Goa Lawa dan Suatu Hari Bersama Bapak
Foto Koleksi Estining Pamungkas |
Ing perenge Gunung Slamet, sisih
wetan cedak Gunung Kelir
Papan kono, saiki dadi rame, enom
tuwo, muda-mudi pada ndilir
Gemruduk para sutresno, pengin
weruh klawan nyata’ake
Aduh-aduh la kok serem hebat
tenan, ombo dowo mubeng-mubeng peputeran
Kaendahan Goa Lawa, Kanugrahan
Maha Agung
Ayo-ayo pada dilestareke, obyek
wisata Kutha Purbalingga
Pagi yang dingin dan berselimut
kabut mendadak terasa cerah dan hangat. Saya terbangun begitu mendengar suara
petikan gitar berirama keroncong yang rancak dan lincah itu. Langkah kaki
mungil saya beranjak menuju ruang tengah. Di sana, sosok yang sangat saya
kagumi sedang asyik bernyanyi, mendendangkan lagu yang beliau ciptakan dari
aransemen sendiri. Goa Lawa.
Bapak. Beliau adalah seorang
seniman yang multitalent. Selain mendalami seni peran, seni rupa dan seni
sastra, beliau juga mahir menyanyi, memainkan musik, dan mencipta lagu. Bahkan,
beliau juga pintar membuat alat musik sendiri. Saat bocah, saya menyaksikan
beliau menatah kayu membentuk sebuah wujud, mengampelas dan mengecatnya.
“Itu biola, ya Pak? Kok besar
sekali?” tanyaku saat itu.
“Bukan, ini namanya bas. Kalau
main orkes keroncong, kita butuh gitar, cuk (gitar kecil), cello, bas dan
biola. Karena sulit membeli cello dan bas, Bapak bikin sendiri.”
Saya menatap bapak dengan kagum.
Semakin kagum ketika orkes keroncong binaan beliau berlatih di rumah kami.
Lagunya Purbalingga Tiban, Langgam Kali Klawing dan juga Gua Lawa. Meski lahir
di kota Solo, kecintaan Bapak terhadap Purbalingga yang menjadi domisilinya
saat dewasa hingga maut menjemput, sangatlah besar. Dari lagu yang selalu
beliau ulang-ulang, rasa cinta saya kepada Purbalingga selalu membuncah, meski
resmi sejak tahun 1997 saya meninggalkan daerah ini untuk merantau ke Semarang
dan kemudian menetap di Solo hingga saat ini.
Saat ini, Bapak sudah tiada.
Tetapi, berbagai kenangan selalu terbuncah. Dan begitu mendengar kata Goa Lawa,
saya selalu teringat kepada beliau. Bukan saja menciptakan lagu tersebut,
konon, tahun 1978, ketika Goa Lawa baru dibuka, Bapak juga ikut aktif terlibat.
Ya, Goa Lawa sendiri bukan tempat
asing bagi saya. Sebagai puteri asli kelahiran Purbalingga, saya sangat
mengenal sudut-sudut gua dengan cukup familiar. Terlebih, rumah orang tua saya
hanya berjarak sekitar 7 KM dari Goa Lawa jika melalui jalan raya, atau hanya
sekitar 3 atau 4 KM jika melalui jalan tembus yang biasa dipakai sebagai medan hiking
atau trekking. Di jalur tembus ini, saya memiliki banyak kenangan
yang tak terlupakan, karena begitu seringnya melewati jalan tersebut.
Ingatan tentang Goa Lawa semakin terekam
kuat di memori, karena ketika SMP, saya bahkan pernah mengalami ajang
“penguatan fisik-mental” saat mengikuti perkemahan selama tiga hari di kawasan Gua
Lawa. Malam hari, dalam kondisi yang sangat dingin, kami diharuskan mengikuti
jurit malam menyusuri lokasi gua yang gelap dan lembab, karena saat itu sedang
musim hujan. Pengalaman yang saya kenang hingga saat ini.
Keajaiban Gua Vulkanik
Goa Lawa, bisa jadi merupakan
keajaiban yang belum terlalu dikenal. Kebanyakan gua di Indonesia adalah tipe
gua kapur alias gua karst. Gua bertipe vulkanik, alias lava tube, hanya
ada di dua tempat di Indonesia, yaitu Purbalingga dan Bali. Gua lava terbentuk
karena aktivitas lava yang berasal dari gunung berapi. Lava itu mengalami pendinginan
hingga jutaan tahun, membentuk bebatuan tipe andesit basaltic yang sangat keras
dan berwarna hitam. Pada gua lava, tidak ada stalaktit maupun stalakmit.
Namun begitu, tidak berarti gua
lava itu tidak menarik, karena biasanya memiliki lorong-lorong yang unik,
berkelak-kelok dan juga merupakan mata air. Begitu juga Gua Lawa. Kita akan
melewati berbagai sendang dengan air yang sangat jernih di dalamnya. Fresh dan
segar, itu jelas. Saat keluar dari gua, biasanya tubuh kita akan separuh basah,
karena air juga menetes dari sela-sela bebatuan, sebagian membasahi kita.
Tetapi, justru disitulah letak keseruannya saat menjelajahi gua ini.
Saat hati kita sedang suntuk dan
jenuh, kendarailah mobil atau motor Anda (tersedia juga banyak angkutan umum), menyusuri
jalur Purbalingga-Pemalang. Saat di Karangreja, berbeloklah ke barat menuju
desa Siwarak, tempat obyek wisata ini berlokasi. Di area wisata seluas 11
hektar itu, kita akan disambut pemandangan alam yang sangat indah. Pohon-pohon
Pinus berjajar rapi, lapangan dengan rumput hijau yang segar, serta aneka
tanaman hias sangat memanjakan mata kita. Belum lagi pemandangan Gunung Slamet
dan Gunung Kelir yang terlihat begitu megah. Di ketinggian sekitar 900 M dpl, udara
sejuk seakan membekukan jiwa yang panas dan gersang.
Gua Lawa sendiri terletak di
bagian tengah. Untuk memasuki gua ini, kita harus menuruni tangga yang
terplester semen rapi. Nanti kita akan disambut dengan pintu gua yang pertama.
Awalnya ruangan cukup lebar, dengan aneka bebatuan yang membentuk dekorasi
menawan. Lalu, kita menyusuri lorong
dengan jalan selebar sekitar 1 meter. Di sepanjang lorong, kita akan
menyaksikan dan mendengar suara air yang bergericik di sela-sela bebatuan. Nuansa
begitu senyap, lengang… dan suci.
Pintu masuk gua. Foto: http://promojateng-pemprovjateng.com/ |
Karena jalur dibuat searah, kita
tidak akan takut bertabrakan dengan pengunjung lain. Demikian juga, jangan
khawatir terjebak kegelapan, karena ada lampu di mana-mana. Namun, bisa dibayangkan
jika mendadak mati lampu. Kita seperti berada di dalam sebuah kegelapan abadi.
Takut kehabisan udara segar?
Jangan khawatir! Di atas gua, dalam jarak tertentu, terdapat lobang-lobang
ukuran besar yang selain menjadi salah satu sumber cahaya, di mana sinar
matahari samar-samar memasuki sebagian tempat dari gua, juga menjadi semacam
ventilasi.
Panjang gua yang harus kita
tempuh sekitar 1,5 KM. Jadi, kita memang harus punya fisik yang bugar.
Terlebih, dari tempat parkir mobil hingga menuju gua, kita juga harus berjalan
kaki sekitar beberapa ratus meter. Tapi, karena sepanjang gua kita dimanjakan
dengan aneka keindahan, 1,5 KM itu seakan begitu pendek. Saran saya, jangan
tergesa-gesa. Nikmatilah setiap lekuk gua dengan seksama. Ada berbagai lokasi di
dalam gua yang memiliki nama spesifik, biasanya disesuaikan dengan kondisi gua.
Misal Gua Batu Semar, Gua Waringin Seto, Gua Dada Lawa, Gua Musium Batu, Gua
Rahayu, Gua Batu Keris, Gua Cepet (bacanya seperti kita ngomong ‘kepepet’) dan
Gua Ratu Ayu.
Suasana dalam gua. Kita akan menyusuri lorong-lorong sempit dengan jalan setapak dan tangga-tangga. Foto koleksi Estining Pamungkas. |
Di Gua Dada Lawa misalnya, luar
biasa… karena kita akan menyaksikan langit-langit gua memang membentuk
kelelawar (lawa artinya kelelawar) raksasa. Saya membayangkan zaman dahulu,
saat proses pembentukan gua, ada seekor lawa raksasa terperangkap cairan lava,
sehingga menjadi semacam cetakan gua. Benar atau tidak, tentu butuh penelitian
tersendiri. Dan benarkah ada kelelawar sebesar itu? Demikian juga di Gua Batu Semar, kita juga
bisa melihat batu yang secara alami, tanpa rekayasa apapun, mirip sekali dengan
ujud tokoh Semar.
Gua Dada Lawa Foto: http://promojateng-pemprovjateng.com/ |
Ada juga Sendang Drajat dan
Pancuran Slamet yang dipercaya sering menjadi tempat pertemuan para walisongo
saat menyebarkan ajaran agama Islam. Tetapi, saya kurang yakin dengan cerita
itu. Sebab, Gua Lawa sendiri baru dibuka tahun tahun 1978, dan kemudian
dijadikan objek wisata oleh Pemkab Purbalingga. Tahun tersebut tentu saja saya
belum lahir. Akan tetapi, saat itu, bapak saya juga termasuk salah seorang yang
ikut membuka gua tersebut.
Oya, ada juga Gua Cepet (huruf
e-nya seperti ketika kita mengucap kata nekad). Cepet dalam tradisi orang
Purbalingga adalah sejenis hantu seperti genderuwo, yang wajahnya sangat
menakutkan. Saat karnaval 17 Agustusan dahulu, ketika bocah, sering ada orang
yang berkostum sebagai Hantu Cepet. Dan dia sering menakut-nakuti barisan
anak-anak SD dan TK sehingga barisan menjadi berantakan karena anak-anak lari
ketakutan, hehe. Disebut Gua Cepet, mungkin karena di Gua itu ada Cepet-nya.
Betulkah begitu, saya belum pernah membuktikan. Dan sepertinya tak perlu berusaha
membuktikan. Meski saya termasuk pemberani, kalau tiba-tiba berhadapan dengan
hantu, tentu saya akan ngacir ketakutan. Jangan khawatir, meski sudah dibuka
untuk umum, Gua Cepet tidak termasuk dalam lintasan sepanjang 1,5 KM yang saya
sebutkan di atas. Anda boleh masuk ke dalam, tetapi tidak wajib.
Gua Lorong Kereta
Sahabat saya, Estining Pamungkas, di Goa Lorong Kereta |
Gua Lorong Kereta memang baru-baru
saja dieksplorasi. Berbeda dengan Gua Lawa, gua Lorong Kereta, yang berada
dalam satu komplek, ditujukan untuk wisatawan dengan minat khusus, seperti para
pegiat susur gua (caving). Meski panjanganya hanya sekitar 300 meter,
untuk menyusuri gua ini, benar-benar dibutuhkan nyali. Tantangan terbesar muncul dari lorong yang
sangat sempit, sehingga pengunjung harus jongkok, bahkan merangkak untuk
melewatinya. Ini belum termasuk kubangan lumpur yang akan membuat tubuh
pengunjung belepotan. Tetapi, kegiatan ini ternyata sangat mengasyikkan.
Untuk menyusuri Gua Lorong
Kereta, pengunjung harus memakai peralatan standard di antaranya helm dan headlamp.
Demikian juga, jumlah pengunjung dibatasi hanya 15 orang per caving.
Kegiatan caving mungkin
akan terus berkembang, karena berdasarkan cerita dari orang-orang yang tinggal
di daerah Siwarak, sebenarnya Goa Lawa masih memiliki banyak lorong yang belum
tereksplorasi hingga kini. Cerita ini perlu dibuktikan dengan usaha eksplorasi
dari berbagai pihak terkait.
Pengembangan Goa Lawa Ke Depan
Seperti saya sebut di atas, Goa
Lawa memiliki keistimewaan yang berbeda dengan gua-gua lain di negeri ini pada
umumnya. Goa Lawa terbentuk karena aktivitas vulkanologi, berupa aliran lava
yang kemudian membeku dan mengeras setelah mengalami pendinginan berjuta-juta
tahun. Dekorasi geologi gua ini berbeda dengan gua-gua lainnya, di antaranya
batuan yang menyusun adalah tipe andesit basaltik, dan tidak terdapat stalaktit
maupun stalakmit.
Karena unik, Goa Lawa semestinya
bisa dirancang lebih dari sekadar objek wisata konvensional, tetapi juga
menjadi wisata ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Geologi alias geowisata. Menurut
Samsuridjal dan Kaelany (1997 : 20-21), daya tarik wisata bisa dilakukan dengan
analisis 4 A, yaitu Atraksi Wisata, Aksesibilitas (kemudahan akses), Amenitas
(ketersediaan akomodasi seperti penginapan, rumah makan dan sebagainya) dan
Aktivitas. Jika Goa Lawa hendak difokuskan sebagai Geowisata, pihak terkait
bisa membangun berbagai sentra pembelajaran geologi, misal teater untuk memutar
film-film geologi, museum geologi (khususnya geologi lava tube) dan
sebagainya.
Objek wisata Goa Lawa juga masih
berpotensi untuk dikembangkan lagi, menjadi semacam geopark, karena lokasi
sekitar Goa Lawa ternyata sangat indah. Jalur Tembus Tlahab Lor-Siwarak, bisa
diperindah dan dijadikan sebagai medan trekking dan dilengkapi berbagai
falisitas para pecinta alam. Kegiatan wisata adventure yang sekarang
sedang ngetren bisa ditambahkan, misal flying fox, skylift
(kereta gantung) atau tubing di sepanjang aliran sungai Curug Silintang
atau sungai-sungai yang berada di jalur tembus tersebut.
Dari segi aksesibilitas, jalan
darat tidaklah bermasalah, karena teraspal dengan mulus, demikian juga sarana
transportasinya. Akan tetapi, kelemahan objek-objek wisata di daerah eks
Karesidenan Banyumas termasuk Purbalingga adalah tidak adanya bandara. Dari Jakarta menuju Purbalingga
dibutuhkan waktu sekitar 8-10 jam, dari
Surabaya sekitar 12-14 jam. Bandara terdekat ada di Yogya (5 jam), Solo (7 jam)
atau Semarang (6 jam). Panjangnya perjalanan yang harus ditempuh, tentu membatasi aksesibilitas.
Saya pernah mendengar bahwa lapangan terbang Wirasaba, Purbalingga yang saat ini hanya digunakan AURI akan dikembangkan sebagai bandara komersil. Semoga saya tidak salah dengar. Demi terangkatnya pariwisata di Jateng bagian barat, saya kira pembukaan Bandara di sekitar situ tak berlebihan. Selain Goa Lawa, Jateng Barat menyimpan begitu banyak objek wisata yang mengagumkan.
Demikian juga permasalah amenitas dan aktivitas, sepertinya Goa Lawa masih perlu berbenah. Hotel dan penginapan perlu dibangun lebih banyak lagi, juga sarana-sarana pendukung lain, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal dan citra daerah tersebut yang religius. Pengembangan potensi objek wisata ini, masih sangat menantang.
Saya pernah mendengar bahwa lapangan terbang Wirasaba, Purbalingga yang saat ini hanya digunakan AURI akan dikembangkan sebagai bandara komersil. Semoga saya tidak salah dengar. Demi terangkatnya pariwisata di Jateng bagian barat, saya kira pembukaan Bandara di sekitar situ tak berlebihan. Selain Goa Lawa, Jateng Barat menyimpan begitu banyak objek wisata yang mengagumkan.
Demikian juga permasalah amenitas dan aktivitas, sepertinya Goa Lawa masih perlu berbenah. Hotel dan penginapan perlu dibangun lebih banyak lagi, juga sarana-sarana pendukung lain, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal dan citra daerah tersebut yang religius. Pengembangan potensi objek wisata ini, masih sangat menantang.
Semoga suatu saat, ketika saya
menjejakkan kaki kembali di objek wisata ini, saya menemukan sebuah lompatan
yang radikal, yang mampu membuka selubung Goa Lawa sebagai berlian yang masih
separuh tersembunyi. Lalu, seakan-akan saya melihat Bapak sedang berdendang,
menyanyikan lagu yang dia ciptakan sebagai ujud ketulusan dan kecintaan yang
mendalam terhadap Goa Lawa.
Kaendahan Gua Lawa, Kanugrahan
Maha Agung
Ayo-ayo pada dilestareke, obyek
wisata Kutha Purbalingga
_________________________________________________________________________________
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah (www.twitter.com/visitjawatengah)
7 komentar untuk "Goa Lawa dan Suatu Hari Bersama Bapak"
Sekalian ke Owabong dan Baturaden
Semoga ada pihak berwenang membaca komen ini
Kata orang2 di sekitar situ sih, katanya iya.
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!