Om Telolet Om, Kisah Konyol Dalam Bus
Om Telolet Om lagi ngetren di media sosial! Awalnya sih saya
bingung. Beberapa hari, karena kesibukan yang bertumpuk-tumpuk (jiaaah), saya
tidak sempat buka media sosial. Begitu buka Twitter, ada trending topic #OmTeloletOm.
Kening saya berkerut. Apa-apaan ini? Kok aneh banget hashtag-nya. Lucu, iya.
Tapi karena nggak ngerti artinya, saya pun mencoba klik hashtag tersebut, ealah…
ternyata suara klakson bus. Beberapa tayangan di youtube saya amati, yang bikin
tertawa ngakak justru video Pak Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Hm, mungkin
bagi yang tidak merasakan sendiri bagaimana berburu klakson, dan kemudian
disambut suara klakson dan sang driver, ber-telolet ria menjadi sesuatu
yang aneh. Ber-telolet kudu dirasakan, dan mungkin butuh perjuangan, baru
rasanya hip-hop.
Nah, biar kekinian, saya juga mau posting soal telolet. Tapi
bukan tentang klakson bus, melainkan beberapa kisah konyol saya saat naik bus.
Ya, dahulu saya hobi sekali naik bus. Pun busnya bukan bus AC. Kendaraan
ekonomi ala rakyat jelata. Maklum, saya kan mahasiswa ‘proletar’. Sebagai
perantau, saya menikmati bus minimal sebulan sekali, waktu pulang kampung dari
Semarang menuju Purbalingga. Ketika dompet saya mulai agak tebal karena bisa kerja
di akhir masa kuliah—plus dapat honor dan royalty menulis buku, saya tetap
memilih bus sebagai sarana transportasi. Hm, sebenarnya sih, memang karena
hanya bus transportasi yang paling gampang diakses untuk menempuh jarak
Semarang-Purbalingga.
Selain itu, sejak kecil, saya juga sering bepergian ke
Jakarta karena ada banyak family saya tinggal di sana. Kalau liburan, saya suka
main ke Jakarta. Pulangnya bawa banyak oleh-oleh dan uang saku, hehe.
Nah, ini beberapa pengalaman konyol saya waktu naik bus….
Suatu ketika, saya dan beberapa kenalan (karena kisahnya
agak ‘memalukan’ saya merahasiakan rombongan saya ya…), pergi ke Jakarta naik
bus Sinar Jaya. Dari Bobotsari sore hari, menempuh perjalanan malam, dan
biasanya subuh akan sampai di terminal Pulogadung. Payahnya, saat sampai di Tol
Cikampek, salah seorang anggota rombongan (bukan saya, sueeer!!!) kebelet
pipis.
“Ditahan yaa…,” ujar salah seorang di antara kami yang sudah
dewasa.
“Aduuuh, nggak bisa. Kebelet sekali!” rintih doski.
Kami kebingungan. Namanya bus ekonomi, jelas tidak ada
toilet. Minim fasilitas.
“Duh pipis di mana dong? Kan bus nggak bisa berhenti.”
Tiba-tiba saya punya akal. “Ini, pipis di sini!” saya meraih
satu botol bekas air mineral. Si doski melotot.
“Apaa? Pipis di botol?”
“Ya, gimana lagi?”
Dan… akhirnya, Saudara-saudara… si doski pun melakukan saran
saya. Hm, saya berdoa agar doski tidak membaca tulisan ini. Jika tidak, mungkin
saya akan diceburkan ke paceran, hehe.
Ya, namanya juga bocah, ya… sering begitu. Yang dewasa juga
kadang gitu, kok.
Naik bus, memang sebuah perjalanan yang unik. Apalagi bus
yang penyak-penyok di sana-sini, dengan mesin yang mungkin sudah jauh dari
sempurna. Apa yang terpikir di benak Anda ketika menaiki bus yang melewati
jalan yang turun naik dan berkelak-kelok, dan ternyata Anda tahu bahwa rem bus
tersebut blong? Nah, saya pernah mengalami itu. Ada satu bus yang saya tak tega
sebut merek, membawa saya dari kota Solo ke Purwodadi. Awalnya bus ngebut.
Namun, tiba-tiba berubah menjadi pelan dan pelaaaan sekali. Ini kenapa, si bus?
Pikir saya, gelisah. Pasalnya, saya sudah ditunggu oleh beberapa teman di Purwodadi.
Saat itu hendak mengisi pelatihan kepenulisan di sana.
Sampai dekat kota, bus berhenti di sebuah bengkel, dan
kondektur berkata, “Maaf, tadi remnya blong!”
Saya dan para penumpang melongo. Kian melongo ketika begitu
sampai di Purwodadi dan bertemu seorang teman, dia berkata, “Kejadian yang saya
alami lebih mengerikan lagi, saat itu saya naik bus itu (mereknya sama) di
malam hari. Dan sepanjang jalan, bus tidak menyalakan lampu karena mati.”
Olala! Solo-Purwodadi, berjarak puluhan kilometer, dengan
jalan melewati pegunungan, ditempuh dengan bus yang lampu depannya mati?
Kejadian konyol lain di bus adalah ketika saya salah kasih
bayaran. Saat itu, saya capek sekali, setelah beraktivitas berhari-hari di
organisasi kampus. Saya pun harus berlari-lari mengejar bus, berebut tempat
duduk. Maka, begitu dapat tempat duduk, saya langsung mengantuk. Saat itu,
serombongan pengamen sedang beraksi di bus. BTW, pengamen-pengamen di bus
antarkota saat itu keren-keren, lho. Mereka biasa ngamen ‘serius’ dengan
peralatan yang lengkap: gitar, kencrung dan kendang. Suara pun merdu mengalun.
Mereka menyanyikan banyak lagu, membuat kantuk kian kencang menyergap.
Saat saya nyaris tidur, seseorang mencolek bahu saya. Reflek
saya bangun dan meraba saku tas ransel saya, mengambil selembar uang dua puluhan
ribu yang saya siapkan dan menyodorkan kepada si pencolek. Tak tahunya, si
pencolek menolak. “Maaf, saya bukan kondektur.” Hastagaaa… ternyata saya hampir
saja menyerahkan amunisi saya yang tak seberapa itu kepada pengamen. Jujur juga
ya, ternyata mereka. Sambil nyengir, saya kantongi kembali uang saya tersebut,
dan sebagai ganti, saya cari sekeping uang receh yang mereka terima dengan
senyum dikulum.
Tak selalu saya mengantuk di bus. Sering juga menikmati
perjalanan dengan memandang kanan kiri, atau ngobrol dengan penumpang lainnya.
Sok kenal sok akrab. Nah, pada suatu hari, saya bertemu dengan penumpang yang
tampak asyik dengan bacaannya. Dari tampilan buku yang dia baca, saya langsung
kenal, buku anak FLP. Saya lirik tampilannya, seperti mahasiswa sekolah tinggi
kejuruan, mungkin keperawatan. Still yakin bahwa dia lebih muda dari saya yang
saat itu sudah lulus kuliah dan bekerja di sebuah penerbit, saya menyapanya.
“Suka
baca buku ya, dik?”
“Oh, suka sekali,” katanya sembari tersenyum.
“Suka buku-buku fiksi Islami seperti ini?” Saat itu, saya
sudah menulis sekitar selusin judul buku.
“Iya.”
“Siapa penulis favorit Adik?”
“Asma Nadia, dan… Afifah Afra.”
What?! Dia ngefans Afifah Afra? Mendadak saya galau.
Bagaimana kalau dia memandang bahwa Afifah Afra itu sangat hebat dan keren?
Dan, bagaimana jika dia tahu bahwa gadis kucel yang ada di sampingnya saat itu
adalah penulis favoritnya? Nah, karena memilih menjaga rasa bangga dan
ngefansnya, saya pun memutuskan tidak mengaku kepadanya.
Hm, konyol ya, cerita-cerita dalam bus? Tidak selalu. Saya
juga pernah punya cerita romantis. Pertama kali bersandar di bahu lelaki,
terjadi di bus. Ops, lelaki itu tak lain suami saya sendiri. Nuansanya mirip
dengan Nania yang takut petir kemudian ketika ada petir menggelegar, dia
berlari memeluk suaminya, Rafli—di film “Cinta Laki-Laki Biasa.” Hanya saja,
yang saya alami adalah peristiwa di bus. Saat itu, saya diantar suami berangkat
ke Jember. Kami masih pengantin baru saat itu. Naik bus jurusan Solo-Jember.
Kecepatannya mengerikan! Pernah tahu bagaimana ugal-ugalannya Bus Sum**
Kenc***? Nah, bus yang saya naiki ini lebih lagi. Berkali-kali bertemu bus SK
tadi, dan disalip tanpa ampun. WAlhasil, berangkat dari Solo jam 9 malam,
sampai Jember… SUBUH! Percayakah? Di lain kesempatan, kami naik mobil sendiri
ke Jember, dari Solo bakda asyar, sampai Jember jam 8 pagi. Berarti, si bus itu
benar-benar berjalan dengan kecepatan ngalahin torpedo!
Nah, karena takut dengan kecepatan yang sangat tinggi,
sepanjang jalan, saya merasa tegang. Namun, dalam ketakutan, sebuah lengan
terulur dan memeluk saya. Dan… lama-lama saya merasa tenang, dan bahkan
tertidur, bersandar di bahunya. Asli, ini pengalaman seru yang mungkin akan
jarang terulang. Apalagi saat ini, jika kami bepergian bersama, lebih sering
naik mobil sendiri, di mana suami pegang setir. Bagaimana mungkin bisa
bersandar di bahu sopir? Hihihi…
Eh, udah ya, cerita tentang bus. Nah, apa hubungannya dengan
Om Tolelot Om? Nggak ada! Tapi, biar tulisan saya selaras dengan judul,
baiklah, nanti kalau saya ketemu bus, saya akan bilang ke sopirnya, “Om,
Tolelot Om!” Semoga sopirnya nggak “segalak” Om Anies Baswedan, “Emang gue Om
Lo!”
2 komentar untuk "Om Telolet Om, Kisah Konyol Dalam Bus"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!