Lawu khususnya, adalah konservasi yang unik—the art’s of conversation. Karena, objek
yang dikonservasi tak hanya permasalahan air dan keragaman hayati, tetapi juga
aspek histori dan tradisi. Beberapa pakar menyarankan agar kearifan lokal
dipertahankan.
Tentu
saya tak menolak hal semacam itu. Akan tetapi, menurut saya, ruh dari sebuah
tradisi adalah keyakinan, alias pikiran yang logis. Pikiran yang menggerakkan
kita untuk melakukan sesuatu dengan sadar. Jadi, jika zaman dahulu raja-raja
menanamkan kepercayaan bahwa sumber-sumber air itu wingit, karena itu tak boleh
diganggu, zaman sekarang kita harus menanamkan kesadaran bahwa sumber-sumber
air itu malah lebih dari sekadar wingit,
tetapi menyangkut hidup mati manusia secara keseluruhan. Bahkan juga bisa
berakibat pada kehancuran bumi ini secara global. Kesadaran bahwa air merupakan
faktor terpenting dalam kehidupan manusia, nantinya akan membangun sebuah
tradisi yang apik, seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak
sumber air, tidak menebangi hutan, melakukan reboisasi dan sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya adalah: konservasi itu menjadi tanggung jawab siapa? Tentu tanggung jawab siapa saja yang masih ingin 'hidup' dengan kehidupan yang menghidupkan. Bukan sekadar kehidupan yang 'mati segan hidup tak mau.' Pemerintah, sebagai pemegang kewenangan mengatur rakyat, harus mulai memprioritaskan program-program konservasi dan mengimplementasikannya secara masif. Masyarakat wajib mendukung program tersebut sepenuh hati. Pihak swasta juga memiliki peran yang tak bisa dipandang ringan. Bahkan, dengan program CSR-nya, pihak swasta bisa berperan lebih aktif lagi.
Pertanyaan selanjutnya adalah: konservasi itu menjadi tanggung jawab siapa? Tentu tanggung jawab siapa saja yang masih ingin 'hidup' dengan kehidupan yang menghidupkan. Bukan sekadar kehidupan yang 'mati segan hidup tak mau.' Pemerintah, sebagai pemegang kewenangan mengatur rakyat, harus mulai memprioritaskan program-program konservasi dan mengimplementasikannya secara masif. Masyarakat wajib mendukung program tersebut sepenuh hati. Pihak swasta juga memiliki peran yang tak bisa dipandang ringan. Bahkan, dengan program CSR-nya, pihak swasta bisa berperan lebih aktif lagi.
[1] http://historia.co.id/artikel/2/1199/21/Majalah-Historia/Dari_Kina_Ke_Artemisia
[2] http://www.jurnal.koranjuri.com/?Misteri_Air_Di_Candi_Sekar_Jinggo
[3] http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0202/D020207.pdf
[4]http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=64394&obyek_id=4
[5]
Ruzardi, Ketahanan Air Nasional, UII, 2007
24 komentar untuk "Lawu, Antara Keunikan Ekologi, Histori dan Tradisi"
*amiin doanya... minimal partisipasi :-D
Keren banget Mbak. Feeling saya, ini bakal menang :)
Ayolah, sesekali main ke sini, indah banget lho :-)
Nambah ilmu neh baca blog nya.. ^^
Semoga Artikelnya Sukses dan memperoleh hasil yg terbaik di perlombaan nanti ... :)
Salam Rimba ...
Terus berkarya untuk Kemajuan Nusa dan Bangsa ... :)
#izinShare :)
Tulisan ini saya dedikasikan sebagai wujud kecintaan saya kepada hutan2 nusantara.
Silakan di-share jika bermanfaat :-)
Semoga Artikelnya Sukses dan memperoleh hasil yg terbaik di perlombaan nanti ... :)
Salam Rimba ...
Terus berkarya untuk Kemajuan Nusa dan Bangsa ... :)
#izinShare
Sukses!
Latar keunikan histori, ekologi dan tradisinya juga bisa dipahami.
Good luck mbak.
Terimakasih sudah berkunjung :-)
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!