Catatan Kecil Tentang RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual)
Oleh Afifah Afra
Bicara soal pro-kontra RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), saya melihat asal-muasalnya adalah perspektif dan standarisasi yang dipakai oleh pihak yang pro dan kontra. Perspektif dan standard perilaku mereka, bisa dikatakan sangat berseberangan. Misal, soal perspektif tentang keluarga.
Satu pihak menganggap bahwa keluarga merupakan aset yang sangat berharga, solusi dari berbagai permasalahan, sehingga peran keluarga perlu dikuatkan. Sedang pihak satunya, berpendapat bahwa di beberapa kasus, keluarga atau rumah tangga justru menjadi tempat yang tidak aman, sehingga perlindungan negara (hukum), perlu dibawa sampai ke rumah tangga, bahkan sampai ke ranah paling privasi: interaksi seksual antar suami istri. Sesuatu yang sebenarnya ranah paling rahasia dalam ajaran Islam. Hunna libasul lakum wa antum libasul lahunna (dia adalah pakaian bagimu, dan engkau adalah pakaian baginya.
Di sinilah akhirnya ada beberapa pertentangan yang sangat tajam. Pihak yang satu: keluarga harus diselamatkan, masalah yang muncul bisa diselesaikan asal ada kemauan. Pihak dua, untuk apa keluarga, jika akhirnya justru menyakiti dan menzalimi?
Saya ingin mengambil satu hal saja tentang perbedaan perspektif yang rawan menimbulkan masalah, yaitu tentang pasal 16, tentang perkosaan. OKE, saya sepakat 100% bahwa perkosaan adalah pidana. Saya tak akan membela seorang pemerkosa. Dan tentang perkosaan sudah diatur di Pasal 285 KUHP.
Tetapi, bagaimana jika perkosaan itu terjadi di rumah tangga, yakni suami kepada istri, atau sebaliknya? (kata teman saya, mbak Intan Savitri yang menjadi staf pengajar jurusan psikologi di Universitas Mercu Buana, itu bisa terjadi juga).
Begini bunyi pasal 16 RUU PKS tersebut.
“Perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.”
Pasal itu menjadi sorotan, karena dikaitkan dengan pasal sebelumnya, yakni pasal 11 butir (3) yang berbunyi:
“(3) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan Seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.”
Artinya, jika kemudian terjadi proses “perkosaan” dalam rumah tangga, yang dilakukan suami kepada istri, maka ini masuk dalam ranah hukum pidana. Suami bisa dilaporkan ke polisi dan dipenjara.
Hal ini akan semakin rancu, jika kita membuka bagian awal RUU ini tentang definisi KEKERASAN SEKSUAL yakni Pasal 1 ayat (1):
“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Jadi bukan hanya perkosaan, bahkan yang lebih ringan dari itu, bisa masuk ranah hukum asal masuk dalam definisi KEKERASAN SEKSUAL. Ini berarti jika suami menghina istri (barangkali karena marah), sudah masuk dalam ranah hukum.
Pada kenyataannya, kasus suami menghina istri, tidak hanya terjadi pada keluarga yang notabene berantakan. Kadang, karena luapan emosi, pada keluarga yang "baik-baik saja" seorang suami bisa saja melakukan penghinaan. Begitu pula istri terhadap suami.
Konflik dalam keluarga, adalah suatu hal yang sering terjadi. Sangat sering. Beberapa teman yang aktif sebagai konsultan keluarga, masalah konflik suami istri adalah "hidangan sehari-hari" karena saking seringnya terjadi."
Solusi dari permasalahan keluarga adalah penguatan keluarga: nasihat, mediasi, dan sejenisnya. Bukan pidana. Seorang suami yang dipenjara karena aduan istri pasti akan menyimpan dendam. Begitu sebaliknya. Bagaimana pula dengan kondisi psikologis anak-anak mereka melihat ayah dan ibu mereka bertikai dengan melipatkan penegak hukum?
Tapi kan, memang banyak suami yang sewenang-wenang? Tentu. Saya sendiri beberapa kali menemui kasus semacam itu. Tetapi, aturan dalam RUU ini tak hanya menjerat suami yang jahat. Suami shaleh juga bisa terjerat jika dia memiliki istri yang nusyuz (membangkang/tidak taat). Dan kasus suami shaleh beristri nusyuz juga tak kurang-kurang saya dapatkan. Lebih dari selusin lelaki baik yang saya kenal, punya istri yang tipenya sulit diatur dan sering membangkang serta mengendalikan suami.
Bagi pihak yang menganggap keluarga adalah solusi, ketiga hal tersebut, yakni pasal 16, pasal 11 (3), dan pasal 1 (1) menyimpan potensi yang membahayakan.
Sebagaimana kita tahu, dalam Islam, setelah terjadi akad nikah, maka melekat hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban istri adalah melayani suami dalam masalah kebutuhan biologis.
Rasulullah saw. bersabda: “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu ia tidak mau (memenuhi ajakannya) kemudian ia marah maka seorang istri itu akan dilaknat malaikat sampai pagi harinya.” (HR. Albukhari dan Muslim).
Dalam Islam, istri menolak diajak ke tempat tidur, akan dilaknat malaikat. Kecuali memang kondisi sedang sangat tidak mendukung, misal istri sakit, capek, dan sebagainya.
Istri tidak taat kepada suami, merupakan kategori nusyuz. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).
Terkait dengan nusyuz ini Allah berfirman, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Bagi pihak yang mengkritis RUU PKS ini, tiga poin di atas terasa kontradiktif dengan beberapa nash dalam Al-Quran, khususnya pada kasus tertentu yang terjadi pada sebuah keluarga yang sebenarnya punya potensi harmonis, namun mungkin sedang mengalami semacam turbulensi kehidupan.
Sangat mungkin ada kejadian seorang suami shaleh yang istrinya menolak melayani menjadi marah, mencoba menasihati istrinya, lalu keluar kata sedikit kasar, dan itu menjadi salah satu delik aduan. Memang benar, suami itu tetap salah. Tetapi solusinya bukan penjara. Terlalu jauh. Tak akan menyelesaikan masalah, justru bikin bubrah. Masih ada ruang-ruang di mana sesuatu bisa dimaafkan.
Maka, jangan sampai pasal-pasal dalam RUU ini justru menjadi pasal karet yang justru menjadi alat konstitusi untuk menghancurkan keutuhan keluarga.
Kalaupun RUU ini tetap mau disahkan, buatlah batasan-batasan yang tegas, mana itu kejahatan seksual, dan mana hal-hal yang sebenarnya hanya merupakan luapan emosi sesaat. Renungkan kembali kemungkinan tafsir-tafsir berbahaya atas beberapa pasal yang menyimpan potensi disalahgunakan. Pembahasan saya ini baru satu hal saja, yakni interaksi seksual antara suami dengan istri. Konon, menurut beberapa teman yang mengkaji RUU ini dengan mendalam, masih ada beberapa pasal lagi yang berpotensi jadi masalah.
Jangan sampai RUU ini nanti jadi semacam UU ITE yang sudah banyak menelan korban. Misal, hanya karena 3 cuitan, kena penjara 1,5 tahun.
Wallahu a'lam.
Ilustrasi: ssc.wisc.edu
3 komentar untuk "Catatan Kecil Tentang RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual)"
Kasus perkosaan saat ini benar2 tidak ada payung hukum dan tindakan tegas, dan juga beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan lainnya.
Artinya pengesahan RUU PKS ini dalam taraf yang mendesak.
Apakah keterdesakan itu masih juga harus menimbang "kemungkinan suami baik juga terjerat" dibandingkan korban kekerasan terhadap perempuan yang sampai sekarang tidak juga ada payung hukum? terimakasih
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!