Dari FoMO, Anak Nongkrong Hingga Online Blues
Jagad maya sedang heboh dengan berbagai posting tentang fenomena FoMO. Salah satu pemicunya adalah artikel si abang senior saya, Kang Arul alias di blognya yang kece www.dosengalau.com. Kang Arul mencermati fenomena FoMO pada Blogger, dan menyebut FoMO sebagai penyakit berbahaya bagi Blogger. Kontan saja timeline akun media sosial langsung ramai dengan bahasan soal FoMO.
Meskipun istilah ini sudah cukup lama saya dengar, terus terang, saya penasaran banget dengan FoMO. Singkatan FoMO juga terkesan lucu. Mirip dengan Tomo, Pomo, Momo bahkan Komo hehe. Ayo tes ingatan, siapa itu si Komo? Jika bisa menjawab tepat, berarti masa kecil Anda penuh kebahagiaan #kidding.
Ternyata, bukan hanya saya yang bilang singkatan itu lucu. Linda Sapadin, P.Hd juga. Ms. Sapadin menuliskan dalam http://psychcentral.com sebagai berikut: In case you didn’t have enough to worry about, there’s a new mental health syndrome on the horizon with a funky acronym. It’s FOMO: the Fear of Missing Out.
Lebih lanjut, Ms. Linda Sapadin menjelaskan: FOMO is especially strong for those who are hooked on social media. Why? Because they’re constantly aware of what others are doing. Visit Facebook and you’ll view your friends’ faces with ecstatic smiles. Read their posts and you’ll find gushing descriptions of their awesome adventures. Person after person is having the time of their lives. And you? Well, not so much.
Sudah fahim kan, apa itu FoMO? The Fear of Missing Out. Ketakutan jika tertinggal informasi. Mirip-mirip takut menjadi kudet gitu deh… alias kurang update. Tapi, FoMO lebih dari sekadar takut dibilang kudet, FoMO ini sudah menjadi semacam sindrom. Kalau kita tengok KBBI, sindrom/sin•drom/ n adalah himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu; hal-hal (seperti emosi atau tindakan) yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yang dapat diidentifikasi. Jadi, FoMO ini bisa disebut sebagai penyimpangan mental, alias sesuatu yang abnormal, so… sangat perlu diwaspadai.
Ngerinya, menurut survey terbaru yang dilakukan oleh MyLive.com, 56% manusia di seluruh dunia ternyata mengidap sindrom FoMO. Woow, ini kalau dalam bahasa kedokteran namanya epidemi, alias wabah penyakit yang menyerang secara serentak di daerah yang luas dan memakan banyak korban.
Apakah Anda terserang FoMO juga? Coba ingat-ingat, apakah indikasi ini melekat pada Anda?
- Setiap hari, setiap jam, setiap menit, yang menjadi fokus adalah gadget. Bangun tidur yang dicek gadget. Mau tidur, yang dipegang gadget. Sehari nggak pegang gadget... seperti kiamat.
- Apapun aktivitasnya, gadget selalu di tangan. Nyopir, nyambi buka gadget. Makan malam dengan keluarga, yang dilihat gadget. Meeting, disambi online. Bahkan, ke kamar mandi pun bawa gadget. Mungkin Anda bahkan pernah mengalami kekonyolan, seperti gadget yang nyemplung di bak mandi. Kesiaaan deh, Lu!
- Lebih baik tidak makan asal paket data terisi. Kata senior saya, Mbak Sinta Yudisia, penulis keren yang baru saja ditasbihkan sebagai seorang psikolog, hirarki Maslow telah terbolak-balik gegara FoMO. Jadi, ada kebutuhan yang lebih mendasar dibanding kebutuhan fisiologis (seperti makan, minum, seks dll), yakni kebutuhan online.
- Kegiatan ber-online ria semakin menjadi-jadi ketika menemukan 'gebetan' atau bahkan 'hater' di socmed. Iya, hater! Anda punya seseorang yang sangat Anda benci? Uniknya, justru karena rasa benci itulah yang mendorong kita untuk stalking dan KEPO-in doski. Aktivitas ini, sangat mungkin menjadi sebuah hal yang sangat mengasyikan, meski menyakitkan. Wah, ini penyakit mental jenis lain. Menikmati sesuatu yang membuat sakit hati. Saya pernah dicurhati kawan yang barusan cerai, dan ternyata aktivitasnya nyaris 24 jam dipantau oleh mantan suami. Ini berarti si suami menikmati apa yang disebut Jacques Lacan sebagai jouissance, sebuah kenikmatan yang berbaur dengan sensasi penderitaan dan kesakitan yang tidak berujung. Haduuuh, makin kesana-kemari ternyata ya…
- Kita sangat sangat senang update: makan malam, update... mampir di suatu tempat, update. Dapat kiriman makanan dari tetangga, update... Lucunya, seringkali, ketika ada di suatu tempat, sibuk foto selfie, malah nggak menikmati tempatnya tapi sibuk update status. Saya pernah bertemu dengan teman di dunia nyata. Pertemuan itu hanya sekitar 10 menit. Saya bahkan tak sempat banyak ngobrol dan mengekspresikan rasa kangen. Eh, tapi setelah itu, foto kami dia upload di media sosial dengan kesan sangat heboh, seakan-akan kami telah bertemu selama berhari-hari. Saya pun menatap foto itu sembari melongo… (awas ada lalat!).
- Kita merasa semakin dekat dengan yang jauh, tetapi dengan yang dekat malah menjauh... kadang, dengan teman online kita bisa sangat ekspresif dengan ikon peluk, cium dan sebagainya, tetapi dengan keluarga sendiri malah ‘garing’. Berakrab-akrab dengan pembeli (jika kita jualan online), memanggil mereka dengan Sis, Bro dll… tapi dengan saudara sendiri malah jarang saling tegur sapa.
Itu beberapa gejala yang mungkin mengindikasikan bahwa kita terkena sindrom FoMO... mau nambahin? Di kolom komentar yak! Hehe.
Di Timeline saya, banyak orang komentar soal FoMO, tetapi maknanya jadi menyempit, bahwa FoMO itu artinya pamer. Hm, bisa juga sih. Tetapi, lebih tepatnya, FoMO adalah sebuah fenomena kecanduan utk selalu update... ya, karena takut missing out itu. Pamer pada kasus ini mungkin lebih pada menampilkan atribut-atribut yang telah disepakati bersama. Misal, kalau Blogger, hal-hal yang akrab mungkin: job review, skor Klout/DA/PA yang naik, menang lomba, pertemuan Blogger dan sebagainya. Simbol-simbol ini menjadi ajang adu eksistensi.
Fenomena takut ketinggalan ini sebenarnya mungkin sudah terjadi sejak dahulu. Kita mengenal geng anak nongkrong, punk dan sebagainya yang sangat peduli dengan atribut-atribut yang disepakati bersama. Mereka juga memiliki belongingness need yang sangat kuat. Mereka merasa bahwa ketika ngumpul-ngumpul, nongkrong, dan pamer atribut yang mereka sepakati (misal tattoo, rambut yang dicat, tindik di hidung dan sebagainya) sebagai sebuah kebutuhan, yang mungkin mengalahkan kebutuhan fisiologis. Kalau menurut teori David McClelland, orang-orang semacam ini memiliki need of affiliation yang sangat dominan, mengalahkan kebutuhan-kebutuhan lain.
Hanya saja, FoMO ini menarik, karena bersifat endemik, dan menyasar ke semua golongan. Mantan suami dari teman yang saya duga mendapatkan jouissance dari ber-stalking ria di akun sang mantan itu, bahkan seorang doktor lulusan luar negeri lho. Silakan kaget! Hehe…
So, kalau punk dan anak nongkrong lazim terjadi pada remaja yang sedang sibuk mencari jatidiri, FoMO ini ajaib, karena menyerang orang-orang yang bahkan telah mapan secara sosial, dan menggerogoti kemapanan psikologis seseorang, tanpa yang diserang itu menyadari. Baru ketika penyakit FoMO sudah terasa parah, mendadak dia merasakan sesuatu yang garing, tak nyaman, kegelisahan, kesedihan, kekhawatiran dan kecemasan tanpa sebab, kehilangan fokus dan konsentrasi, hiperrealitas (simulacra), serta yang paling gampang… banyak pekerjaan terbengkalai. Perasaan tak nyaman akibat kecanduan internet ini, saya kasih istilah Online Blues. Setuju? Yang mau protes, atau kasih masukan, di kolom komentar ya! (Ini modus biar banyak yang komen, hehe).
Seorang teman, yang kebetulan aktivis di berbagai kegiatan online berkilah, “Saya online itu dalam rangka bekerja, bukan FoMO.”
Baik, saya setuju dengan teman saya ini. Terkoneksi, apalagi pada taraf well connection, telah menjadi sebuah keniscayaan. Para marketer andal menggunakan kegiatan online sebagai sebuah gaya pemasaran baru yang asyik dan menyenangkan... juga menguntungkan. Saya kira, ini salah satu efek positif yang bisa dikembangkan dari semakin kerennya teknologi informasi.
Alih-alih mengidap FoMO, yuk jadikan berinternet-ria sebagai sebuah sarana self up grading, di segala bidang! Mau belajar, berdakwah, mencari ma’isyah (penghasilan), branding, promosi, silaturahim, dan sebagainya.
Baca juga
18 komentar untuk "Dari FoMO, Anak Nongkrong Hingga Online Blues"
Terimakasih ya, telah berkunjung dan ninggalin jejak :-)
Dan, endemi yang bertajuk Fomo ini tentu tidak akan mempan pada muslim yg ruhiyahnya selalu terjaga ya.. Waktu mereka sangat berharga dan dihindarkan dari tergerogoti oleh si Fomo. Semoga saya termasuk di dalamnya.
Betul, saya dan Kang Arul kan satu grup di sebuah forum. Kemarin sempat diskusi seru dengan beliau. Hehe...
Kalau waspada, nggak mempan mbak. Klo terlena, ya hanyut juga.
Saya masih terkaget-kaget, lho dengan fenomena haters. Pernah menyaksikan bagaimana haters mencaci maki artis di televisi. Ya ampun, gak ada kerjaan lain apa ya selain menguntit orang tak kenal yang dia benci setengah mati? Ck ck ck
Blogger yang dekat dengan medsos memang kudu hati2, jangan terjebak FoMo ini. Blogge rperlu selalu update karena agensi memilih blogger utk job review pun dari keaktifannya bermedsos. Sy memutuskan utk update hadiah atau kalau sesekali menang lomba, berusaha bukan utk pamer. Melainkan sebagai pertanggung jawaban ke agensi atau brand kalau agensi dan brand memang telah memberikan kitapenghargaan atas kemenangan yang diperoleh.
TUlisan ini menarik utk direnungkan. Izin save yah, Mbak. Biar saya bisa baca kapan saja :)
Terima kasih sudah nge-tag saya :)
>> Saya setuju dengan mbak... sbg penerbit, saya juga sering meminta penulis banyak promo di medsos
>> Silakan jika di-save. Klo ada info baru, insyaAllah saya update di sini
sekarang jadi bersyukur inet di gadget saya tengah mati dan entah bisa dihidupin apa tidak.. jadi males juga pegang hape tuh.. mending pegang buku[kalau sempat.. he.. he...
Nice sharing, Bund
Matur Nuwun
Terima kasih ilmunya, Mbak. Bermanfaat dan mengingatkan.
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!