Catatan Kecil Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) 2017 #Bagian 1
Selasa, 18 Juli 2017…
Pesawat Sriwijaya Air yang saya naiki mendarat di Bandara
Soekarno Hatta tepat jam 8.00. Saya terhenyak, karena perjalanan yang saya
nikmati dengan membaca majalah terbitan maskapai penerbangan tersebut, terasa
begitu singkat. Waktu seperti dipangkas menjadi lebih pendek dari semestinya.
Setelah ambil barang bawaan, karena dalam undangan, acara Munsi
(Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia) 2017 baru akan dimulai jam 11,
sementara menurut teman-teman yang domisili di Jakarta, jarak bandara dengan
lokasi acara di Hotel Mercure Ancol paling lama hanya sejam (jika tidak macet), saya memutuskan
untuk sedikit santai. Ke kamar kecil, makan pagi di sebuah gerai makanan siap
saji yang harganya terjangkau, dan duduk sesaat sampai internetan. Menjawab
pesan-pesan yang seabrek, yang sempat terjeda sejak pagi.
Alhamdulillah, setelah mengirim 2 novel saya, “Nun, PadaSebuah Cermin” (diterbitkan Republika) dan “Mei Hwa, Sang Pelintas Zaman” (diterbitkan
Indiva), oleh Tim Kurator, saya dinyatakan lolos seleksi menuju Munsi 2017 yang
merupakan Munsi kedua, diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Ada 173 peserta yang hadir di Munsi, yang
berasal dari beberapa jalur, yaitu seleksi buku, seleksi puisi dan undangan
khusus untuk sejumlah sastrawan senior.
Awalnya saya berniat naik taksi. Namun, tulisan
"shelter bus" yang terletak hanya sepelemparan batu dari terminal 2F,
membuat saya berubah pikiran. Mending naik Damri ke terminal tanjung Priok,
lalu oper taksi ke Ancol. Merasa ide itu cukup logis dan menghemat anggaran,
saya pun tegap melangkah ke shelter. Di loket, saya membeli tiket bus Damri
jurusan Terminal Tanjung Priok, harganya Rp 40 ribu.
Sekitar setengah jam menunggu, bus pun datang. Saya bergegas
masuk menaiki bus, tentunya setelah menitipkan kopor ke bagasi. Awalnya saya
ingin membaca sepanjang bus. Tahunya malah molor. Maklum, semalam begadang
mengerjakan beberapa tugas. Paginya, bakda subuh langsung meluncur ke bandara.
Saya sempat kebingungan saat di Tanjung Priok, karena tidak
bertemu taksi yang direkomendasikan teman-teman Jakarta. Mau pesan taksi
online, dengar-dengar, kalau ordernya dari tempat-tempat macam terminal agak
sulit. Akhirnya, setelah memutari terminal, saya bertemu si burung biru. Si
bapak driver, berlogat Batak, dan memang Batak, namun ramah. Namanya Pak Aries.
Ternyata jarak yang tertera di Google Map tak salah.
Terminal TP dan Hotel Mercure Ancol cukup dekat. Namun, karena lokasi hotel ada
di tempat wisata, kena deh 25 ribu tiket masuk. Juga harus bayar biaya taksi
yang 15 ribu. Yeiiiy jadi mahal juga. Tak apa, toh transportasi dapat
ganti nanti pas reimburse.
Oleh petugas, saya ditunjuki lokasi Mercure Convention
Center yang selama 3 hari akan dibooking sebagai lokasi Munsi oleh
penyelenggara. Ternyata lokasi sudah ramai. Sebagian besar peserta sudah datang,
termasuk rekan sastrawan sesama aktivis FLP, Zainal Radar T. Saya juga bertemu
dengan rombongan dari Jawa Tengah.
"Sudah sejak pagi di sini," ujar Seruni Tri
Padmini, aktivis sastra dari Komunitas Pawon, Solo. "Naik kereta
soalnya."
Selain Seruni, saya juga disapa Yanwi Mudrikah dan Mas Eddy
Pranata PNP dari Purwokerto. Ada 19 nama dari Jawa Tengah hadir di acara
tersebut. Dalam data yang saya terima, tercatat ada beberapa nama sastrawan
Jawa Tengah, di antaranya Sosiawan Leak, Jumari HS, Dharmadi, Dyah Setyawati, Handry
TM, Teguh Supriyanto, Bambang Eka Prasetya dan sebagainya.
Tak hanya delegasi Jateng, nyaris seluruh anggota Munsi
ternyata ramah dan hangat menyambut peserta lain. Padahal, di ruang besar
tersebut terkumpul banyak senior yang namanya sudah saya kenal sejak saya bocah.
Sebutlah nama Eka Budianta, Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D. Rahman, Hasan Aspahani, Yudhistira
Massardi, Jose Rizal Manua, Isbedy Setiawan, Radhar Panca Dahana, Seno Gumira
Ajidarma, Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mahayana, Danarto, Zawawi Imron
(beliau berhalangan hadir), Naning Pranoto dan masih banyak lagi.
Ada juga “sastrawan
kontroversial”, Denny JA, tapi beliau hanya muncul sebentar. Ops, terkait dengan polemik DJA, saya memilih tidak
berkomentar, ya… sebagai sastrawan, memang beliau menerima banyak kritik. Namun
sebagai tokoh LSI, saya sebenarnya ingin banyak belajar ilmu politik kepada
beliau.
Setelah makan siang, karena pembagian kamar belum fix, saya
titipkan satu koper pakaian kepada panitia. Saya masuk ke ruang dan mengikuti
acara pembukaan. Satu yang cukup menggetarkan hati, lagu Indonesia Raya
dinyanyikan secara lengkap meliputi 3 stanza.
Begini syairnya...
Stanza 1
Indonesia Tanah Airku Tanah Tumpah Darahku
Disanalah Aku Berdiri Jadi Pandu Ibuku
Indonesia Kebangsaanku Bangsa Dan Tanah Airku
Marilah Kita Berseru Indonesia Bersatu
Hiduplah Tanahku Hiduplah Negeriku
Bangsaku Rakyatku Semuanya
Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Tanahku Negeriku yang Kucinta
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Stanza 2
Indonesia Tanah Yang Mulia Tanah Kita Yang Kaya
Disanalah Aku Berdiri Untuk Slama-lamanya
Indonesia Tanah Pusaka Pusaka kita Semuanya
Marilah kita Mendoa Indonesia Bahagia
Suburlah Tanahnya Suburlah Jiwanya
Bangsanya Rakyatnya Semuanya
Sadarlah Hatinya Sadarlah Budinya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Tanahku Negeriku Yang Kucinta
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Stanza 3
Indonesia Tanah Yang Suci Tanah Kita Yang Sakti
Disanalah Aku Berdiri Menjaga Ibu Sejati
Indonesia Tanah Berseri Tanah Yang Aku Sayangi
Marilah Kita Berjanji Indonesia Abadi
Slamatkan Rakyatnya Slamatkan Puteranya
Pulaunya Lautnya Semuanya
Majulah Negerinya Majulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Tanahku Negeriku Yang kucinta
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Saya rasa, baru kali ini saya menyanyikan lagu Indonesia
Raya dengan formasi lengkap di forum resmi. Saya memang sudah lama tahu bahwa
Indonesia Raya aslinya memiliki 3 stanza, dan pernah menyanyikan bersama
saudara-saudara saya di rumah. Bocoran sedikit, saya berasal dari keluarga
seniman yang hobi nyanyi. Ayah saya pelatih paduan suara, juga piawai bermain
gitar, biola, bas, cello dan orjen. Beliau juga pencipta lagu, meski baru skala
lokal. Orang Purbalingga mungkin tahu Langgam Sungai Klawing atau Keroncong Gua
Lawa. Ya, lagu itu ciptaan ayah saya.
Dada saya bergetar, menyanyikan Indonesia Raya dalam 3
stanza yang begitu indah dan agung. Mengherankan, syair sebagus itu mengapa tak
dinyanyikan secara lengkap? Bukankah syair yang diulang-ulang bisa merasuk
membentuk karakter? Mungkin inilah yang menyebabkan bahwa mulai Juli 2017, dalam
acara-acara resmi lagu Indonesia Raya diwajibkan untuk dinyanyikan dengan 3
stanza.
Acara pembukaan dimeriahkan pula dengan tarian adat Papua
dari TMII. Lalu, Prof. Dr. Dadang SUnendar M.Hum, selalu kepada Badan Bahasa,
memberikan sambutan sekaligus membuka acara. Dalam run down yang saya terima,
seharusnya yang membuka acara adalah Mendibud Prof. Dr. Muhadjir Effendy.
Tetapi beliau berhalangan hadir, dan akan menyempatkan untuk menemui peserta
Munsi sore hari.
Pembukaan diledakkan dengan penampilan “presiden penyair”
Indonesia, Sutardji Cazoum Bachri yang melengkingkan puisi yang menggelegar
dari mengusik-usik jiwa untuk segera bereksistensi. Beliau seperti tengah
menampar jiwa yang lama hibernasi dalam karya.
Wahai Pemuda Mana Telurmu?
Oleh Sutardji Calzoum Bachri
Apa gunanya merdeka, Kalau tak bertelur?
Apa gunanya bebas, Kalau tak menetas?
Wahai bangsaku, Wahai Pemuda
Mana telurmu?
Burung, Jika tak bertelur
Tak menetas, Sia-sia saja terbang bebas
Kepompong menetaskan kupu-kupu
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga
Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi
menetas jadi, hakikat lautan
Setelah ku pikirpikir
Manusia ternyata burung berpikir
Setelah ku renungrenung
Manusia adalah burung merenung
Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur
Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah
Wahai pemuda
Wahai Garuda
menetaslah
lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini !
Menetaslah seperti dulu
Para pemuda bertelur emas
Menetas Kau
Dalam sumpah mereka
2 komentar untuk "Catatan Kecil Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) 2017 #Bagian 1"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!