Widget HTML #1

Awas, Kesalahan Konsep di Usia 'Golden Age'!


Anis Bukan Guguk, Anis Ikan....

Ketika anak saya yang pertama, Anis, berusia sekitar dua tahun, dia sangat menyukai sebuah lukisan bergambar ikan. Ada sembilan ikan, dengan ukuran yang beragam. Saking senangnya dengan lukisan itu, Anis, nama panggilan anak saya itu, sering memandangi lukisan itu melalui sepasang mata penuh binarnya. Lalu, dari bibir mungilnya, kalimat-kalimat cedalnya keluar.
Ni capa?” ia menunjuk ikan yang paling besar.
“Itu Ayah. Ayah ikan ...,” ujarku, asal. Bermaksud mencandainya.
“Ni, Bunda ikan?” tanyanya lagi, menunjuk satu ikan besar lainnya. Matanya membesar. 
Aku mengangguk sembari mengulum senyum. Merasakan betapa adegan ini sangat lucu. “Betul, Nak.”
“Ni ... Anis ikan?”
Kini aku mengerutkan kening. Anis ikan? O, o… Ya, aku paham. Dalam semesta pemikiran Anis, ketika ada Ayah, ada Bunda, pasti ada Anis.
“Ya, sayang ....”
“Ni, adek ikan?”
Anis saat itu belum punya adik, tetapi ia sudah tahu konsep adik. Bagi dia, anak yang lebih kecil darinya, adalah adik. Ia juga sering memanggil bayi-bayi tetangga dengan sebutan ‘adek’, mungkin ikut-ikutan para tetangga yang juga sering memanggil dengan sebutan itu. Ia juga tahu, bahwa ia tak punya kakak. Ia anak pertama.
“Ya, sayang,” aku mengangguk lagi.
Anis pun tertawa-tawa, sembari kembali menunjuk-nunjuk gambar tersebut. Mulutnya terus mengeluarkan suara kecil yang merdu. “Ni Ayah ikan, ni Bunda ikan, ni Anis ikan, ni … adek ikaaaan!” lalu ia bertepuk tangan saking senangnya.
Entah berapa kali  ia mengulangi hal tersebut.
Aku sungguh tak tahu, bahwa apa yang terjadi saat itu, ternyata tertanam di benak Anis, dan memasuki memori jangka panjangnya.
Ini terbukti pada beberapa hari berikutnya, saat Anis meminta ditemani buang air besar. Seperti biasa, ia menuju ke kamar mandi sembari menarik tanganku.
“Mi, ee’!” ujarnya. Aku pun mengantarkannya ke kamar mandi. Ia melangkah ke atas kakus dan buang air sembari berdiri.
“Anis, kok ee’-nya sambil berdiri?” tegurku. “Tahu ndak, yang ee’ sambil berdiri itu apa? Guguk itu ee’-nya berdiri, lho. Anis kan bukan guguk, Anis manusia, jadi ee’-nya sambil duduk, dong!”
Di luar dugaan, Anis menatapku dengan sinar mata menolak. “Bukan, Mi... Anis bukan guguk.”
“Iya, Anis kan manusia. Makanya ee’-nya jangan sambil berdiri.”
“Anis itu ikan Mi ... bukan manusia.”
Aku mengerutkan keningnya, bingung sesaat. Anis ikan ... mengapa bisa terucap perkataan itu dari bibir mungil itu.
Oh, aku menepuk jidat. Mendadak aku teringat dengan percakapan saat itu, tentang keluarga ikan. Tentang ayah ikan, bunda ikan, Anis ikan dan adek ikan. Semburat kesadaran seperti palu yang memukul kepalaku. Oh, ya Allah, ternyata apa yang kumaksud sekadar bercanda kemarin itu, telah membentuk sebuah logika yang keliru di benak Anis. Sesuatu yang kuanggap sebagai kelucuan anak kecil, telah menggoreskan pemahaman yang keliru. Celakanya, justru akulah yang menjadikan pemahaman itu salah.
Ketika Anis usai buang air kecil, cepat-cepat aku mencoba mengoreksi kesalahan itu. Kujelaskan bahwa Anis adalah manusia, bukan ikan. Kuperlihatkan gambar ikan, dan kujelaskan perbedaan ikan dengan manusia.
“Beda kan, antara ikan dengan manusia? Ikan tak punya tangan, tak punya kaki. Manusia punya.”
Otak anak, apalagi di usia-usia golden age seperti dia, ibarat kaset kosong yang menyerap berbagai informasi dengan sangat cepat. Kesalahan konsep yang terserap sejak dini, bisa menyebabkan ketersesatan di kemudian hari. Ibu yang bijak harus terus mendampinginya dan dengan sabar meluruskannya, bukan justru menjadikan sebagai sebuah komoditas humor belaka.
Menjadi ibu memang harus peka. Catat!

Baca juga artikel: 

Apa Itu Golden Age?
Memaksimalkan Pertumbuhan Otak di Periode Golden Age (1)

__________


6 komentar untuk "Awas, Kesalahan Konsep di Usia 'Golden Age'!"

Comment Author Avatar
Mbaaak ... waktu aku SD (sekitar kelas 1 atau 2), Omku bilang kalo kuda itu bertelor. Trus aku percaya sampai menjelang akhir SD. .__________.

Paling parah, aku baca banyak banget buku cerita bergambar yang bukan buat anak SD pas aku SD. Kayak cerita centaur, mermaid, fawn, dll. Sekitar kelas 2-3 gitu lah. Dan sampe SMP, aku percaya yang namanya certaur, mermaid, dan fawn itu beneran ada. Salahnya dulu tuh, aku dibebasin baca apapun dan aku gak tinggal sama orangtua. Tinggal sama Tante dan Om gitu yang gak terlalu memperhatikan bacaanku.

Sampe awal masa-masa kuliah, aku masih suka gampang percaya sama apapun yang aku baca. Tapi sekarang gak lagi. Jadinya begitu deh, menurutku; harusnya emang anak itu selalu punya pendamping atau guru yang bisa mendampingi mereka selalu. Dan guru atau pendamping itu harus jauuuh lebih pintar dan open-mind dibanding apapun yang anak itu baca atau temukan. Biar gak penasaran dan salah paham. :D
Comment Author Avatar
Proses pencarian diri anak memang kudu didampingi. Apalagi, konsep diri mereka memang sangat dibentuk oleh asupan informasi yang mereka dapatkan. Jadi, orangtua, selain kudu cerdas, juga kudu tahu apa-apa yang tersimpan di memori anak. Ya, meski nggak bisa seratus persen... berat ya jadi ortu :'(
Comment Author Avatar
Waduuuuuh... memang kudu hati-hati yah Mbak. Kalau anak saya Nai, di usia itu cuma pernah ribut sama temennya pas lihat ikan di aquarium. Nai bilang, ikaaaaaan. Temennya bilang, bukaaaaan, itu fish.
Jadinya sahut-sahutan mereka.

Kalau konsep tentang siapa dirinya, dia udah tahu dia manusia, ciptaan Allah katanya. Tapi bilangnya amusia (baca: manusia) :D
Comment Author Avatar
Kalau kasus yg menimpa Nai, sepertinya tidak terlalu bermasalah, karena tidak terkait dengan pembentukan konsep diri, Oci...
Comment Author Avatar
Eh udahan aja ini tulisannya, padahal masih mau baca...
Comment Author Avatar
Ntar bikin lanjutannya deh... :-D

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!

banner
banner