Menulislah, Karena Menulis Adalah Tradisi Para Ulama!
Buku Sirah Nabawiyah Syekh Shafiyyurahman Al Mubarakfury, salah satu karya legendaris |
Pada sebuah pertemuan yang dihadiri para penerbit dan difasilitasi oleh Toko Buku Gramedia, saya mendapatkan data yang menarik. Keterserapan buku-buku agama di pasar, dalam hal ini adalah agama Islam, ternyata menduduki posisi ke-3 di seluruh jaringan toko buku Gramedia se-Indonesia. Menurut pemaparan Pak A.Y. Sudjana, pimpinan MDHO Gramedia, posisi pertama dan kedua diduduki oleh novel dan buku anak.
Banyak sekali jenis-jenis buku agama. Namun yang paling dominan tentu Al-Quran dan kitab-kitab klasik tulisan para ulama terdahulu. Beberapa jenis kitab klasik yang populer antara lain Tafsir Ibnu Katsir (baik ringkasan maupun edisi lengkap yang setebal 10 jilid), Riyadhus Shalihin, Bulughul Maraam, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Al Lu’lu wal Marjan (kumpulan hadist yang disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim), Ihya Ulumuddin dan sebagainya. Banyak sekali jumlahnya.
Jika seluruh buku yang disusun para ulama sejak berabad-abad silam diterjemahkan dan dicetak ulang, mungkin butuh perpustakaan yang ukurannya berkali-kali luas lapangan bola untuk menampungnya.
Luar biasa produktif para ulama-ulama kita dalam melahirkan buku-buku berkualitas yang terus bermanfaat sepanjang masa.
Imam Ath-Thabari, misalnya. Beliau yang bernama lengkap Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari, terkenal sebagai ulama yang sangat banyak menghasilkan karya. Imam Ath-Thabari, dalam sehari beliau menulis 40 lembar. Seumur hidup, beliau berhasil menulis 584.000 lembar naskah.
Karya beliau yang paling terkenal adalah Tafsir Ath-Thabari dan Tarikh Ath-Thabari (judul aslinya Tarikh ar-Rusul wal Muluk). Tarikh Ath Thabari sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan jumlah buku sebanyak 40 jilid!
Ada juga Imam Jalaluddin as-Suyuthi, yang berhasil menyusun 600 karya tulis dari berbagai disiplin ilmu. Sampai-sampai beliau diberi julukan Ibnu Kutub, saking produktifnya dalam menulis. Nama lengkap beliau adalah Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari.
Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Tafsir Jalalain (ditulis bersama gurunya, Jalaluddin al-Mahalli), Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Al-Bāb an-Nuqul fi Asbāb an-Nuzul dan sebagainya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Imam Jalaluddin As-Suyuthi memiliki semacam sertifikat atau ijazah sebanyak 150 yang didapatkan dari 150 guru. Pantas kan, jika beliau sangat cerdas dan produktif dalam menulis?
Tak kalah hebat adalah Ibnul Qayyim yang juga super duper produktif. Syekh Abu Bakar Zaid pernah menghitung jumlah karya Ibnu Qayyim, lebih dari 596 buku. Dalam setahun, beliau menulis berapa buku, ya? Subhanallah. Dalam usia 40 tahun ini, saya sudah menghasilkan 60-an judul buku, dan orang sering berkata ‘wow!”, padahal buku saya kebanyakan buku populer, bukan buku serius seperti para ulama. Itu pun, dibandingkan dengan Ibnul Qayyim atau ulama lain, karya ecek-ecek saya masih kalah jauuuuh sekali.
Itu baru sedikit dari deretan panjang para ulama dengan karya-karyanya yang sangat banyak serta kandungan luar biasa.
Menulis memang tradisi para ulama, khususnya ulama-ulama terdahulu, yang buku-bukunya bisa kita baca saat ini. Mengapa mereka sangat produktif menulis?
Pertama, mereka memiliki banyak bahan untuk menulis. Bahan itu adalah pengetahuan dan ilmu mereka yang sangat tinggi. Para ulama memiliki semangat belajar luar biasa. Mereka terbiasa merantau hingga jarak ratusan bahkan ribuan kilometer untuk bertemu para guru dan belajar langsung dari mereka.
Imam Syafi'i misalnya, beliau lahir di Gaza Palestina, pada tahun 767 M. Usia 13 tahun, beliau pergi ke Madinah untuk berguru dengan Imam Malik. Setelah itu, sekitar 2 tahun kemudian, beliau pergi ke Irak untuk berguru pada Imam Hanafi. Jarak Gaza ke Madinah adalah sekitar 923 KM, sedangkan jarak Madinah ke Irak sekitar 1500 km. Padahal, zaman itu belum ada kendaraan modern.
Transportasi paling hanya onta, kuda, atau malah berjalan kaki. Semangat luar biasa untuk menuntut ilmu membuat mereka berani menyingkirkan segala rintangan. Padahal, saat itu usia Imam Syafi’i masih sangat muda, masih sebaya anak-anak saya yang sedang mondok di level SMP sebuah pesantren.
Kedua, mereka sangat memahami dan meyakini, bahwa ilmu-ilmu yang mereka miliki harus dituliskan. Ali bin Abi Thalib mengatakan, qayyidul ‘ilma bil kitabah, ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Agar ilmu tidak bertebaran ke sana kemari, para ulama itu merangkainya dalam buku-buku yang akhirnya menjadi karya legendaris itu. Betapa banyak intelektual kita bergelar profesor atau doktor, tapi sangat minim dalam karya. Saya tidak tahu, bagaimana cara mereka “mengikat” ilmu-ilmu mereka.
Ketiga, amalan seseorang akan terputus, kecuali tiga hal, salah satunya ilmu yang bermanfaat. Seorang manusia paling banter hanya memiliki usia biologis sekitar 60, 70 atau 80 tahun. Setelah mereka wafat, tentu mereka tak mampu lagi mengajarkan ilmu secara lisan. Akan tetapi, buku-buku yang ditinggalkan, akan terus membimbing umat bahkan hingga ribuan tahun kemudian. Ar Risalah dan Al Umm, ditulis oleh Imam Syafii pada abad ke-8, dan hingga sekarang, mazhab Syafii dianut oleh ratusan juta bahkan milyaran umat Islam di dunia, termasuk Indonesia.
Kita bisa membayangkan, betapa banyak “royalti” berupa pahala yang dikirim ke alam kubur mereka, sebab sampai sekarang, mereka masih menuntun ummat dengan ilmu-ilmu bermanfaat yang tertulis dalam buku-buku mereka.
Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang membuat para ulama termotivasi untuk terus produktif menghasilkan karya tulis. Saya yakin, tak ada sedikit pun niat komersil dalam benak mereka. Jika mau, anak turunan mereka bisa meminta penerbit-penerbit untuk membayar royalti mereka. Tetapi, alhamdulillah, karya mereka dicetak dengan bebas oleh berbagai penerbit tanpa dituntut royalti.
Padahal, jika mau dihitung, sudah berapa juta eksemplar karya mereka tersebar ke seluruh dunia. Tafsir Ibnu Katsir sendiri, edisi terjemahnya diterbitkan oleh banyak penerbit seperti Insan Kamil, Gema Insani, Aqwam, Pustaka Imam Syafii, Darul Haq, Jabal dan sebagainya. Kemasannya eksklusif. Harganya, untuk edisi lengkap, mencapai jutaan rupiah.
Hal agak berbeda terjadi pada penulis zaman sekarang, yang sangat berorientasi pada penghasilan. Ketika menulis dianggap sebagai ladang bisnis, banyak orang tertarik untuk “menjadi kaya” dengan menulis. Setelah kepenulisan redup, banyak sekali yang akhirnya banting setir ke profesi lain.
Apakah salah, menjadikan menulis sebagai salah satu cara mencari penghasilan? Tentu tidak. Sah-sah saja. Hanya saja, ketika penghasilan merupakan tujuan utama kita dalam menulis, maka kita akan mudah kecewa dan patah, jika akhirnya terbentur pada berbagai macam problematika seperti ancaman disrupsi di dunia perbukuan, pembajakan di mana-mana, atau naskah tak juga tembus media ataupun penerbit.
Tafsir Ibnu Katsir, salah satu karya yang usianya sudah berabad-abad |
Menulislah seperti tujuan para ulama menulis. Mereka sangat produktif, sehingga waktunya tentu banyak tersita untuk menulis. Untuk menulis hal yang relatif ringan saja, saya membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk 5 halaman. Bagaimana dengan Imam Ath-Thabari yang menulis 40 lembar sehari? Padahal tulisan beliau jelas serius, berbobot, berat, sarat ilmu mendalam.
Mereka juga bekerja untuk mencari penghasilan. Jangan kira orang-orang shalih masa lalu itu tak bekerja untuk berpenghasilan. Para Nabi, selain berdakwah, mereka juga bekerja. Nabi Zakariya adalah seorang tukang kayu. Nabi Idris seorang penjahit, dan Nabi Muhammad serta sebagian besar sahabat berprofesi sebagai pedagang. Para ulama, seperti Imam Abu Hanifah juga seorang pedagang, sebelum akhirnya memutuskan fokus menekuni ilmu agama dan menyerahkan dagangannya untuk diurus orang lain, tentu dengan sistem bagi hasil.
Imam Ahmad bin Hanbal, di sela-sela aktivitas keilmuannya yang padat, beliau tidak segan menekuni pekerjaan apapun yang penting baik dan halal. Beliau pernah berdagang pakaian, mengangkut barang, bahkan memungut gandum sisa panen.
Jadi, jika kita merupakan orang yang diberikan anugerah berupa potensi kepenulisan, ayo produktif. Jangan pergi dari aktivitas kepenulisan, hanya karena tidak menghasilkan uang. Mari menulis sebanyak mungkin, tentu saja menulis kebaikan. Nabi mewariskan ilmu kepada ulama, dan salah satu tradisi keilmuan yang cukup kental adalah menulis.
Jadi, mengapa tidak menulis?
12 komentar untuk "Menulislah, Karena Menulis Adalah Tradisi Para Ulama!"
Ternyata, saya belum ada apa-apanya. Hehehe
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!