Wow, Ada 125,2 Trilyun di Lebaran 2015!
“Mau nukar uang baru, nggak mbak?” tanya Tari,
manajer keuangan di kantor saya, beberapa hari sebelum libur jelang lebaran. Di
tangannya ada segepok uang sepuluh ribuan dan dua puluh ribuan yang masih baru.
Ternyata dia ambil khusus dari bank. Saya pun mengiyakan, dan menyerahkan
beberapa lembar uang ratusan ribu untuk ditukar dengan pecahan 10 ribuan dan 20
ribuan. Buat dibagi-bagi ke para keponakan di kampung halaman!
Sampai di rumah, ternyata suami juga melakukan hal
yang sama. Beliau mengambil segepok uang pecahan baru dari bank senilai sekitar
sejuta rupiah, katanya buat bagi-bagi ke para keponakan. Wah, tahu begini, tak
perlulah menukar uang di kantor, karena jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk
‘ang pao’ para keponakan. Tapi, karena sudah telanjur, ya sudahlah… mungkin
jika belanja ke warung, ke pasar, naik bus dan sebagainya, mereka akan senang
menerima pembayaran menggunakan uang baru ketimbang uang kucel bin kumel. Siapa tahu, karena duitnya bagus, mereka mau kasih bonus. Eh, tapi kalau naik bus, janganlah dikasih bonus. Nanti kudu pakai jalan kaki lagi hehe.
Tradisi bagi-bagi uang ke anak-anak saat lebaran,
sepertinya sudah jamak dilakukan. Saat saya tinggal di daerah Jajar, Solo,
malah bukan hanya kepada family, bahkan kepada para anak-anak tetangga pun yang
tak memiliki hubungan darah apapun, khususnya para sesepuh pun bagi-bagi uang.
Ketika saya melahirkan berdekatan dengan lebaran sehingga tidak mudik, anak
saya ikut kecipratan rezeki dari para tetangga. Seru!
Memang sih, ada beberapa pakar yang mengatakan bahwa
tradisi bagi-bagi uang untuk anak-anak itu tidak baik. Tetapi, menurut saya,
ini bisa menjadi salah satu sarana melatih kecerdasan finansial anak. Syarat
mutlak, orang tua terus mendampingi, ikut memenej dan tidak membiarkan
anak-anak out of control dengan jajan
sembarangan. Anak bisa dilatih untuk melakukan planning yang baik dengan uang-uang mereka, misalnya membeli
barang-barang yang dibutuhkan, atau ditabung.
Eh, sebenarnya saya sedang tidak secara khusus
membahas soal bagi-bagi uang kepada anak di sini. Bagi-bagi uang hanya salah
satu dari gambaran aktivitas distribusi uang saat lebaran. Lebih dari itu, saya
sering berpikir, berapa sebenarnya nilai uang yang berputar saat lebaran?
Mengingat lebaran adalah hari raya umat muslim yang menjadi mayoritas di negeri ini.
Pada saat itu, masyarakat berbelanja berbagai macam kebutuhan: baju baru,
makanan, minuman, alat-alat ibadah dan sebagainya. Bahkan, sepertinya bukan
hanya umat muslim. Non Muslim juga ikut meramaikan perayaan lebaran. Buktinya,
saya mendapatkan parcel lebaran dari beberapa klien bisnis yang saya tahu
pasti, tidak beragama Islam.
Ini belum aktivitas mudik yang tentu saja memakan
biaya. Ada sahabat saya yang mudiknya membutuhkan perjalanan via pesawat
terbang, karena memang lintas pulau dan lintas provinsi, bahkan lintas negara.
Ada yang menggunakan kereta api, bus, mobil pribadi, bahkan motor. Semua jelas
membutuhkan biaya, mulai dari yang sangat mahal, mahal, hingga murah meriah. Saya sendiri bersama keluarga, mudik ke dua
daerah, yaitu Purworejo dan Purbalingga. Alhamdulillah, sejalur, jadi lebih
efisien dalam segala hal: waktu, biaya dan tenaga. Biasanya, kami membutuhkan
waktu sekitar 5 hari (dan memang jatah cuti suami biasanya hanya segitu). H-1
kami akan meluncur ke Purworejo, shalat Idul Fitri di sana, lalu lebaran kedua
meluncur ke Purbalingga, menginap dua hari di sana, dan kembali ke Purworejo,
menginap sehari, lalu balik ke Solo. Biaya yang dibutuhkan untuk mudik selama 5
hari dengan jarak tempuh pulang pergi sekitar 500 KM, berkisar Rp 2.000.000
s.d. Rp 3.000.000,- Biaya tersebut
digunakan untuk BBM, konsumsi selama mudik, oleh-oleh untuk kerabat, ‘ang pao’
untuk para keponakan dan sebagainya.
Bagaimana dengan pemudik lainnya? Untuk yang dari
Jakarta, saya yakin kisarannya jauh lebih besar dari kebutuhan mudik keluarga
kecil saya. Jadi, berapa kira-kira total peredaran uang selama lebaran?
Suatu hari, saya membaca koran Suara Merdeka yang
terbit sehari sebelum lebaran. Ada headline yang menarik di sana, yaitu bahwa per 15 Juli 2015 ada 400.000 mobil masuk Jawa
Tengah dari Jakarta. Jika rata-rata satu mobil berisi 5 orang, berarti ada 2
juta orang yang masuk Jawa Tengah per-15 Juli 2015. Mari bikin hitungan
sederhana kisaran pengeluaran mereka.
BBM : 400.000
mobil × Rp 1.000.000 = 400 milyar
Makan : 15 kali
makan x 2.000.000 x Rp 25.000 = 750 milyar
MCK/toilet umum :
5 kali x 2.000.000 x Rp 2.000 = 20 milyar
Snack dan minuman :
10 x 2.000.000 x 5.000 = 100 milyar
Tiket rekreasi :
1 tiket × 2.000.000 × 15.000 = 30 milyar
Oleh-oleh :
400.000 mobil x Rp 500.000 = 200 milyar
‘Angpao’ :
400.000 mobip x Rp 500.000 = 200 milyar
Baju baru :
2 setel x 2.000.000 × Rp 150.000 = 600 milyar
Parkir :
10 kali x 400.000 mobil x Rp 3.000 = 12 milyar
Dari itu saja total pengeluaran = Rp 2.112 milyar
atau 2,112 Trilyun. Kalau dibuat rata-rata, biaya mudik per orang Rp
1.056.000,- Itu baru yang Jawa Tengah per 15 Juli, dengan moda transportasi
mobil pribadi. Bagaimana kisaran nasional?
Menurut Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan,
diprediksi ada 20 juta pemudik di lebaran 2015[1]. Jika
menggunakan rata-rata dari pemudik yang datang ke Jawa Tengah di atas, yakni Rp
1.056.000,- per jiwa, total dana yang berputar selama mudik mencapai Rp 21.120.000.000.000
alias Rp 21 Trilyun lebih. Namun, karena Jawa Tengah termasuk daerah yang relative
dekat dengan Jakarta, tentu rata-rata biaya mudik nasional bisa lebih tinggi.
Taruhlah, jika masing-masing orang membutuhnya biaya Rp 2.000.000,- maka total
dana yang beredar saat mudik adalah Rp 40 trilyun!
Apalagi jika kita juga menghitung kebutuhan dana
masyarakat yang tidak mudik. Bank Indonesia memprediksi, kebutuhan dana selama
lebaran adalah Rp 125,2 Trilyun![2]
Padahal, Anggaran Belanja Negara pada APBN tahun 2015 saja hanya berjumlah
Rp2.039,5 Trilyun[3].
Berarti, lebaran yang paling hanya berkisar 1-2 minggu, telah menghabiskan dana
senilai 6,14% dari total APBN yang berlaku selama satu tahun! Ck… ck,
fantastis!
Kesimpulannya, ada sebuah pergerakan ekonomi yang
bergeliat luar biasa selama lebaran. Pertanyaannya, ini sebuah pemborosan atau
berkah lebaran? Kita harus pandang secara objektif. Bisa dikatakan, lebaran dan
proses mudik adalah sebuah cara paling efektif untuk mengalirkan dana dari
pusat (baca: Jakarta) ke daerah-daerah. Sebab, menurut beberapa pakar, meski luasnya
hanya 661,52 km² dengan penduduk cuma sekitar 10 juta, jumlah yang yang beredar
di Jakarta mencapai lebih dari 70% total peredaran nasional.[4]
Dengan mudik, dana akan mengalir dan menjadi berkah bagi orang-orang daerah.
Di sisi lain, apalagi ditinjau dari sektor mikro,
sebenarnya banyak terjadi inefisiensi alias keborosan luar biasa. Terlebih,
banyak sekali kasus yang saya lihat, bahwa orang-orang menghabiskan tabungan
yang dikumpulkan berbulan-bulan hanya untuk mudik. Sehingga beredar sebuah
joke, “ada buku yang sangat menyedihkan, sad ending, melebihi novel bergenre
tragedi manapun. Pokoknya, kalau kamu baca buku tersebut, khususnya saat
lebaran, kamu akan menangis terisak-isak. Buku apa itu? BUKU TABUNGAN.” :-p
Tradisi mudik tentu baik. Merayakan lebaran juga
dianjurkan. Tetapi, mari jangan berlebihan, khususnya dalam hal yang sifatnya
konsumtif. Masaklah makanan yang termakan saja. Jangan melakukan kemubaziran.
Jika masih punya baju yang bagus, meski sisa tahun lalu, tak apa dipakai lagi.
Tak perlu semua isi toko diborong. Mukena, sajadah, kopiah, jika yang kita
pakai masih bagus, tak perlu beli yang baru. Kue-kue, seperlunya saja. Toh,
kapasitas perut kita juga terbatas. Efisien yuk, efisien!
Sangat bagus jika aliran dana mudik itu digunakan
untuk sektor yang produktif. Misal, membiayai kerabat di kampung untuk beternak
ayam, membuka toko, membeli bibit tanaman yang unggul, membiayai usaha kecil
dan sebagainya. Aliran dana semacam itu akan sangat membantu bergeliatnya
ekonomi daerah. Setuju?
REFERENSI:
[1] http://news.okezone.com/read/2015/07/21/337/1183611/kemenhub-klaim-20-juta-orang-mudik-saat-lebaran-2015
[2] http://print.kompas.com/baca/2015/07/21/Dana-Mudik-untuk-Konsumsi
[3] http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/bibfin.pdf
[4] http://www.bappedajakarta.go.id/sekilasjktkini.asp
8 komentar untuk "Wow, Ada 125,2 Trilyun di Lebaran 2015!"
Memang itu pemborosan yang luar biasa juga. Seringkali orang2 dewasa dari perantauan juga menghambur2kan uang untuk beli petasan sampai ratusan ribu rupiah per orang... :-(
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!