Saya Bangga, Anak Saya Memilih Jurusan IPS
Sekitar dua setengah dekade yang lalu, saya pernah menjadi sosok
yang bingung saat memutuskan apa jurusan yang harus saya pilih saat SMA.
Sebenarnya, sudah sangat jelas passion saya saat itu.
Menulis, organisasi,
debat, aksi-aksi sosial dan sebagainya. Nilai Matematika dan IPA saya sebenarnya lumayan. Meski tidak sampai sempurna, tapi selalu di atas 8. Namun, saya selalu merasakan
getar yang asyik saat belajar sejarah ataupun geografi. Harusnya saya masuk
IPS, lalu kuliah masuk ke jurusan yang pas, misal Fakultas Sastra, FISIP atau psikologi.
Meski sudah sangat terang benderang, entah mengapa, saya
tidak memiliki keberanian untuk memutuskan. Saya goyah, ketika guru-guru saya
menyarankan saya masuk IPA saja.
Makin tak punya sikap, ketika keluarga di rumah,
khususnya saudara-saudara saya pun cenderung mengarahkan saya kepada IPA.
Bertanya kepada bapak dan ibu, jawabnya, “Apa yang kamu suka, pilih saja!”
Tetapi, ibarat seorang kekasih yang tak berani nembak
seseorang, saya membiarkan cinta itu berantakan. Saya pun memilih IPA. Dan
akhirnya, tahu sendiri... usai lulus SMA, dan kemudian kuliah di jurusan
Biologi, saya kembali menemukan cinta pertama, berkecimpung di dunia literasi,
aktif di berbagai organisasi, dan begitu semangat melakukan kegiatan-kegiatan
sosial. Buku-buku koleksi saya pun 80% adalah buku sejarah, ekonomi, sosial,
budaya, politik, juga keagamaan.
Karena itu, ketika suatu hari anak saya yang sulung,
Syahidah D Nissa (panggilannya Anis), memutuskan memilih IPS, saya agak
terperangah. Antara kaget, takjub dan juga perasaan WOW.
Jadi, begini
ceritanya. Suatu hari, ketika berkunjung di sekolah Anis (dia mondok di Ponpes
Tahfidzul Quran Ibnu Abbas, Klaten), dia mengabari saya bahwa sudah ada
Penerimaan Siswa Baru (PSB) internal, dari SMPIT (Sekolah Menengah Pertama Islam
Terpadu) ke SMAIT (Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu) Ibnu Abbas.
Setelah diskusi dengan saya dan juga abinya, Anis memutuskan
lanjut ke SMAIT Ibnu Abbas, masih dalam satu kompleks di pondok tersebut.
Tetapi, pada saat itu belum terlalu jelas pembahasan IPA atau IPS. Saya bahkan
tidak tahu, bahwa keputusan masuk kelas IPA atau IPS ternyata sudah dimulai
sejak pendaftaran.
Maka, saat pengumuman siswa yang diterima, saya kaget,
melihat nama Anis ternyata masuk di kelas IPA.
Saya kaget, karena Anis ternyata memiliki kemampuan decision making yang lebih kuat daripada
saya saat seumuran dengannya dulu. Meski zaman sudah berubah, label bahwa IPA
lebih keren dari IPS, sampai sekarang masih ada, kan?
Beberapa tahun yang lalu, ada seorang bapak yang berantem
hebat dengan anaknya, gara-gara anaknya tidak mau masuk IPA, dia memilih IPS.
Padahal sang bapak yang sukses dalam karirnya itu, sangat ingin anaknya jadi dokter.
Secara kapasitas, si anak juga mumpuni. Dia bahkan peraih nilai UN tertinggi
saat SMP di kota saya. Setelah sempat menjalani konflik yang berat, si anak pun
terpaksa menurut apa kata si bapak, masuk IPA.
Bagaimana dengan Anis? Nilai-nilai Anis di bidang IPA
sebenarnya tak buruk, meski juga tak terlalu cemerlang. Jika dipaksa memilih
IPA—atas nama gengsi—mungkin dia bisa mengikuti. Apalagi, dia juga hidup di
lingkungan orang-orang IPA, seperti abinya yang dokter, dan saya yang pernah
belajar IPA, meski saat ini saya mendua belajar manajemen juga.
Tetapi, “Aku senang banget jika bicara soal negara-negara.
Kemarin aku belajar tentang Jepang, semua tentang Jepang aku catat. Rasanya
seru sekali!”
“Besok pas besar, aku ingin sekali traveling keliling dunia,
lalu mencatat semua yang aku lihat. Aku ingin jadi jilbab traveller,” dia
mengutip salah satu judul novel karya Mbak Asma Nadia.
Dari luapan ceritanya, saya tahu betul apa passion dari dia. Dan saya merasa iri, karena
ternyata anak saya itu berani mengambil keputusan yang cukup besar dalam
hidupnya. Dia tegas, memilih IPS, meski dengan demikian, jalan untuk menekuni
jurusan IPA jelas sudah tertutup. Di negeri ini, anak IPS tidak boleh kuliah di
jurusan IPA, kecuali hanya sedikit jurusan yang sangat terbatas. Sementara,
anak IPA masih bisa memilih jurusan IPS.
Itulah yang menjadi alasan bagi kebanyakan anak untuk tetap
memilih IPA saat SMA. “Kan nanti masih ada kesempatan saat kuliah, bisa ambil
jurusan IPS.”
Mungkin ada benarnya. Ada juga yang mengatakan, bahwa ketika
orang terbiasa dengan pola anak IPA, maka saat dia memilih IPS, dia sudah
terbiasa hidup dengan teratur dan disiplin (memangnya keteraturan dan
kedisiplinan merupakan karakter ilmu tertentu? Nggak juga kan?).
Tetapi menurut saya, fokus itu penting. Kalau memang kita
lebih senang menimba ilmu di jurusan tertentu, mengapa kita harus menghabiskan
waktu untuk mempelajari apa yang bukan bakat kita?
Jadi, selamat ya, Anis... kamu sudah memilih. Apapun
pilihanmu, kamu harus konsisten dan bertanggung jawab dengan pilihanmu itu.
14 komentar untuk "Saya Bangga, Anak Saya Memilih Jurusan IPS"
Kalau Matematika, bagaimana ya cara mensastrakannya? :-D
Eh tapi, sebenarnya dalam penerjemahan juga ada eksakta-nya, ada benar-salah menafsirkan teks, tetapi dipadu dengan keluwesan berbahasa agar terjemahannya enak dibaca.
Yang keliru adalah persepsi dari sebagian orang
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!