Pokoknya, Anakku Yang Terbaik!
Di sebuah acara lomba yang diselenggarakan untuk anak, saya tertegun melihat perdebatan sengit antara panitia dengan orang tua peserta lomba. Si orang tua komplain, karena ada aturan dari panitia yang dianggap merugikan anaknya. Karena rugi, si orang tua merasa bahwa peluang si anak untuk menang berkurang.
Di lomba lain yang sejenis, saya juga pernah melihat kasus yang mirip. Jika kasus di atas adalah aturan panitia, di kasus yang lain, saya melihat seorang ibu ngotot memprotes keputusan dewan juri. Intinya, “Pokoknya gambar anak saya ini yang paling bagus!”
Pernahkah Anda melihat kasus-kasus sejenis itu? Kasus yang membuat kita mengelus dada dan akhirnya menggeleng-gelengkan kepala sambil berpikir, ini sebenarnya siapa sih yang ikutan lomba? Ibunya, atau anaknya? Kok nafsu banget sih, dapat juara? Apa yang sebenarnya dicari dalam lomba itu? Piala yang berjejer di rumah? Piagam yang dipasang bergantungan di dinding?
Bahwa pada ajang-ajang perlombaan kadang ada kecurangan, itu mungkin memang benar. Tetapi, percayalah! Apa tujuan sebuah sebuah institusi mengadakan perlombaan? Menjaring bakat. Mencari potensi. Untuk apa mereka rela berpayah-payah mengadakan lomba kalau tidak menginginkan yang terbaik? Semakin bonafid penyelenggara lomba, mereka tak akan ‘melacurkan diri’ dengan melakukan kecurangan-kecurangan.
Prinsip ini selalu saya pegang kuat-kuat, sehingga saya selalu legowo jika mengikuti lomba dan ternyata kalah. Alih-alih memprotes juri dan panitia, saya lebih memilih introspeksi diri. Sikap ini ditanamkan oleh ‘guru ideologi’ sekaligus bapak biologis saya, alias sang ayah tercinta. Saat kecil, saya memang wara-wiri ikut berbagai ajang perlombaan. Mulai dari baca puisi, menulis, cerdas cermat, hingga lomba mata pelajaran.Ya, jelek-jelek gini, saat masih bocah, saya pernah tiga kali mewakili kabupaten di event yang lebih tinggi hehe. Ayah saya tahu, bahwa beberapa kali ada indikasi kecurangan. Tetapi ayah lebih menekankan kepada saya untuk koreksi diri. Demikian pula yang akhirnya saya coba tanamkan kepada anak-anak saya. Pokoknya kalau karya kamu benar-benar bagus, pasti orang akan menghargai kamu. Kalah di satu lomba, jangan frustasi, kamu harus bangkit, move on dan semakin baik.
Ya, lomba sesungguhnya hanya sebuah momen. Tetapi, pelatihan diri untuk mengasah bakat tertentu adalah tradisi, kebiasaan. Momen dibutuhkan untuk tolok ukur, seberapa jauh tradisi kita mampu melahirkan prestasi. Sesungguhnya, tanpa momen pun orang bisa eksis dengan karyanya. Penghargaan tak selalu berujud piala, atau juara ini, juara itu. Ketika karya kamu terpakai, dimanfaatkan dan dipertahankan orang, itu juga bentuk penghargaan.
Jadi, saya benar-benar heran dengan para orang tua, yang alih-alih menentramkan perasaan si anak, mengajari legowo saat kalah dan sebagainya, justru memberikan ‘keteladanan’ berupa ledakan emosi, kemarahan dan kegusaran kepada panitia atau juri. Apakah orang tua ingin memperlihatkan kepada si anak, “Ini lho, aku, sang superhero? Aku siap membela hak-hak kamu. Pokoknya, apapun caranya, kamu harus menang!"
Awas, Bunda, Ayah, Papa, Mama… anak-anak adalah ‘mesin foto kopi’ paling canggih di dunia ini. Karakter mereka akan terbentuk berdasarkan respon dari lingkungan. Dan orang tua, adalah ‘role model’ paling dahsyat yang menjadi anutan mereka. Ketidaklegowoan kita dalam perlombaan, sikap “Pokoknya anakku yang terbaik”, justru akan menghancurkan karakter si anak. Karena, mereka akhirnya akan dibentuk oleh sikap “Siap Menang”, dan “Tak Siap Kalah.”
Apa sebenarnya tujuan kita mengikutkan anak dalam lomba? Ya, agar anak punya semangat kompetisi. Agar anak punya hasrat untuk memperbaiki diri. Bukan sekadar untuk menang, tetapi juga untuk merasakan, “Begini lho, kekalahan. Nggak papa kalah, karena dalam kompetisi, namanya kalah dan menang itu biasa.”
Jadi, mari kita stop mentalitas “Pokoknya Anakku Yang Terbaik.” Karena, mentalitas tersebut, percaya deh, justru akan menghancurkan karakter anak kita. Mari dampingi anak untuk berproses menemukan jati dirinya, membangun mental positif dan ‘mental juara’ yang antara lain adalah siap menang dan siap kalah.
__________
Pernahkah Anda melihat kasus-kasus sejenis itu? Kasus yang membuat kita mengelus dada dan akhirnya menggeleng-gelengkan kepala sambil berpikir, ini sebenarnya siapa sih yang ikutan lomba? Ibunya, atau anaknya? Kok nafsu banget sih, dapat juara? Apa yang sebenarnya dicari dalam lomba itu? Piala yang berjejer di rumah? Piagam yang dipasang bergantungan di dinding?
Bahwa pada ajang-ajang perlombaan kadang ada kecurangan, itu mungkin memang benar. Tetapi, percayalah! Apa tujuan sebuah sebuah institusi mengadakan perlombaan? Menjaring bakat. Mencari potensi. Untuk apa mereka rela berpayah-payah mengadakan lomba kalau tidak menginginkan yang terbaik? Semakin bonafid penyelenggara lomba, mereka tak akan ‘melacurkan diri’ dengan melakukan kecurangan-kecurangan.
Prinsip ini selalu saya pegang kuat-kuat, sehingga saya selalu legowo jika mengikuti lomba dan ternyata kalah. Alih-alih memprotes juri dan panitia, saya lebih memilih introspeksi diri. Sikap ini ditanamkan oleh ‘guru ideologi’ sekaligus bapak biologis saya, alias sang ayah tercinta. Saat kecil, saya memang wara-wiri ikut berbagai ajang perlombaan. Mulai dari baca puisi, menulis, cerdas cermat, hingga lomba mata pelajaran.Ya, jelek-jelek gini, saat masih bocah, saya pernah tiga kali mewakili kabupaten di event yang lebih tinggi hehe. Ayah saya tahu, bahwa beberapa kali ada indikasi kecurangan. Tetapi ayah lebih menekankan kepada saya untuk koreksi diri. Demikian pula yang akhirnya saya coba tanamkan kepada anak-anak saya. Pokoknya kalau karya kamu benar-benar bagus, pasti orang akan menghargai kamu. Kalah di satu lomba, jangan frustasi, kamu harus bangkit, move on dan semakin baik.
Ya, lomba sesungguhnya hanya sebuah momen. Tetapi, pelatihan diri untuk mengasah bakat tertentu adalah tradisi, kebiasaan. Momen dibutuhkan untuk tolok ukur, seberapa jauh tradisi kita mampu melahirkan prestasi. Sesungguhnya, tanpa momen pun orang bisa eksis dengan karyanya. Penghargaan tak selalu berujud piala, atau juara ini, juara itu. Ketika karya kamu terpakai, dimanfaatkan dan dipertahankan orang, itu juga bentuk penghargaan.
Jadi, saya benar-benar heran dengan para orang tua, yang alih-alih menentramkan perasaan si anak, mengajari legowo saat kalah dan sebagainya, justru memberikan ‘keteladanan’ berupa ledakan emosi, kemarahan dan kegusaran kepada panitia atau juri. Apakah orang tua ingin memperlihatkan kepada si anak, “Ini lho, aku, sang superhero? Aku siap membela hak-hak kamu. Pokoknya, apapun caranya, kamu harus menang!"
Awas, Bunda, Ayah, Papa, Mama… anak-anak adalah ‘mesin foto kopi’ paling canggih di dunia ini. Karakter mereka akan terbentuk berdasarkan respon dari lingkungan. Dan orang tua, adalah ‘role model’ paling dahsyat yang menjadi anutan mereka. Ketidaklegowoan kita dalam perlombaan, sikap “Pokoknya anakku yang terbaik”, justru akan menghancurkan karakter si anak. Karena, mereka akhirnya akan dibentuk oleh sikap “Siap Menang”, dan “Tak Siap Kalah.”
Apa sebenarnya tujuan kita mengikutkan anak dalam lomba? Ya, agar anak punya semangat kompetisi. Agar anak punya hasrat untuk memperbaiki diri. Bukan sekadar untuk menang, tetapi juga untuk merasakan, “Begini lho, kekalahan. Nggak papa kalah, karena dalam kompetisi, namanya kalah dan menang itu biasa.”
Jadi, mari kita stop mentalitas “Pokoknya Anakku Yang Terbaik.” Karena, mentalitas tersebut, percaya deh, justru akan menghancurkan karakter anak kita. Mari dampingi anak untuk berproses menemukan jati dirinya, membangun mental positif dan ‘mental juara’ yang antara lain adalah siap menang dan siap kalah.
__________
INFORMASI BUKU-BUKU TERBARU SAYA (TERBIT TAHUN 2015)
1. Nun, Pada Sebuah Cermin. Novel, Terbitan Republika.
2. Akik dan Penghimpun Senja. Novel, Terbitan Indiva Media Kreasi.
3. Sayap-Sayap Mawaddah, Non Fiksi Pernikahan, Terbitan Indiva Media Kreas
Pemesanan Online klik SINI atau SMS/WA: 0878.3538.8493
4 komentar untuk "Pokoknya, Anakku Yang Terbaik!"
Padahal dari kekalahan banyak juga yang bisa dipelajari. KAlo anak2 saya .. mau ikut lomba di acara ulang tahun temannya saja saya sudah senang berarti mereka berani ... itu sebuah langkan maju buat saya karena saya dulu kuperan dan minderannya minta ampun :D
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!