Berbagilah! Jangan Jadikan Hidupmu Melulu Urusan Pribadimu
Di suatu pagi, ketika hendak berangkat menuju kantor, saya melihat tetangga saya—seorang ibu berusia akhir 40-an, berdiri di teras rumahnya. Wajahnya pucat, tubuhnya pun terlihat lemas. “Apa kabar, Bu!” sapa saya, dalam bahasa Jawa halus, sembari mendekat. “Dengar-dengar baru pulang dari rumah sakit, ya?”
“Betul, Bu… saya terkena myoma. Kemarin operasi. Sekalian rahim diangkat,” ujarnya, sedih. Saya pun mencoba menghibur sebisanya.
“Ini sudah ujian buat saya. Yang saya resahkan, ini sudah mau ujian nasional, kasihan anak-anak di sekolah.” Kata tetangga saya. “Karena, saya harus istirahat lama, pastilah mereka akan terganggu pelajarannya.”
Saya tertegun. Dalam kondisi pasca operasi—pengangkatan rahim pula, sesuatu yang tentunya sangat menakutkan para wanita manapun—ia masih berpikir tentang anak-anak didiknya. Ya, beliau memang berprofesi sebagai seorang guru. Beliau sangat dekat dengan murid-muridnya, dan menjadi guru favorit di sekolahnya.
* * *
Sore itu, saya melihat sosok suami saya begitu lelah. Ia pulang dari sebuah acara bakti sosial di luar kota. Perjalanan kesana membutuhkan waktu sekitar 5 jam. Di hari libur—di saat orang lain bersantai-santai, beliau dengan LSM-nya berangkat ke daerah tersebut untuk melakukan pengobatan gratis.
“Berapa pasien, Bi?” Tanya saya.
“Hampir dua ribu.” Jawabnya, membuat saya melongo.
Di lain waktu, saat kami tengah bersiap-siap hendak mengantar anak-anak berenang, mendadak terdengar suara bel. Seorang wanita berdiri memelas di depan pintu.
“Bapak darah tingginya kumat. Ndak bisa berjalan. Minta tolong Pak Dokter tindak ke rumah untuk memeriksa bapak,” katanya.
Suami saya, tanpa banyak cakap meraih tensi meter, alat pengukur kadar gula darah, stetostop dan peralatan lainnya. Melangkah mengikuti si ibu yang rumahnya sekitar 100 meter dari rumah kami. Saya diam. Anak-anak tak protes, meskipun sebelum itu mereka harus menunggu lama. Ya, sebelum si ibu datang, sang ayah juga barusan mengurusi pasien-pasien lain.
Sudah terbiasa. Sangat biasa. Pernah ketika suatu malam, kami hendak makan malam, barusaja jalan, mendadak ada panggilan dari rumah sakit. Ada pasien yang harus ditangani. Pukul setengah Sembilan, baru pekerjaan di rumah sakit selesai. Saya dan ketiga anak menunggu di ruang jaga dokter. Ketika beranjak menuju rumah makan yang menjadi kesukaan anak-anak, ternyata sudah tutup.
* * *
Menjadi pelayan umat itu berat. Saya bersyukur, memiliki profesi yang tidak langsung berhubungan dengan manusia. Tak ada yang marah-marah kalau buku terlambat terbit. Kalaupun ada, paling sekedar komplain atau protes yang bisa segera ditangani dengan perkataan ‘maaf’.
Menjadi pelayan umat pastilah berat. Harus disertai dedikasi yang tinggi, dan semangat berkorban. Padahal, manusia adalah makhluk yang memiliki emosi. Tak ada yang bisa menjamin seseorang dalam keadaan good mood terus menerus. Pasti suatu saat akan ada badmood. Ketika suatu hari, di daerah tempat KKN saya ada seorang bidan yang dimarahi orang satu kampung karena malam-malam menolak memeriksa pasien, saya bisa memaklumi.
Meskipun saya juga bisa mengerti mengapa orang sekampung mengutuk si bidan.
Oh, bidan juga manusia, punya rasa punya hati…
Jangan samakan dengan pisau belati…
Saya juga bisa memahami, ketika ada guru yang jutek dan marah-marah di depan muridnya. Siapa sih, yang tak capai, seharian berteriak-teriak di depan kelas, menerangkan ini dan itu. Sementara para muridnya lebih sering sibuk ngobrol sendiri, melamun, atau malah asyik main HP. Percayalah, tak semua guru beruntung, ditempatkan di sekolah yang anak-anaknya memiliki semangat belajar tinggi, dan menghargai gurunya.
Ketika di rumah sakit, para perawat terlihat judes, saya juga maklum. Mereka dihimpit ritme kerja yang luar biasa, harus meninggalkan keluarga untuk jaga malam, dengan penghasilan yang kadang tak sepadan dengan apa yang harus mereka korbankan. Mereka mengalami tekanan, alias stres kerja yang sangat kuat. Meski memang tak semua begitu. Toh nyatanya, banyak juga para perawat yang tetap memiliki kontrol diri yang kuat, dan tetap profesional dalam bekerja.
Ketika saya bertemu dengan para pelayan umat yang tetap mampu menjaga profesionalitasnya, mampu mengontrol emosinya dan senantiasa bersiap-siaga untuk mempersembahkan yang terbaik, saya sungguh merasa sangat salut. Mungkin bagi mereka, semangat mengabdi telah menyusup dan menyatu bersama aliran darahnya. Mereka seperti para abdi dalem di istana-istana, yang bahkan tanpa dibayar pun siap memberikan yang terbaik untuk rajanya. Sehebat para abdi Allah yang bahkan memberikan jiwanya untuk menolong agama-Nya.
Hidup ini, sejatinya memang berbagi. Kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang saling tergantung satu sama lain. Jadi, jangan biarkan kita menjadi "pengangguran" dalam masalah peran sosial. Ya, karena hidupmu, tak melulu untukmu. Tak sekadar urusan pribadimu.
9 komentar untuk "Berbagilah! Jangan Jadikan Hidupmu Melulu Urusan Pribadimu"
Semoga perjuangan hebatnya menjadi amal saleh buat keluarga Mbak... :)
ini percakapan dalam bahasa jawa yg tak konvert
bapak : mas kuliah di mana
aku : ***
bapak : udah semester berapa?
aku : 7 pak
bapak : mau lulus donk
aku : nggak tau pak
bapak : tapi lulus cepat atau lambat itu sama aja ..... yang beda cuma satu .......
aku : apa itu pak?????
bapak : tujuan kuliah ........kalo lulus cepet tapi hasil nyontek .....sama aja kayak koruptor mas
(sang bapak berlalu)
sebagai anak muda aku juga pnya visi hidup ke depan,,, kalo ad wkt mampir aja
http://pengusahamuda99.blogspot.com/
Setiap kita bergerak sesungguhnya ada energi di baliknya, dan energi yg luar biasa itu adalah visi yang kuat
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!