Hantu Modern dan Kekalahan Budaya
Gambar: vecteezy.com |
Apakah masa kecil kalian diwarnai dengan cerita tentang wewe gombel, kuntilanak, genderuwo, gerandong dan sebagainya. Saya yakin, pasti iya. Kita merasakan, betapa sangat seram jika ada orang dewasa bercerita tentang berbagai jenis hantu tersebut. Tak terasa, rambut kuduk akan berdiri (awas, bukan bulu, sebab yang punya bulu itu hanya classis Aves, alias burung) dan jantung akan berdebur tak keruan.
Akan tetapi, coba sekarang tanyakan kepada anak-anak kita, apakah mereka tahu apa itu deretan makhluk halus tersebut? Kenalkah mereka dengan kuntilanak atau sundel bolong?
Ketika saya tanyakan kepada anak-anak saya, ternyata mereka tidak mengenalnya. Eh, bukan berarti mereka tak lagi mengenal hal-hal yang horor. Cerita tentang hantu masih ada hanya bentuknya beda. Sekarang hantu telah bermetamorfosis menjadi monster, vampire, zombie, atau drakula. Hantunya sudah berubah menjadi lebih "modern".
Kalau kalian kritis, pasti akan bertanya-tanya, tanda-tanda apa ini? Saya akan mencoba membahas fenomena itu dalam beberapa penjelasan, ya.
Pertama, perasaan takut karena ‘hantu’ benar-benar merupakan karakter alamiah manusia. Semodern apapun manusia, dia akan tetap mengalami rasa takut. Rasa takut (fear), muncul saat kita berhadapan dengan keadaan yang berbahaya. Rasa takut akan memicu kita untuk berlari menghindari bahaya, mencari persembunyian, atau jika terpaksa, maka akan melawan sebisa mungkin. Rasa takut akan membuat kita mampu melakukan hal-hal yang tak pernah kita duga sebelumnya. Misal, karena dikejar anjing, kita bisa meloncati parit selebar 2 meter, padahal biasanya tak mampu.
Sebagai seorang insan beragama, tentu kita harus melawan rasa takut itu. Dalam ajaran agama Islam, kita dianjurkan untuk ber-ta’awudz, membaca surat Al-Baqarah, dan sebagainya. Namun, takut tetaplah suatu hal yang sangat manusiawi.
Kedua, tidakkah kalian menyadari adanya pergeseran kultur yang terjadi? Wah, pergeseran kultur? Kok, kesannya crowded banget, masak anak-anak asing terhadap wewe gombel dianggap sebagai indikasi pergeseran budaya?
Serius! Zombie, vampire, drakula, monster adalah hantu yang muncul setelah anak-anak mulai mengenal budaya luar. Imajinasi tentang hantu, biasanya memang digali dari kultur lokal. Di Indonesia, karena saat meninggal mayat dikubur dengan dibalut kain kafan, maka hantunya berupa pocongan. Di luar negeri, zombie atau vampire memakai jas dan topi.
Adapun monster menjadi terasa terasa begitu ‘modern’ karena diangkat kembali oleh para imaginator dan beberapa meledak di pasaran.
Pergeseran kultur, ternyata juga berpengaruh terhadap semesta perhantuan kita. Menurut Ibnu Khaldun, budaya yang kalah cenderung akan mengikut budaya yang menang. Jika saat ini kuntilanak, sundel bolong, wewe gombel dll. terkalahkan oleh sebutan zombie, vampire, drakula, bahkan monster, dengan lapang hati kita harus mengakui, bahwa kultur asli kita memang telah tergerus oleh kultur budaya yang ‘menang.’
Ini memprihatinkan, karena dari tradisi perhantuan saja terlihat bahwa kita mengalami kekalahan budaya! Bukan berarti kita harus mengkampanyekan kembali kuntilanak dan wewe gombel. Justru, saya ingin menyodorkan konsep hantu yang lebih ‘mendidik’ untuk kita dan anak-anak. Misalnya, hantu kemalasan, kekikiran, ketidakpedulian dan sebagainya.
Jika para imaginator sukses ‘menyusupkan’ konsep hantu yang begitu menarik, kenapa kita tidak berupaya melakukan hal yang sama untuk tujuan yang lebih baik?
Posting Komentar untuk "Hantu Modern dan Kekalahan Budaya"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!