Ekspedisi Pendakian Lawu 3265 mdpl, Perjalanan Penuh Kenangan #3
Di Pos 4 Cokrosuryo |
Semakin mendaki ke atas, napas dan jantung saya sudah mulai tertata, tampaknya tubuh sudah mulai beradaptasi. Jadi, perjalanan ini terasa mulai sangat nikmat, terlebih disajikan pemandangan alam yang luar biasa. Seperti yang saya ceritakan di bagian kedua tulisan ini, semakin ke atas, panorama semakin memanjakan mata. Bahkan kegelapan pun tidak menghilangkan keindahan, sebab kami tetap mampu melihat bintang-bintang gemerlapan di langit yang cerah, serta kerlap-kerlip lampu di bagian bawah.
Baca juga:
Ekspedisi Pendakian Lawu 3265 mdpl, Perjalanan Penuh Kenangan #1
Ekspedisi Pendakian Lawu 3265 mdpl, Perjalanan Penuh Kenangan #2
Suasana perjalanan menuju Pos 3 |
Menuju Pos 4 dan Ngecamp Semalam
Minum kopi di Pos 4, Pagi Hari |
Perjalanan pos 3 menuju pos 4 memiliki beberapa kekhasan, yakni jalan sudah didominasi batu-batu. Tumbuhan yang hidup pun sudah semakin kerdil, bahkan kami melihat banyak pohon edelweis. Sayang, karena malam, jadi tak terlalu jelas. Kami menerangi jalan dengan senter, juga headlamp. Sayangnya, senter saya kurang berfungsi baik, karena sering mati. Jadi, saya mengandalkan cahaya dari headlamp yang dikenakan suami dan senter dari tim yang berjalan di belakang saya. Sisanya, ya meraba-raba. Kadang tersandung-sandung juga. Tapi, karena terbiasa dengan gelap, lama-lama mata awas juga.
Oya, kami masih menyisir jalan yang bersisian dengan jurang
yang terjal di sisi kami. Pemandangan malam didominasi langit cerah yang penuh
bintang, serta suasana di Magetan yang diterangi aneka lampu. Cahaya lampu dari
kejauhan tampak begitu indah, kerlap-kerlip, bak intan berlian di gelap malam.
Mirip kalau kita terbang di malam hari dan melihat pemandangan di bawah itulah.
Sempat ada kejadian tragis namun sekaligus menggelikan dan
mendebarkan. Melihat pemandangan yang begitu menarik, suami saya tak tahan
untuk tidak memotret. Kamera HP beliau memang cukup support untuk memotret
dalam cahaya yang kurang terang. Namun, karena beliau memakai sarung tangan,
jadi kurang sensitif, dan kamera terjatuh ke sisi jurang, tersangkut di semak
belukar kira-kira 1,5 meter dari atas. Tetapi, dengan penyelamatan yang
“heroik” dari Mas Ujang, Mas Prie dan Mas Rudin, HP berhasil diselamatkan.
Mau tahu bagaimana menyelamatkannya? Mas Ujang merayap ke
bawah, lengan kirinya menjepit kain sarung, lengan kanannya mencengkeram akar
tumbuhan. Dari atas, Mas Prie menarik ujung kain sarung itu. Lalu jari kaki Mas
Ujang menjepit HP itu. Mas Rudin dan Mas Ahmad menyinari dengan senter dan ikut
menarik sisi tangan Mas Ujang yang lain pas naik. Saya deg-degan mengamati,
takut jika Mas Ujang jatuh terperosok ke jurang yang tampaknya sangat curam.
Qodarullah, HP Mas Ahmad berhasil diselamatkan, meski awak benar-benar sangat
nervous.
Perjalanan gelap tak mereduksi rasa lelah. Sesaat kami
berhenti untuk istirahat. Saya masih belum mampu menetralisir napas yang masih
terengah-engah jika telah berjalan agak lama, meski sudah mulai bisa
beradaptasi. Lama-lama, jantung terbiasa dengan kerja keras. Biasanya saya
memang begitu, saat mendaki gunung, sejam dua jam pertama biasanya sangat
ngos-ngosan, lama-lama terbiasa. Tetapi, ini bukan hanya karena ngos-ngosan,
tapi juga lelah. Kami sudah berjalan sejak jam 11 siang. Hanya saja, karena hari
sudah malam dan suhu sudah semakin dingin, ketika berhenti beristirahat, kami
justru merasakan kedinginan, sehingga terus berjalan merupakan pilihan yang
paling tepat.
Najmu, si pendaki kecil, sudah terlihat mengantuk. Dia
berjalan dengan menahan kantuk yang sepertinya cukup kuat. Terus terang, saya
merasa sangat kasihan. Karena itulah, saat sampai di pos 4, akhirnya kami
memutuskan untuk ngecamp.
Pos 4 |
Jam 9 malam kami sampai di Pos 4 yang disebut juga Pos Cokro Suryo. Pos ini merupakan tanah lapang, dengan dua bangunan yang merupakan shelter dan warung. Tetapi, sama dengan pos 3, warung di pos 4 pun tutup. Kabarnya, warung ini sudah tutup sejak lama, dan pemiliknya tak berencana meneruskan. Padahal, pos 4 merupakan tempat yang nyaman untuk ngecamp. Saat kami datang, sudah ada beberapa tenda berdiri. Beberapa anak muda yang awalnya satu perjalanan dengan kami, ternyata sudah sampai di sana lebih dahulu.
Sampai di pos 4, rasa dingin begitu kuat membekap. Saya bisa
memahami. Pos 4 Cokro Suryo, menurut informasi yang saya baca di internet,
sudah pada ketinggian 3135 mdpl. Sudah sangat dekat dengan puncak. Pos 4 menuju
pos 5 jaraknya sudah sangat dekat, hanya sekitar 30 menit perjalanan atau jika
seperti saya mungkin bisa sejam.
Meski berjaket, berslayer, dan bersarung tangan, saya masih tak kuat menahan dingin. Tubuh seperti mati rasa. Dalam kondisi seperti itu, saya mencoba membantu suami mendirikan tenda. Untungnya tak lama tenda berdiri. Kami langsung masuk ke tenda, menggulung tubuh dalam sleeping bag. Tak lama, saya mendengar dekur halus suami, sementara saya tidak bisa tertidur, karena ternyata meski sudah berlapis-lapis pelindung, rasa dingin tetap saja menusuk hingga tulang sumsum.
Suara angin menampar-nampar tenda, terasa membawa saya
pada suasana yang aneh. Saya tidur, bangun, tidur, bangun, dan terus berusaha
menahan rasa dingin. Saya ingat, mungkin karena belum sempat makan malam.
Akhirnya saya mengambil sepotong cokelat, mengunyahnya sampai separuh. Rasanya
badan mulai hangat. Saya pun akhirnya tertidur, sampai terdengar suara orang
membangunkan kami untuk shalat subuh.
Gunung Mongkrang terlihat dari Pos 4 |
Saya beringsut keluar. Wudhu dengan tayamum, karena memang tak ada air, kami hanya menyisakan air minum yang tak seberapa. Kami menggelar tikar di lapangan, lalu shalat subuh berjamaah. Di atas kami, rembulan dan bintang-bintang memberikan penerangan, sehingga suasana menjadi tak terlalu gelap. Bahkan, dalam keremangan subuh, kami bisa menyaksikan surga yang luar biasa indah. Semalam, bulan belum datang, sehingga suasana gelap gulita. Berbeda dengan saat subuh.
Bersama suami di Pos 4 |
Awalnya, usai subuh kami akan langsung summit, atau naik ke puncak. Namun karena kami merasa butuh asupan nutrisi, usai subuh, kami memutuskan untuk memasak terlebih dahulu. Kami mengelurkan kompor kecil, gas dan alat nesting. Memasak mie goreng telor dan kopi panas. Menyeduh kopi di pagi hari, menyecapnya, terasa luar biasa nikmatnya.
Ketika hari semakin
terang, kami takjub. Ternyata pemandangan di Pos Cokro Suryo benar-benar luar
biasa indah, seperti negeri di atas awan! Puncak Gunung Mongkrang terlihat
begitu jelas dan hijau, tampak jauh di bawah sana. Saya sempat terpana. Setahun
silam, saya terengah-engah menuju Puncak Mongkrang, dan kini saya berada di
sebuah ketinggian yang berjarak sekitar 1000 meter dari Puncak Mongkrang.
Subhanallah!
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4
Posting Komentar untuk "Ekspedisi Pendakian Lawu 3265 mdpl, Perjalanan Penuh Kenangan #3"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!