Catatan Piala Dunia #2: Brazil yang Pantang Menyerah dan Kisah Gawang dengan “11 Kiper”
Sepertinya, banyak yang kaget ketika tahu, saya menyukai sepak bola. Memang apa sih, anehnya? Saat kecil, saya
memang agak tomboy, terlebih saya punya adik cowok yang jarak usianya hanya 2
tahun, Anang namanya. Kami sangat akrab, kemana-mana berdua.
Konsekuensinya,
Anang harus ikut terlibat ketika saya bergabung dengan teman-teman cewek dan
bermain khas anak perempuan seperti masak-masakan, pasaran, main boneka dan
sebagainya. Namun, di sisi lain, saya juga harus siap bergabung dengan
teman-teman cowok Anang dan main hal-hal yang maskulin, termasuk sepak bola.
Tetapi, karena hampir semua yang bermain sepakbola adalah
cowok, saya tak cukup kuat untuk ‘gaprakan’ berebut bola. Maka saya lebih
sering menjadi kiper. Tetapi, setelah saya mulai suka main bola, saya tidak
terlalu ngefans dengan kiper, kecuali si Oliver Kahn si tembok Timnas Jerman
yang benar-benar seperti tembok—alias datar, cool dan sangar, hehehe.
Nah, itulah asal-usul mengapa saya suka sepak bola. Namun,
karena usia yang sudah mulai menua (jiaah), kesibukan yang bertumpuk, dan
berbagai alasan yang benar-benar ada atau diada-adakan, maka tak semua event
sepakbola sempat saya simak. Paling banter big match klasik macam El-Clasico,
atau Derby Manchester, minimal kalau tim besutan Mourinho tampil deh. Selain
itu, putaran final UCL, dan yang paling tak pernah ketinggalan: PIALA DUNIA.
Meski Piala Dunia 2018 tampak ‘adem-ayem’, mungkin karena
Trans TV diacak di TV kabel atau karena mendekati Pilkada serentak dan para
penggemar sepak bola banyak jadi timses, saya tetap mencoba menyimak jalannya
pertandingan, melalui paket 150rb di Indihome. Nah, salah satu pertandingan
yang menurut saya menarik adalah laga Timnas Brazil melawan Costarica yang
berlangung Jumat (24/6/2018) kemarin.
Sebagai tim yang difavoritkan menjadi juara, Brazil memasuki
lapangan dengan beban yang sangat berat. Sebab utamanya, di laga perdana, Brazil
hanya bisa bermain imbang melawan Swiss. Walhasil, dia hanya mengantungi poin
satu. Jika imbang lagi melawan Costarica, atau malah kalah, peluang Brazil untuk
melaju ke babak 16 besar sungguh semakin berat, atau malah tertutup. Jadi,
Brazil harus menang!
Itulah yang membuat Brazil terus menggebrak, menggedor
barisan lawan. Sayangnya, Costarica justru memilih bermain bertahan. Benar-benar
bertahan murni, sampai benar-benar seperti tidak minat merebut bola. Ketika para
penyerang Brazil, Neymar dan Coutinho menggiring bola di daerah pertahanan
Costarica, 4 pemain belakang berjaga-jaga menghadang Coutinho para penyerang
tanpa bermaksud merebutnya.
Sampai-sampai Rama, anak saya dengan gemas berkata, “Ini
Costarica mau main bola atau main gobak sodor sih! Masak kipernya ada lima.”
Nah, memang benar perkataan Rama. Kiper Costarica bukan
hanya Navas doang, tetapi dibantu sederet pemain belakang Costarica. Pantas
saja, serangan Brazil selalu saja kandas. Bayangkan! Selama hampir 90 menit,
Brazil selalu menyerang, dan selalu saja berhasil dibendung Navas dan para ‘asisten
kipernya’. Bagaimana tidak gemas dan bikin emosi.
Tetapi, inilah beda antara tim sekelas Jerman dengan
orang-orang kebanyakan. Saya berhubungan dengan banyak anak-anak muda yang
ingin belajar menulis, dan ternyata banyak di antara mereka yang sangat mudah
putus asa.
“Saya malas nulis, ditolak melulu.”
“Berapa kali kamu kirim tulisan?”
“Tiga kali.”
Baru tiga kali! Tetapi sudah patah arang. Ya, kita begitu
mudah frustasi. Ada juga seorang ibu yang mencoba berjualan secara online. Awal
belajar, semangat luar biasa. Tetapi, baru sebulan, dia menyerah. “Saya sudah
coba terapkan trik Anda, tapi tak ada satu pun transaksi terjadi!”
Bayangkan jika Brazil memiliki mental seperti itu, bisa-bisa
setengah permainan langsung lemah lunglai. Namun, ternyata mereka terus
menggebrak. Lihatlah statistika pertandingan ini!
Bayangkan, bagaimana gemasnya jika kita menjadi Brazil! Mereka menguasai 72% bola,
dan melakukan 10 tendangan ke gawang yang sangat berpeluang membuahkan gol. Jadi,
peluang Brazil menghasilkan goal sebenarnya mencapai 10 gol, hasil dari
permainan apik seluruh tim. Namun, semua berhasil dibendung Navas and the
ganks.
Setelah mendapat serangan bertubi-tubi dari Brazil, hampir
seluruh pemain Costarica bertahan di sekitar gawang, sampai-sampai Marcelo, bek
Brazil yang merasa kurang kerjaan, karena sama sekali tidak ada serangan balik
lawan, ikut maju dan menyerang.
Anak saya komentar, “Ini namanya 10 striker melawan 11
kiper!”
Tapi, tetap mental juga.
Brak! Neymar emosi dan membanting bola. Pemain 25 tahun ini
memang terlihat sangat emosional. Wajar, dia pemain termahal di dunia saat ini.
Harga transfernya dari Barcelona ke PSG memecahkan rekor, 60 juta Euro atau
sekitar 3,5 trilyun rupiah! Wajar jika di ajang terkeren sepakbola sejagad ini,
beban berat tersandang di bahu Neymar.
Masak kalah sama Cavani, rekannya sesama tim PSG yang saat
ini membela Uruguay? Masak kalah sama Christiano Ronaldo yang sementara ini
bersama Lukaku jadi top scorer. Masak
kalah sama si bocah Kylian Mbappe yang baru berusia 19 tahun tapi berhasil
cetak gol penentu kemenangan Perancis? Pendek kata, batin Neymar dipenuhi
kecamuk yang membuatnya nyaris meledak. Ini mungkin yang membuat ketengilan
Neymar muncul juga di laga ini.
Untung masih ada 10 pemain Brazil lainnya yang lebih
simpatik. Dan, saya sungguh bersyukur, karena setelah lebih dari 90 menit
bertarung, pada additional time +1, Countinho (bukan Neymar, horeee…) berhasil ‘pecah
telor’ dengan menjebol gawang dengan “11
kiper” yang dikomandani Navas. Goool!
Baiklah, saya juga harus hormat kepada Neymar yang berhasil
melesakkan gol kedua di 90 + 7. Meski tengil begitu, Neymar adalah pemain top
yang harus dihormati.
Tapi, secara umum, saya salut dengan daya tahan pemain
Brazil secara umum yang memang sangat luar biasa. 90 menit lebih mereka terus
menggedor dan menggedor, sampai akhirnya membuahkan hasil. Sementara, terlalu
banyak orang merasa frustasi, padahal waktu yang dimilikinya masih sangat
panjang.
Oya, teman saya, penulis asal Makassar, Mbak Marisa
Agustina, sempat komentar juga: “Juga pelajaran bagi Costarica, bahwa bertahan
itu ada batasnya.”
Ya, tentu ada batasnya. Kita tak mungkin akan menang jika
terus bertahan. Karena pertahanan terbaik adalah: MENYERANG!
17 komentar untuk "Catatan Piala Dunia #2: Brazil yang Pantang Menyerah dan Kisah Gawang dengan “11 Kiper” "
The clarity in your post is just nice and i
can assume you are an expert on this subject. Well with your permission let me to grab your RSS feed to keep updated with forthcoming post.
Thanks a million and please continue the gratifying
work.
I find this topic to be actually something that I think I would never understand.
It seems too complex and very broad for
me. I am looking forward for your next post, I'll try to get the hang of it!
wishing for blogging.
on the head. The issue is an issue that too few folks are speaking intelligently about.
I'm very happy that I came across this in my
hunt for something concerning this.
and I am inspired! Extremely useful information specially the remaining phase :)
I deal with such information a lot. I used to be looking for this particular information for a very lengthy time.
Thank you and good luck.
I'm kinda paranoid about losing everything I've worked
hard on. Any tips?
I do not understand who you are but certainly you're going to a well-known blogger should you
aren't already. Cheers!
any other web page which gives such stuff in quality?
This is the first time I frequented your web page and thus far?
I surprised with the research you made to create this
actual publish extraordinary. Wonderful process!
Any way keep up wrinting.
I've read this post and if I could I wish to suggest you some interesting things or suggestions.
Perhaps you could write next articles referring to this article.
I desire to read more things about it!
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!