Full Day School: “Ummi, Abi, Aku Senang Sekolah di Sini”
“Nak, serius nih, Ummi mau tanya, kalian merasa berat nggak
sih, sekolah Nur Hidayah?” suatu hari, saat perjalanan pulang menjemput
anak-anak, saya bertanya kepada bocah-bocah kami. Nur Hidayah adalah nama
sekolah anak-anak kami, yayasannya menaungi dari jenjang PAUD, SDIT, SMPIT
hingga SMAIT.
“Kok nanyanya begitu?” Anis, anak sulung saya yang memang
cukup kritis malah justru bertanya.
“Ya, sekadar nanya saja.”
“Kan nggak mungkin nanya tanpa ada alasan.”
Saya tersenyum. Selain kritis, si sulung ini memang logis
orangnya.
“Ya, kan ada yang komentar di sana-sini, bahwa sekolah Full
Day itu memberatkan. Memasung hak anak, anak jadi kehilangan waktu bermain, dan
otak terus diperas untuk berpikir. Kalau memang kalian merasa terbeban, ya
bilang aja. Ntar Ummi sama Abi bisa mencarikan sekolah lain yang tidak terlalu
bikin capek.”
“Nggak, ah Mi… kadang aku memang capek, tapi aku senang
sekolah di Nurhidayah. Jadi, jangan dipindah, ya Miii…”
“Kamu bagaimana, Rama?” tanyaku pada anak kedua, saat ini
kelas 4 SD.
“Nggak mau pindaaaah… aku senang sekolah di sana.”
“Kamu Fan?”
Ifan, yang masih TK B memonyongkan bibirnya, “Nggak mau
pindah!” ujarnya, cemberut.
Dear pembaca, dialog semacam itu bukan sekali dua kali
terjadi. Tetapi secara berkala kami lakukan sebagai salah satu cara kami mengevaluasi hal-hal yang telah kami putuskan. Jadi, ketika pro kontra Full
Day School mengemuka, saya dan suami hanya senyum santai, dan awalnya
memilih tidak terlalu banyak komentar. Lha kami yang menjalani saja baik-baik saja, kok. Sementara, saat saya
melihat para alumni FDS, juga fine-fine aja.
Malah saya melihat mayoritas dari mereka memiliki prestasi melejit, tanpa kehilangan kegairahannya sebagai anak muda. Banyak di antara mereka yang saat ini kuliah di Turki, Arab Saudi, Mesir, Singapura, dan sejumlah kampus favorit negeri ini. Ritme sekolah yang sudah padat, telah membuat mereka bermental kuat, tahan banting, tanpa merasa terbeban. Yang menarik, selain prestasi mereka bagus, mereka juga aktif dan menjadi pelopor di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Mereka pintar membagi waktu dan menentukan prioritas, serta terbiasa belajar multitasking. Saya kira itu terjadi salah satunya karena hasil dari gemblengan saat FDS.
Malah saya melihat mayoritas dari mereka memiliki prestasi melejit, tanpa kehilangan kegairahannya sebagai anak muda. Banyak di antara mereka yang saat ini kuliah di Turki, Arab Saudi, Mesir, Singapura, dan sejumlah kampus favorit negeri ini. Ritme sekolah yang sudah padat, telah membuat mereka bermental kuat, tahan banting, tanpa merasa terbeban. Yang menarik, selain prestasi mereka bagus, mereka juga aktif dan menjadi pelopor di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Mereka pintar membagi waktu dan menentukan prioritas, serta terbiasa belajar multitasking. Saya kira itu terjadi salah satunya karena hasil dari gemblengan saat FDS.
Seorang kenalan saya yang anaknya diterima di sebuah kampus top di Asia yang terkenal dengan sistem pendidikannya yang ketat dan berdisiplin tinggi, pernah berkata kepada saya, "Insya Allah anak saya mampu mengikuti ritme di sana, karena sudah terbiasa dengan ritme saat sekolah FDS."
Oke, bicara tentang beban atau tekanan, baca ya, artikel
saya ini JANGAN TAKUT STRES.
Stres itu ada dua jenis, stress positif (eustress)
dan negative (distress). Eustress ini akan membuat seseorang kuat. Ibarat
donat, adonannya harus dibanting-banting agar benar-benar kalis dan
menghasilkan donat yang berkualitas. Di dekat rumah saya, ada beberapa orang
yang mempersilakan pekarangan kosongnya dijadikan sarana olahraga anak-anak
kampung. Tujuannya agar tanah menjadi keras karena diinjak-injak terus. Jadi,
kalau nanti harus menguruk untuk dibangun, prosesnya lebih mudah, karena
pondasi tanah sudah stabil.
Secara khusus, Daniel Goleman dalam bukunya yang
spektakuler, Emotional Intelligence, memuji anak-anak China-Amerika yang
ternyata memiliki prestasi yang jauh lebih bersinar dibanding anak-anak Amerika
lain. Ternyata, anak-anak China-Amerika itu memang digodok dalam sistem
pendidikan yang penuh disiplin dan ketat. Sementara, anak-anak Amerika lainnya
terlihat begitu santai dan easy going.
Eustress ini perlu diprogram, tentu dengan dosis yang pas
dengan anak, serta dengan kemasan yang menyenangkan. Sehingga anak-anak kita terbiasa
dengan beban, dan akhirnya bisa bersahabat dengan beban, dan bahkan
menjadikannya sebagai sebuah tantangan yang menggairahkan. Betapa banyak warga
negara ini yang menjadikan pekerjaan, tanggungjawab, target-target sebagai
beban. Sehingga mereka akan menganggap tugas-tugas sebagai momok yang
menakutkan. Walhasil, mereka akan ogah-ogahan dalam menjalani kewajibannya.
Kerja malas, gaji ingin gede. Baru jam dua sore sudah korupsi waktu dengan
main-main media sosial, sebentar-sebentar lirik jam, padahal jam pulang masih
setengah lima. Berangkat pagi hanya untuk setor absen, habis itu kabur entah
untuk urusan apa.
Silakan baca artikel saya: Anda Manusia Tipe X atau Y?
Jadi, menurut kami, Full Day School adalah sarana tepat
untuk mendidik dan mengarahkan potensi anak, sekaligus mengantisipasi berbagai
macam problematika yang mucul di lingkungan sekitar. Anda boleh bilang “FDS kan
alasan ibu-bapak yang tidak punya waktu mengawasi anak-anak!” memang betul.
Kami berdua, memiliki profesi yang mengharuskan berangkat pagi pulang sore
hari. Kami memiliki tanggung jawab profesi yang harus ditunaikan, dan profesi
tersebut juga menyangkut kebaikan masyarakat. Maka, jika kemudian ada lembaga
yang menjawab kebutuhan kami, lalu kami sama-sama sepakat bekerjasama, why
not?
Yang penting, jangan pernah menyerahkan sepenuhnya
pendidikan anak kepada institusi FDS, tanpa kita terlibat di dalamnya. Setiap
orang tua punya keterbatasan, sehingga perlu bekerjasama dengan orang-orang
ahli dalam mendidik anak-anaknya. Namun, orang tua juga memiliki keunggulan
khas, yang juga harus diwariskan kepada anak-anak. Maka, carilah partner
mendidik yang sevisi dan semisi, sehingga segala sesuatu akan berjalan lebih
mudah.
Kerja sama mendidik anak-anak, bahkan dilakukan para ulama
yang memiliki ilmu mumpuni. Kyai Asy’ari misalnya, setelah mendidik sendiri putranya,
Hasyim, kemudian menyuruh Hasyim berguru pada sejumlah ulama baik di dalam
maupun luar negeri. Demikian juga ulama-ulama lain, biasanya memiliki banyak
guru yang berasal dari banyak daerah. Bahkan, Imam Syafii begitu menganjurkan
kita agar merantau untuk mencari ilmu. “Aku melihat air menjadi rusak karena
diam tertahan. ... Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam
hutan,” begitu kata beliau.
Kembali ke FDS ya… jadi, intinya saya sekeluarga cocok
dengan FDS. Kami memiliki visi besar dengan pendidikan anak-anak kami. Bagi
kami, cara agar visi itu terejawantah, ya mencari institusi FDS yang memiliki
kesiapan tinggi dan sanggup bekerja sama dengan kami. Visi itu tentu sudah kami
dialogkan kepada anak-anak, dan mereka, dengan pemikiran anak-anaknya, sudah
mampu menangkap visi tersebut, dan mereka setuju. Bahkan kian enjoy dari hari
ke hari.
Bukan berarti tak ada keluhan. Ya, anak-anak suka mengeluh
capek. Terutama di awal-awal sekolah. Tetapi, setelah kami motivasi, mereka
biasanya akan segar dan bersemangat kembali. Ya, ketika memutuskan untuk FDS,
sebenarnya orangtua justru harus lebih aktif dan kian memperhatikan
kemajuan-kemajuan dan tantangan-tantangan yang dihadapi anak.
Bukan
Berarti FDS Cocok Untuk Semua Anak
Sekali lagi, kami cocok dengan konsep FDS. Akan tetapi,
ketika wacana FDS digulirkan oleh Pak Menteri dan akan diwajibkan ke seluruh
anak, saya terus terang terhentak. Serius, nih, Pak Menteri. FDS itu tidak
mudah, lho. Tidak lantas karena guru sudah digaji dengan standard tinggi (yang
lolos sertifikasi), maka mereka sanggup mengelola FDS lho. Gaji menurut saya
bukan variabel yang paling mempengaruhi kesuksesan FDS. Tapi idealisme. Gaji
guru-guru di sekolah anak-anak saya tak setinggi gaji guru PNS bersertifikasi,
tetapi mereka begitu paham tanggung jawab mereka. Bahkan mereka dengan senang
hati melayani diskusi dengan orang tua di grup WA hingga malam hari. Ya, di
sekolah kami, setiap kelas memang memiliki grup WA sendiri, yang memungkinkan
orangtua berkomunikasi secara intensif dengan guru. Ada 24 kelas di SD anak
saya, masing-masing angkatan 4 kelas. Dan saya tidak mendengar keluhan dari
kelas-kelas lain tentang interaksi mereka dengan guru-gurunya. Ini menunjukkan
secara umum, mereka begitu terbuka dan komunikatif.
FDS juga menyangkut fasilitas. Sekolah yang nyaman, karena
tak hanya untuk belajar, tetapi juga bermain. Peralatan yang lengkap, kurikulum
yang moderat—seimbang antara hak otak, hak jiwa dan hak fisik. Konsep kerjasama
dengan pihak orangtua. Sampai pada sistem katering yang minim komplain. Maaf, ini mahal harganya.
Ya, saya harus jujur, sekolah di FDS itu mahal. Tetapi, jer basuki mawa bea, begitu pepatah mengatakan. Karena saya dan suami memang sudah bertekad, ya bagaimana caranya kami harus
bisa bayar. Kami akan bekerja lebih keras lagi agar mendapatkan dana yang
cukup, dan mengurangi kebutuhan-kebutuhan lain yang menurut kami tak terlalu
penting. Perabot rumah, perhiasan emas-emasan (emas beneran, eh), sering belanja baju baru, sepatu, tas, bagi kami tak
penting.
Yang menarik, saya melihat beberapa keluarga yang secara
ekonomi sebenarnya tidak terlalu berkecukupan, ternyata memiliki idealisme
besar dengan menyekolahkan anak ke FDS.
Mereka benar-benar cermat dan hemat untuk pengeluaran lain.
Alhamdulillah, beberapa institusi FDS sering memberlakukan subsidi silang.
Selain kesiapan pihak sekolah, kesiapan anak dan orang tua
juga penting sekali. Semua anak punya tipe sendiri-sendiri, yang terbentuk
bukan sekadar faktor genetis dan pola pengasuhan orang tua, tetapi juga
lingkungan.
Jadi, full day school, half day school, home school,
itu semua pilihan... semua anak tidak
sama. Kondisi yang melatari juga berbeda. Orang tua yang bijak akan memilihkan
yang tepat untuk anak mereka. Indikasinya: anak enjoy, berkembang potensinya,
sehat jasmani-rohani, kepentingan orang tua bisa diselaraskan... setuju?
6 komentar untuk "Full Day School: “Ummi, Abi, Aku Senang Sekolah di Sini”"
Mungkin Pak Menteri juga melihat sendiri fakta di lapangan :-)
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!