Widget HTML #1

Ada Apa dengan Tionghoa?



Siapa bilang saya anti China. Saya ngefans cerita-cerita silat dari Tionghoa. Saat Serial Yoko dan Bibi Lung (The Return of the Condor Heroes) tayang di televisi, saya tak pernah absen menontonnya. Saya juga suka dengan kekonyolan Sun Go Kong. Tulisan-tulisan Asmaraman S. Kho Ping Ho hampir semua saya lahap. 

Saya suka Tiongkok dan Tionghoa. Saya memiliki buku Sejarah China sampai beberapa judul, dan lumayan hapal dinasti-dinasti yang bertakhta di sana, dari zaman China Kuno, lalu dinasti Qin, Han, Sam Kok sampai pendudukan Manchu, masa-masa perjuangan dr. Sun Yat Sen, hingga China kemudian menjadi negara komunis bernama Republik Rakyat Tiongkok. Saya juga bercita-cita suatu saat bisa menjelajah ke negeri berperadaban tertua di dunia itu (doakan yaaa....).

Bagi saya, peradaban Tiongkok itu "anggun" dan menawan. Lihatlah pakaian-pakaian yang dikenakan, lalu tulisannya yang sulit dipelajari, dan juga berbagai tradisi yang sudah sedemikian tua dan tentu didasarkan pada pengalaman dari generasi ke generasi. Beberapa novel saya, juga mengangkat soal tradisi China, misal novel Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman, serta Da Conspiracao.

Maka, ketika di negeri ini terjadi pergolakan antaretnik Pribumi vs Non Pribumi, saya menjadi bertanya-tanya. Ada apa dengan konflik ini? Mengapa suhu konflik dua jenis ras itu begitu panas, bak air mendidih. Terlebih di ibu kota. Saya memiliki keluarga yang tinggal di Jakarta. Jelang pecahnya kerusuhan Mei 1998, saya melihat adanya kebencian luar biasa antara kalangan Pribumi di Jakarta dengan Non Pribumi (baca: Tionghoa). Sebenarnya tak hanya di Jakarta. Di Solo pun demikian. Kita tentu masih ingat peristiwa kerusuhan Pribumi vs Non Pribumi di Solo tahun 1980. Saat itu saya belum lahir. Tetapi, karena Pakde saya adalah aktivis mahasiswa yang pernah menikmati mendekam beberapa malam di tahanan karena peristiwa tersebut, peristiwa itu terekam dan jadi buah bibir di keluarga saya.

Yang lucu, Non Pribumi di Indonesia selalu diidentikkan dengan etnis Tionghoa, sementara keturunan Arab dan India, membaur dengan begitu erat dengan masyarakat asli negeri ini seperti Jawa, Sunda, Batak dan sebagainya. 

Jadi, ada apa dengan Tionghoa?

Padahal, jika kita menelisik sejarah, Tionghoa pernah juga begitu mesra berinteraksi dengan masyarakat Pribumi. Raden Patah, pendiri dan raja pertama Kerajaan Demak, yang juga merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa, diyakini merupakan keturunan Tionghoa. Ibunya adalah seorang Tionghoa. Raden Patah sendiri memiliki nama asli Jin Bun. Beliau digelari Fatah (artinya kemenangan), dan kemudian lebih dikenal sebagai Raden Fatah (dalam lidah Jawa disebut "Patah"). Sedangkan menurut  M. C. Ricklefs, sejarahwan asal Australia,  pendiri Kerajaan Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po, yang kemudian bergelar Pate Rodin (Raden Patah?). 

Pada abad ke 15, gelombang imigran China Muslim dari Guang Dong dan Fujian, mendarat di Nusantara (Indonesia), berprofesi sebagai pedagang, pertanian, dan pertukangan. Mereka juga menyebarkan ajaran agama Islam. Beberapa daerah tujuan imigran China (Tionghoa) muslim adalah Sambas, Lasem, Palembang, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya (Yuwanto, 2016)[1]

Di abad yang sama, tepatnya antara tahun 1405 sampai 1433, rombongan Laksmana Cheng Ho juga mendarat di Jawa.

Kemesraan Pribumi dengan Etnis Tionghoa semakin menguat, saat terjadinya peristiwa Geger Pacinan, alias Tragedi Angke atau Chinezenmoord. Dalam bukunya, Geger Pacinan, Daradjadi menuliskan bahwa pada tahun 1740, terjadi pembantaian massal orang Tionghoa oleh Belanda di Batavia. Dalam kejadian itu, diperkirakan 10.000 orang Tionghoa dibantai oleh Belanda.

Pasukan China, dipimpin oleh Kapitan Sepanjang dan Kapitan Tan Sin Ko kemudian bersekutu melawan para ksatria Jawa, di antaranya Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) dan Raden Mas Said (Mangkunegoro I, alias Pangeran Sambernyowo). Peperangan China-Jawa vs VOC yang didukung Sultan Pakubuwono, meluas hingga ke Solo. Keraton Mataram yang saat itu berpusat di Kartosura runtuh dihancurkan koaliasi laskar Jawa-Tionghoa, sehingga Paku Buwono II harus mencari lokasi keraton baru, yakni di kota Solo.

Geger Pacinan, secara politik benar-benar menggoncang kekuasaan VOC dan juga para Priyayi Jawa pro VOC. Mereka akhirnya melihat, bahwa sungguh berbahaya jika Pasukan China berkoalisi dengan Pasukan Jawa. Menurut Daradjadi, itulah yang membuat para politisi yang berkuasa kemudian (yakni penjajah Belanda dan juga antek-anteknya, para Priyayi Jawa), mencoba segala cara untuk menjauhkan hubungan antara Jawa dan Tionghoa. Politisasi pun dimulai.

Dan ternyata, usaha adu domba yang dilakukan itu berhasil. Terlebih, di zaman orde baru, kembali rezim yang berkuasa menggunakan trik Belanda, menjauhkan kaum Tionghoa dengan kalangan Pribumi. Mungkin, bisa jadi rezim orde baru trauma dengan peran Tiongkok saat terjadinya peristiwa G 30 S/PKI. Tetapi, dengan cara menekan masyarakat Tionghoa secara politis, efeknya tentu tidak baik. Terlebih di satu sisi mereka menekan, di sisi lain, rezim Tiong Hoa juga “bergandengan mesra” dengan para Taipan Tionghoa.

Sepertinya, sentimen negatif yang terbangun antara Pribumi vs Non Pribumi harus mulai dihilangkan. Pembauran harus benar-benar “murni”, tanpa adanya kepentingan-kepentingan tertentu dan berbagai kecurigaan. Sayangnya, alih-alih mencoba “mendamaikan”, justru sepertinya ada upaya-upaya agar konflik itu tetap lestari. Kebencian antaretnis seperti sengaja dikipas-kipasi dan suatu saat disirami dengan bensin yang membuat hubungan panas itu menjadi sebuah kebakaran yang dahsyat.

Entah bagaimana perasaan Raden Patah jika tahu bahwa saat ini, sebagian anak keturunan dari ibunya, saat ini begitu membenci anak keturunan dari ayahnya. Betapa sedihnya...






[1] http://www.ubaya.ac.id/2014/content/articles_detail/105/Etnis-Tionghoa--juga--Penyebar-Agama-Islam-di-Indonesia.html

2 komentar untuk "Ada Apa dengan Tionghoa? "

Comment Author Avatar
ya mba hana juga sedih soal ini :') makasih ya udah berbagi :)
Comment Author Avatar
Benar kata Bung Karno, Jasmerah... Jangan melupakan sejarah.
Terimakasih sudah berkunjung

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!

banner
banner