Menelisik Peran Penulis dalam Industri Perbukuan
Peluang tersebut ditangkap oleh kalangan pebisnis, sehingga kian hari, jumlah penerbit pun kian banyak. Sulit untuk membedakan penerbit yang benar-benar memiliki semangat dan idealisme memajukan dunia literasi dengan penerbit yang sekadar memandang buku sebagai sebuah komoditas yang menguntungkan.
Yang jelas, karena bahan baku dari sebuah penerbit adalah naskah, maka kebutuhan akan adanya penulis sebagai pensuplai naskah otomatis juga bertambah. Penulis menyusun buku, lalu diedit, didesain, dicetak dan didistribusikan oleh penerbit. Sebagai imbalannya, penulis mendapatkan royalti atau honorarium.
Berikut ini adalah proses yang biasanya terjadi di industri perbukuan dan bagaimana penulis terlibat di dalamnya.
I. Naskah (Penulis) - II. Seleksi (Penerbit) - III. Perjanjian/Kontrak (Penerbit dan Penulis) - IV. Editing (Penerbit) - V. Pra Cetak (Layout, Desain, Plate, Film dll.) (Penerbit) - VI. Cetak (Percetakan) - VII. Buku Jadi (Gudang Penerbit) - VIII. Distribusi (Penerbit dan Distributor) - IX. Displai (Toko Buku) - X. Pembelian (Konsumen) - XI. Perhitungan Penjualan (Toko Buku dan Penerbit) - XII. Perhitungan Royalti (Penerbit) - XIII. Royalti (Penulis)
Ada beberapa
tipe penerbit. Penerbit besar biasanya melakukan semua proses itu, termasuk memiliki percetakan sendiri. Atau, biasanya percetakan itu merupakan perusahaan tersendiri yang terpisah secara struktur dan memiliki badan hukum sendiri, tetapi masih dalam satu grup usaha dengan penerbit. Misalnya, PT Macanan Jaya Cemerlang adalah percetakan yang merupakan perusahaan terpisah, namun masih satu grup dengan Penerbit Intan Pariwara. Atau percetakan Gramedia, secara strutuk terpisah dengan penerbit Gramedia, tetapi masih tergabung dalam Kompas-Gramedia Grup.
Bahkan, ada juga penerbit juga memiliki jejaring toko buku tersendiri. Misal Toko Buku Gramedia (milik Kompas Gramedia Group) atau Toko Buku Tiga Serangkai (milik grup Tiga Serangkai).
Penerbit sedang, terkadang menyerahkan proses percetakan buku ke pihak luar (percetakan). Hal ini seringkali dilakukan karena pertimbangan efisiensi. Memiliki percetakan sendiri, berarti harus siap memproduksi sekian buku. Padahal, seringkali kapasitas percetakan dalam mencetak buku, lebih besar dari kemampuan penerbit itu menerbitkan buku baru. Sedangkan rata-rata penerbit memilih selektif menerbitkan naskah dan memperkuat promosi ketimbang over dalam memproduksi buku. Di sisi lain, percetakan lazimnya butuh terus beroperasi agar mesin tidak rusak. Maka, tak heran, penerbit yang juga memiliki percetakan, biasanya juga mengizinkan percetakannya untuk menggarap order-order lain.
Sementara, penerbit kecil, membutuhkan lebih banyak pihak luar. Tak hanya percetakannya, terkadang distribusi pun memilih distributor besar sebagai agen tunggal. Namun begitu, menurut saya, idealnya, semua penerbit baik besar, sedang maupun kecil, minimal memberlakukan proses seleksi naskah, editing dan pracetak sendiri. Karena, peran inti sebuah penerbit sebagai 'desainer buku', ada pada fungsi-fungsi tersebut. Saya sebut ‘idealnya’, karena memang saya beberapa kali menemukan penerbit yang hampir seluruh proses diserahkan ke pihak luar, termasuk seleksi naskah, editing dan pracetak.
Sebuah perusahaan, apalagi penerbit, idealnya menerapkan prinsip “sheng yi”, yang artinya “melahirkan ide.” Maksudnya, tugas dunia usaha adalah: “Mengandung ide, melahirkan ide, dan membantu ide tersebut untuk tumbuh.”[1] Jadi, ketika sebuah penerbit hanya menyerahkan segenap proses produksi pada pihak luar, bagaimana mungkin mereka akan mampu menjalankan prinsip tersebut?
Oya, hingga sekarang, masih banyak orang yang belum paham, apa itu perbedaan penerbit dengan percetakan. Jika dianalogikan dengan pembuatan baju, penerbit adalah desainer, pembuat pola, sementara percetakan adalah tukang jahitnya. Karena itu, percetakan sering menuntut penerbit untuk mencantumkan kalimat "isi di luar tanggung jawab percetakan."
Dan memang, penerbit dan penulislah yang sepenuhnya bertanggungjawab terhadap isi buku. Percetakan hanya membantu proses produksi. Tanggung jawab hanya sebatas pada packaging buku, misal kertas yang rusak, jilid yang mudah jebol dan sebagainya.
Bahkan, ada juga penerbit juga memiliki jejaring toko buku tersendiri. Misal Toko Buku Gramedia (milik Kompas Gramedia Group) atau Toko Buku Tiga Serangkai (milik grup Tiga Serangkai).
Penerbit sedang, terkadang menyerahkan proses percetakan buku ke pihak luar (percetakan). Hal ini seringkali dilakukan karena pertimbangan efisiensi. Memiliki percetakan sendiri, berarti harus siap memproduksi sekian buku. Padahal, seringkali kapasitas percetakan dalam mencetak buku, lebih besar dari kemampuan penerbit itu menerbitkan buku baru. Sedangkan rata-rata penerbit memilih selektif menerbitkan naskah dan memperkuat promosi ketimbang over dalam memproduksi buku. Di sisi lain, percetakan lazimnya butuh terus beroperasi agar mesin tidak rusak. Maka, tak heran, penerbit yang juga memiliki percetakan, biasanya juga mengizinkan percetakannya untuk menggarap order-order lain.
Sementara, penerbit kecil, membutuhkan lebih banyak pihak luar. Tak hanya percetakannya, terkadang distribusi pun memilih distributor besar sebagai agen tunggal. Namun begitu, menurut saya, idealnya, semua penerbit baik besar, sedang maupun kecil, minimal memberlakukan proses seleksi naskah, editing dan pracetak sendiri. Karena, peran inti sebuah penerbit sebagai 'desainer buku', ada pada fungsi-fungsi tersebut. Saya sebut ‘idealnya’, karena memang saya beberapa kali menemukan penerbit yang hampir seluruh proses diserahkan ke pihak luar, termasuk seleksi naskah, editing dan pracetak.
Sebuah perusahaan, apalagi penerbit, idealnya menerapkan prinsip “sheng yi”, yang artinya “melahirkan ide.” Maksudnya, tugas dunia usaha adalah: “Mengandung ide, melahirkan ide, dan membantu ide tersebut untuk tumbuh.”[1] Jadi, ketika sebuah penerbit hanya menyerahkan segenap proses produksi pada pihak luar, bagaimana mungkin mereka akan mampu menjalankan prinsip tersebut?
Oya, hingga sekarang, masih banyak orang yang belum paham, apa itu perbedaan penerbit dengan percetakan. Jika dianalogikan dengan pembuatan baju, penerbit adalah desainer, pembuat pola, sementara percetakan adalah tukang jahitnya. Karena itu, percetakan sering menuntut penerbit untuk mencantumkan kalimat "isi di luar tanggung jawab percetakan."
Dan memang, penerbit dan penulislah yang sepenuhnya bertanggungjawab terhadap isi buku. Percetakan hanya membantu proses produksi. Tanggung jawab hanya sebatas pada packaging buku, misal kertas yang rusak, jilid yang mudah jebol dan sebagainya.
Jika melihat
paparan di atas, penulis ternyata memiliki peran yang sangat signifikan. Bisa
dikatakan, penulis merupakan ujung tombak dari industri buku, karena merupakan
pensuplai bahan baku utama dari industri perbukuan. Karena itu, baik penulis
dan penerbit, semestinya memiliki kesamaan perspektif dalam memandang dunia
berbukuan, dan sama-sama menjalankan prinsip sheng yi. Bahkan, porsi penulis—sebagai pemilik gagasan, mestinya
lebih besar lagi.
Bagaimana Menjadi
Penulis Produktif?
Dalam website
resminya, Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) menyebutkan bahwa per tahun 2013,
ada 1.126 penerbit di seluruh Indonesia yang bergabung dalam organisasi tersebut.[2]
Sebagai catatan, memang tidak semua penerbit bergabung di Ikapi. Jika dalam satu bulan masing-masing
penerbit yang bergabung dalam Ikapi menerbitkan 5 judul buku saja, berarti
dalam satu bulan, dibutuhkan 5.630 naskah.
Padahal, ada penerbit yang dalam satu bulan membutuhkan lebih dari 100 naskah. Dan, kemampuan seorang penulis dalam menulis buku sangat beragam. Tetapi, rata-rata seorang penulis profesional membutuhkan waktu sekitar 1-2 bulan untuk menulis satu naskah buku. Ini belum dunia media, yang juga membutuhkan pasokan naskah dari para penulis. Pada akhir tahun 2010, jumlah media cetak 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Media cetak selalu menyediakan ruang untuk penulis luar, baik kolom artikel/opini, cerpen, puisi, dan sebagainya.
Padahal, ada penerbit yang dalam satu bulan membutuhkan lebih dari 100 naskah. Dan, kemampuan seorang penulis dalam menulis buku sangat beragam. Tetapi, rata-rata seorang penulis profesional membutuhkan waktu sekitar 1-2 bulan untuk menulis satu naskah buku. Ini belum dunia media, yang juga membutuhkan pasokan naskah dari para penulis. Pada akhir tahun 2010, jumlah media cetak 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Media cetak selalu menyediakan ruang untuk penulis luar, baik kolom artikel/opini, cerpen, puisi, dan sebagainya.
Jadi, menjadi
penulis sebenarnya menjanjikan. Idealnya, seorang penulis fokus dan total
menceburkan diri dalam dunia kepenulisan. Tetapi, menulis tetap bisa dilakukan
oleh siapapun, apapun profesinya. Saya punya kenalan penulis dengan profesi
yang beragam, birokrat, dosen, pedagang, pengusaha, dokter, bahkan para pekerja
buruh migran di sektor domestik, penjual mie ayam
dan loper koran.
Menulis adalah
pekerjaan “menuangkan ide” dalam bentuk tulisan. Pada prinsipnya, semua orang
bisa menjadi penulis, asal dia punya bahan dan punya kemampuan menyampaikan
secara tertulis. Bahan itu bisa dari pengalaman—baik diri sendiri ataupun orang
lain, membaca, diskusi, dan sebagainya. Apapun yang kita dapatkan sehari-hari,
asal itu fakta (bukan realita ataupun aneh tapi nyata), bisa dituang dalam
tulisan. Sementara, untuk bisa prigel dalam menulis, menurut sastrawan Budi
Darma, hanya butuh tiga jurus: menulis, menulis dan menulis. Alias rajin
praktik. Seorang penulis buku-buku best seller dunia, Malcolm Gladwell says that it takes roughly ten thousand
hours of practice to achieve mastery in a field. Ya, butuh 10 ribu jam
terbang untuk bisa menjadi seorang yang ahli di bidang tertentu, termasuk
kepenulisan. Bagaimana dengan Anda?
Bagaimana Menulis Buku “Marketable”?
Seorang penulis
buku, seperti tersebut di atas, adalah “penjual ide”. Bagaimana agar ide
tersebut mampu memikat pasar alias marketable?
Tentu kita harus paham terlebih dahulu apa itu marketable. Dalam dunia marketing, yang menjadi orientasi adalah
kebutuhan dari pelanggan, dan produk yang kita hasilkan harus memuaskan
pelanggan, sehingga karena itu, terdapat laba yang berasal dari kepuasan
pelanggan. Produk yang marketable
bukan sekadar produk yang laku, tetapi juga membuat pelanggan puas dengan
produk kita. Kepuasan itu bisa berefek domino, yakni dengan mudah mempengaruhi
calon pelanggan lain.
Karena itu, dalam ilmu marketing dikenal istilah Word of Mouth, atau dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai mekanisme getok tular. Pelanggan yang puas, akan menceritakn kepuasan itu kepada calon pelanggan lainnya tanpa harus dibayar. Bahkan, ketika si produsen (penulis) telah mencapai tingkat branding tertentu, tak hanya merasa puas, konsumen (pembaca) akan dengan senang hati menjadi fans berat dan punya gengsi tersendiri saat mengonsumsi produk tersebut. Dalam dunia pemasaran buku, mekanisme word of mouth ternyata dinilai sangat efektif dalam mencetak buku-buku mega best seller.
Karena itu, dalam ilmu marketing dikenal istilah Word of Mouth, atau dalam bahasa Jawa sering disebut sebagai mekanisme getok tular. Pelanggan yang puas, akan menceritakn kepuasan itu kepada calon pelanggan lainnya tanpa harus dibayar. Bahkan, ketika si produsen (penulis) telah mencapai tingkat branding tertentu, tak hanya merasa puas, konsumen (pembaca) akan dengan senang hati menjadi fans berat dan punya gengsi tersendiri saat mengonsumsi produk tersebut. Dalam dunia pemasaran buku, mekanisme word of mouth ternyata dinilai sangat efektif dalam mencetak buku-buku mega best seller.
Bagaimana agar
produk (tulisan) kita memuaskan pelanggan (pembaca)?
- Kita harus melakukan analisa pasar. Produk apa yang sebenarnya dicari dan dibeli oleh pasar? Untuk itu, kita perlu melakukan riset. Kita bisa menggunakan sarana yang murah meriah, misalnya akun Facebook, Twitter dan sebagainya. Kita bisa menulis status, misal: “Jika Anda butuh buku saat ini, buku apa yang akan Anda beli?”
- Kita perlu memilih segmen pasar, yang sesuai dengan passion dan kemampuan kita. Sebab, fokus pada segmen tertentu akan membantu kita untuk bisa melakukan langkah-langkah yang efisien dan efektif.
- Setelah memilih segmen, kita harus pintar menempatkan diri di pasar. Misal, sehari-hari kita berkutat di bidang sains, tentu akan mudah jika kita memilih menulis bidang sains. Tetapi, kita tahu, bahwa sains berat tidak segmen pasarnya terlalu sempit, maka kita bisa memilih sains populer untuk remaja, misalnya.
- Bauran pemasaran (marketing mix) terkenal dengan istilah 4P (product, price, place dan promotion). Ranah penulis adalah product dan mungkin promotion. Tetapi, penulis sangat bisa memberi masukan kepada klien penulis, yakni penerbit, dalam menciptakan bauran pemasaran yang mampu merangsang calon pelanggan untuk memutuskan menggunakan produk kita.
- Harus ada feedback ke pelanggan, apakah mereka puas dengan layanan/produk kita. Misalnya dengan membuat poling kepuasan pelanggan secara berkala.
Jangan lupa,
kita juga harus senantiasa berinovasi. Inovasi adalah kunci dari kesuksesan.
Sikap selalu mencari dan mencari tahu tentang segala sesuatu, akan memicu
munculnya inovasi. Sebab kata Masaru Ibuka, “Jika yang dilakukan hanya
berdasarkan pada apa yang telah diketahui, Anda tidak bisa mengharapkan adanya
inovasi.”[3]
[1]
Kotler, dkk. (hal. 1)
[2] http://ikapi.org/about
[3]
Kotler dkk. (hal 1).
5 komentar untuk "Menelisik Peran Penulis dalam Industri Perbukuan"
Makasih, Jazakillah khair atas sharing-nya, Mbak :)
Kami dari PT. Solo Murni - Kiky Creative Product Inc., sebuah perusahaan yang spesialisasi dalam pembuatan produk Paper printing.
Produk standart:
School Supplies, Office Supplies, Writing Pad, Gift Wrap, Envelopes, dan Fancy dengan creative motive dan kualitas produk High End.
Customized & Commercial Production :
Automotive Manual Handbook, Company Annual Prospectus, Promotional & Advertising Leaflet, Promotional Calendars and Diaries, Book Binding & Publishing, Promotional Packaging, Company Product Brochures, Supermarket & Department Store Leaflet.
Saat ini kami telah menjalin kerjasama yang baik dengan perusahaan dan toko bakery yang membutuhkan jasa pembuatan packaging, baik untuk product makanan (foodpack) sehingga kami menggunakan bahan foodgrade yang aman untuk kesehatan, maupun untuk barang non makanan.
Sedangkan Perusahaan berskala nasional yang juga telah kerjasama dengan kami selama ini antara lain : Pertamina, Garuda Indonesia, Kantor Pajak, Mizan, Matahari Putra Prima, Carrefour, Indomart, Gramedia, Indogrosir, Gunung Agung, Ramayana, Promex, Tb Kharisma, Toyota Astra, PT.Gudang Garam, Harvindo Perkasa /Harvest, Timezone, dll dan perusahaan Internasional/Export ke 26 Negara.
Pada kesempatan yang baik ini kami mengharapkan kerjasama dalam pembuatan keperluan packaging serta produk paper lain yang perusahaan Bapak/Ibu perlukan, dan kami optimis dapat memberikan hasil yang maximal seperti yang di kehendaki.
Hormat kami,
Ega Yosan Saleh
Marketing Executive
PT. Solo Murni Cab. JAKARTA
Jl. Rawa Sumur I Blok BB No.17B
Kawasan Industri Pulo Gadung
Telp : 021 - 46833789 ext : 206
Fax : 021 - 46833768
Hp : 081286424202
Email : aras.egayosan@gmail.com
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!