Piagam Jakarta dan Tujuh Kata yang Dihapus, Ada Apa Di Balik Itu Semua?
Sidang PPKI 18 Agustus 1945 (foto diambil dari kompas.com) |
18 Agustus 1945 ...
Syahdan, Kaum Muslimin yang mengikuti jalannya sidang PPKI kaget bukan main. Mereka terkejut, karena apa yang telah mereka perjuangkan susah payah ternyata berujung kegagalan. Tujuh kata dalam sila pertama Pancasila, yang sejak 22 Juni 1945 menyatu di Piagam Jakarta itu dihapus.
Dalam Pembukaan UUD 1945 yang awalnya bernama Piagam Jakarta, tujuh kata itu “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" resmi dicoret, karena dianggap tidak sesuai dengan pluralisme dalam negara ini.
Apa sebenarnya yang dikhawatirkan Umat Islam dengan dicoretnya 7 kata tersebut? Mengapa mereka begitu kuat memperjuangkan dan merasa sangat kaget dengan pencoretan tersebut?
Betulkah 7 kata itu merupakan bentuk egoisme kaum Muslimin dan pemaksaan kehendak kepada umat agama lain? Sama sekali tidak! Menurut Adian Husaini (2015), sejatinya mereka mengkhawatirkan bahwa penghapusan tujuh kata itu menyebabkan status Republik Indonesia menjadi sekuler dan tak masuk kategori Darussalam. Secara syariat status sekuler ini memiliki implikasi serius. Bahkan sangat serius!
Masih bingung? Jadi begini, menurut sebagian para ulama, agar membela negara dihukumi sebagai jihad fiisabilillah, maka negara yang dibela harus termasuk dalam kategori Darussalam, yakni negara yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai dalam hukum yang berlaku.
Masih bingung? Jadi begini, menurut sebagian para ulama, agar membela negara dihukumi sebagai jihad fiisabilillah, maka negara yang dibela harus termasuk dalam kategori Darussalam, yakni negara yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai dalam hukum yang berlaku.
Para tokoh umat Islam pada masa itu tahu belaka, bahwa pasca proklamasi 17 Agustus 1945, bayi RI tengah diincar untuk dicaplok kembali oleh buaya Sekutu. Belanda pasti tak akan rela jika negara yang telah berabad-abad menyumbang begitu banyak kemakmuran untuk negerinya, bangkit menjadi negara merdeka.
Jadi, RI harus dipertahankan dengan taruhan nyawa. Masalahnya, siapa yang mau mati konyol melawan musuh? Adakah jaminan bahwa ketika wafat membela RI yang sekuler, maka kematian itu dikategorikan sebagai syahid fii sabilillah? Status negara sekuler, dikhawatirkan melemahkan dan membuat kaum muslimin enggan berjuang hingga titik darah penghabisan melawan penjajah.
Umat Islam bergolak. Mereka benar-benar gelisah dan gerah dengan pencoretan tersebut. Untungnya, dalam keadaan kritis, KH Hasyim Asy'ari sebagai pimpinan tertinggi Masyumi dengan cepat meredakan kegelisahan itu. Beliau keluarkan fatwa yang cukup "berani", isinya: bahwa meski tujuh kata itu dihapus, membela RI termasuk dalam jihad fiisabilillah. Nyatanya, dalam konstitusi kita yang masih berlaku saat ini, disebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti negara Indonesia bukanlah negara sekuler, meski bukan juga negara agama (teokrasi).
Sepertinya beliau berpendapat bahwa pancasila, meski tanpa tujuh kata itu, telah menjadi semacam Piagam Madinah yang menjadi titik pertemuan berbagai agama yang berbeda. Resolusi Jihad pun dikumandangkan pada 22 Oktober 1945. Umat Islam pun melakukan proses mobilisasi luar biasa untuk berperang melawan sekutu.
Tanggal dikeluarkannya resolusi jihad ini kemudian ditetapkan sebagai hari santri. Awalnya, hari santri akan ditetapkan pada setiap 1 Muharram, tetapi beberapa tokoh, di antaranya Dr. Hidayat Nur Wahid, mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk menetapkan hari santri pada 22 Oktober. Baca sumbernya di SINI.
Ijtihad Kyai Hasyim terbukti tepat. Semangat kaum muslimin untuk berjuang membela kemerdekaan RI kembali membara. Pada tanggal 10 November 1945, Surabaya dibombardir oleh tentara Sekutu yang diboncengi oleh Belanda. Para santri pun turun berperang, bersama elemen-elemen lain. Pekikan takbir dari Bung Tomo, menggerakkan hati para santri untuk bertempur hingga titik darah penghabisan.
Ya, proklamasi 17 Agustus 1945 yang menjadi awal lahirnya RI memang salah satu momen sangat penting bagi negara ini. Tetapi resolusi jihad KH Hasyim Asy'ari juga menyumbang peran besar. Bangsa ini, yang sebagian besar didukung kaum muslimin, dengan sangat heroik telah memberikan nyawa untuk tetap tegaknya RI.
Bung Karno dan Bung Hatta bisa jadi merupakan sosok yang sangat penting dalam lahirnya negeri ini. Tetapi, Para ulama, dalam hal ini di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy'ari yang juga pendiri Ormas Nahdlatul Ulama, juga merupakan sosok tak kalah penting, karena memiliki andil dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut.
Jadi, sekali lagi, tujuh kata itu sama sekali bukan bentuk egoisme umat Islam. Bukan pula bahwa umat Islam merasa telah menjadi superior dengan meniadakan agama-agama lain di negeri ini. Tujuh kata itu adalah jaminan atas komitmen mereka untuk totalitas membela RI, bahkan ketika nyawa menjadi taruhan. Mereka ingin, ketika mati, matinya dinilai sebagai mati syahid.
Wallahu a'lam.
6 komentar untuk "Piagam Jakarta dan Tujuh Kata yang Dihapus, Ada Apa Di Balik Itu Semua?"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!