Widget HTML #1

Berterima Kasih Kepada Musuh


Berterimakasihlah kepada musuh-musuhmu. Sebab mereka begitu sibuk menunjukkan kesalahan-kesalahan yang harus kau perbaiki. Sementara, pemujamu selalu menutupinya, sehingga engkau selalu merasa telah jadi orang sempurna.

Apa komentar Sobat sekalian membaca quotes tersebut di atas? Heran, bingung, atau justru mual, pengin muntah? Bagaimana mungkin kita justru harus berterima kasih kepada musuh? Bukankah mereka siang malam mengincar kesalahan kita, mempelototi kelengahan kita dan senantiasa menebar kebencian tanpa pernah henti? Bagaimana mungkin kita justru harus berterimakasih kepada mereka? Mereka tidak berhak atas kasih sayang kita, penghargaan kita, penghormatan kita. Bukankah terima kasih adalah wujud dari semua itu?

Kalian benar, Sobat. Musuh memang tidak layak mendapatkan kasih sayang kita. Kasih sayang dan penghormatan semestinya kita berikan kepada orang-orang yang menyayangi kita.

Tetapi, tunggu! Kita mengenal salah satu filosofi tradisional Jepang yang konon menjadi sebab kesuksesan negeri matahari terbit ini. Apalagi jika bukan Kaizen? Nah, konsep dasar dari Kaizen adalah perbaikan yang terus berkesinambungan alias continuous improvement.

Ada 5 prinsip dasar dari Kaizen yang disebut sebagai 5S, yaitu Seiri/Sort, Seiton/Set in Order, Seiso/Shine, Seiketsu/Standardize dan Shistuke/Sustain.

Seiri maksudnya memangkas, memperpendek jalur, atau hanya mengambil hal-hal penting atau meminimalisir 'sampah' dalam sebuah proses. Penjelasan singkatnya begini:

Seiri (sort) maksudnya memangkas, mensortir, memperpendek jalur, atau hanya mengambil hal-hal penting atau meminimalisir 'sampah' dalam sebuah proses.

Seiton (set in order) adalah mengeset proses seefisien mungkin.

Seiso (shine) adalah menerapkan standard yang baik dalam bekerja.

Seiketsu (standardize) adalah melakukan praktik kerja berdasarkan standard yang telah ditetapkan.

Shistuke (sustain) adalah melakukan maintenance, pengembangan, dorongan, advokasi dan support ke segala aspek secara disiplin agar sebuah usaha bisa berkelanjutan.

Sekarang nyambung kan pembahasan soal continous improvement ini dengan quotes di atas?

Yap! Bagi orang-orang tertentu yang mendambakan perbaikan dari waktu ke waktu, senantiasa melakukan continuous improvement, bisa jadi musuh adalah sosok yang bermanfaat besar untuk kebaikannya.

Why? Sangat jelas. Orang-orang semacam itu sangat menyukai perbaikan. Dan bagaimana agar bisa melakukan perbaikan? Salah satunya adalah dengan cara disodorkan: ini lho salahmu!

Banyak perusahaan menggaji Litbang dengan salary besar. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan data untuk diolah menjadi informasi. Kita sering diminta mengisi survey kepuasan publik. Litbang yang baik tentu ingin mendapatkan masukan sevalid mungkin. Kadang, karena menginginkan data yang diperoleh bisa baik, Litbang justru melakukan kesalahan terbesar: misal membujuk subyek penelitian untuk mengisi data dengan baik. "Kasih nilai bagus dong ..., kasih bintang lima dong."

Sekilas, data yang seolah-olah baik itu sangat membantu, padahal aslinya itu sebuah bias yang teramat fatal. Dosen saya di Jurusan Bachelor in Psychology, Internasional Open University (IOU), Prof. Francesca Bocca Al-Daqree, PhD (FYI, saat ini saya sedang mengambil kuliah bachelor in psychology di kampus ini) pernah menyebutkan dalam kuliahnya, bahwa dalam sampling, ada 2 jenis bias yang fatal, yaitu voluntary respons sampling (VRS) dan convenience sampling (CS).

VRS adalah sampling dengan memilih subyek yang sukarela menjadi sampel atau subyek penelitian. Sukarela karena suka dengan riset kita, atau karena dekat dengan kita, atau karena iming-iming hadiah. Misal pulsa, honor, bonus, dan sebagainya. Sedangkan CS adalah cara memilih sampel yang mudah dijangkau. Misal karena ingin riset kita mudah, maka kita menjadikan murid, mahasiswa, atau teman sekerja menjadi sampel kita.

Kedua jenis sampling ini, terus terang sering sekali kita lakukan, karena kita ingin melakukan riset yang mudah. Namun, sebenarnya kedua jenis pengambilan sampling ini sangat berpotensi membuat penelitian kita menjadi kurang valid. Kapan-kapan deh, ya, saya akan bahas soal ini. Menarik soalnya.

Berdasarkan pemaparan Prof Francesca Bocca tersebut di atas, saya berkesimpulan bahwa semakin acak atau random sebuah sampel, maka data akan semakin bagus.

Lalu, apakah musuh kita berarti sama dengan sampel yang random? Nggak juga sih. Bagaimanapun, yang namanya sampel itu harus representatif. Jika kita membuat penelitian tentang kepuasan publik, ya semua populasi harus ada wakilnya, baik yang mencintai kita, yang membenci kita, maupun yang netral kepada kita.

Apalagi jika kita seorang leader yang mengomandani semua unsur tersebut: pecinta, pembenci dan yang cuek. Sebenci apapun, mereka tetap warga atau anggota. Ada hak-hak mereka yang harus dipenuhi, bukan?

Tetapi, melihat apa yang musuh lakukan kepada kita: yakni selalu mencari-cari kesalahan, ini juga merupakan salah satu cara mendapatkan data yang penting untuk perbaikan kita. Bisa jadi, data dari musuh malah lebih valid dari data teman sendiri. Mungkin lho yaaa.... mungkiiiin. Hehe.

Posting Komentar untuk "Berterima Kasih Kepada Musuh"