Widget HTML #1

Cinta Emas, Cinta Mutiara, dan Cinta Laptop



Suatu hari, sekitar 11 tahun silam, saat anak saya masih 3 (saat ini alhamdulillah dikaruniai 4 anak), yaitu Anis, Rama dan Ifan, saya pernah mengalami satu kisah unik dan berkesan hingga saat ini. Pada suatu hari, saya sedang bercengkerama dengan 3 bocah itu. Kalau tidak salah, anak saya yang pertama, cewek, namanya Anis, berusia 8 tahun. Anak kedua, Rama, cowok, saat itu berusia 6 tahun, dan anak ketiga, Hanifan berusia dua tahun.

"Umi sayang nggak sama aku?" tanya Anis.
Saya mengelus kepala bocah itu. "Sayang dong. Bagi Umi, kamu adalah anak emas."
"Lho, kalau Rama?"
"Rama, anak Mutiara."
Tiba-tiba Rama nyeletuk. "Nggak Mi, aku nggak mau jadi anak mutiara."
"Lho, trus anak apa, dong?"
"Anak laptop!"

Saya tertawa sambil memeluk bocah itu. Saya tahu, Anis dan Rama sangat suka dengan laptop. Saat itu ada satu laptop dengan layar besar yang saya khususkan untuk anak-anak. Isinya film-film dan game edukatif. Mereka juga sering memakai untuk menulis cerita. Saat itu, Anis sudah mulai lumayan produktif menulis. Rama sering juga coba-coba mengetik tulisan-tulisan pendek meski tata bahasanya tentu masih belum beraturan.

Selain itu, anak-anak juga tahu, bahwa saya sangat sering berada di depan laptop. Namanya juga penulis, tentu pekerjaannya lebih banyak di depan laptop. Ketika Rama nyeletuk bahwa dia adalah "anak laptop" saya terpingkal, karena ternyata Rama mengamati keseharian saya yang lebih menyukai laptop daripada benda-benda semacam emas atau mutiara.

Ekspresi Rama jika digambarkan dengan dialog kurang lebih seperti ini.

"Baiklah, kamu anak Laptop."
"Berarti Umi sayang aku?"
"Iya."
"Mbak Anis dan Ipan (anak-anak saat itu memanggil Hanifan-Ifan dengan Ipan)?"
"Ya semua anak-anak laptop, anak laptop Umi."

Anak-anak yang dikaruniakan Allah kepada saya, semua menyimpan potensi luar biasa. Saya sering termangu, antara kagum dan tak percaya, Ya Allah, begitu indah cara-Mu membahagiakan salah seorang dari hamba-Mu yang hina ini. 

Kembali ke anak emas, anak mutiara dan anak laptop. Karena konteks saya adalah cinta, berarti bisa kan ya saya ganti menjadi cinta emas, cinta mutiara, cinta laptop.

Kata emas ini paling lazim disematkan dengan cinta emas. Makanya, kata anak emas lebih sering didengar daripada dua frasa yang lain: anak mutiara, apalagi anak laptop, haha.

Cinta Emas

Kita mungkin pernah mendengar orang menyebutkan begini: "kadar cintaku padamu laksana emas 24 karat." Cinta 24 karat ini bisa dijelaskan sebagai sebuah cinta yang murni, tanpa campuran. Apa sih, campuran yang paling banyak terdapat pada cinta? Mungkin keinginan untuk mendapatkan balasan, keinginan untuk mendapatkan imbalan, tuntutan untuk selalu bersama, dilayani, dan sebagainya. So, cinta 24 karat adalah cinta yang sempurna, cinta yang benar-benar bersih, murni, putih, kinclong, clear. 

Dulu, kepada suami saya sering bergurau bahwa saya tidak mungkin memberikan cinta 24 karat. "Cinta berkadar 22 karat itu dah bagus banget!" 

Mengapa 22 karat? Karena kami mengharapkan sebuah 'perhiasan' pada hubungan cinta kami. Emas 24 karat terlalu lunak untuk dibuat perhiasan. Maka diberilah campuran, biasanya tembaga atau perak, sehingga kadarnya pun menurun, namun menjadi lebih kuat dan bisa dibentuk jadi perhiasan. Karena itu, rata-rata saat kita membeli perhiasan, biasanya tercantum kadar atau karat dari emas tersebut. Emas 24 karat adalah emas 100%. Yang biasa dijual sebagai perhiasan mulai emas 8 karat, atau dengan kadar kuranglebih 35%. Maka di pasar emas kita mengenal "emas tua" yaitu yang kadarnya 70% ke atas atau 17 karat lebih, dan emas muda, yang kadarnya di bawah 70%. Tentu semakin tinggi karatnya, harga perhiasan akan semakin mahal. Namun begitu, tak ada perhiasan yang kadarnya 100%.

Emas 100% hanya bisa disimpan dalam bentuk batangan. Tetapi, kalau untuk jadi perhiasan, emas harus dicampur logam lain yang nilainya lebih rendah. Seperti itu juga cinta. Untuk jadi indah, cinta perlu "dicampur" sifat-sifat manusiawi seperti keinginan-keinginan pada sesuatu yang indah. Kadang juga perlu dibuka ruang untuk debat kusir yang keras, sedikit marah-marah, cemburu, kesal ... tapi, jangan terlalu banyak. Nanti jadi menurun kadarnya.

Cinta sepasang suami istri tak mungkin 24 karat, karena kita semua manusia biasa, bukannya malaikat yang tak disertakan pada mereka syahwat atau keinginan-keinginan. Lalu, berapa kadar cinta suami istri yang ideal. Kalau menggunakan pembagian "emas tua" dan "emas muda" seperti tersebut di atas, mungkinkan 70%? Silakan saja... tapi kalau mau sedikit lebih transendental, ya  sebaiknya 80% atau 90% saja, hehe. 

Bagaimana dengan cinta seorang ibu kepada anak-anaknya? Mungkin bisa berupa cinta 24 karat. Cinta yang tidak dibebani muatan. Cinta yang murni, cinta yang tak mungkin diceraikan. Sebab, memang ada istilah mantan suami, mantan istri (semoga tidak terjadi pada kita), tetapi, tak ada istilah mantan anak.

Namun, ingat, cinta ibu kepada anak itu tidak bersikap resiprokal atau timbal balik secara mutlak. Secara natural, menurut John Bowlby, pencetus Teori Attachment atau atau Teori Kelekatan pada periode pengasuhan, semua ibu memang secara nature mencintai anak-anaknya. Bisa dikatakan, the mother is born to love her children. Tetapi, attachment itu tidak resiprokal secara otomatis. Anak hanya akan "membalas" cinta si ibu jika sinyal-sinyal kebutuhan mereka dipenuhi oleh ibunya. Di situlah akhirnya terbentuk kelekatan.

Kelak, saat anak sudah mulai besar, sudah mulai mandiri, mungkin dia sudah tidak terlalu membutuhkan peran ibu. Kadar cinta mereka mungkin menurun, tetapi si ibu tidak, mereka akan tetap mencintai anak-anaknya, sampai kapan pun. Maka, dalam Islam, anak-anak 'dipaksa' untuk berbuat baik terhadap orang tua dengan "ancaman-ancaman" yang berat dari Allah SWT. Agar tak salah paham, tolong perhatikan ya, kata "dipaksa" dan "ancaman-ancaman" saya beri tanda petik, yang maksudnya jangan dimaknai secara tersurat atau secara harfiah.

Masalahnya, kadang "ancaman" itu tidak mempan. Maka, para ibu--dan juga ayah, sebaiknya tetap memiliki alokasi sumber daya untuk masa tuanya. Misal, menabung untuk dipakai saat pensiun, agar tidak tergantung sepenuhnya kepada anak-anak.

Cinta Mutiara dan Cinta Laptop

Cinta Mutiara dan Cinta Laptop ini hanya sebuah variasi saja, untuk menunjukkan frasa yang kurang lebih senilai dengan emas. Biasanya, perhiasan kan tidak hanya dari emas, tetapi juga dari mutiara. Apakah mutiara juga ada kadarnya? Saya kurang tahu. Mungkin pembedanya cuma mutiara asli dengan mutiara palsu. Atau Sobat memiliki info lain?

Nah, untuk laptop ini menarik juga ditelaah. Dunia telah berubah. Kebutuhan manusia juga berubah. Dulu pernah ada seorang sahabat berkata, bahwa dibandingkan dikasih hadiah emas atau berlian, dia pilih diberi hadiah gadget. Eksistensi dia akan lebih dihargai jika diberi gadget, sebab gagdet mendukung proses intelektualismenya, mendukung kinerjanya, performance akademik, dan sebagainya. Sementara, emas dan mutiara hanya sekadar menempatkan dirinya sebagai "pelengkap pajangan".

Menarik juga ....

Kalau saya diberikan pilihan yang sama seperti sahabat saya tersebut, tentu saya juga pilih laptop. Karena jelas akan berguna.

Ternyata, cinta juga bukan lagi soal indah atau tak indah, tapi soal eksistensi. Tetapi, yang membuat saya tak habis pikir, bagaimana mungkin Rama, seorang anak usia 6 tahun, sudah berpikir soal eksistensi sehingga lebih suka disebut sebagai "si anak laptop". Apa yang terbetik di benaknya sehingga lebih memilih menjadi Anak Laptop dibanding Anak Emas? 

Do you have any ideas?

Posting Komentar untuk "Cinta Emas, Cinta Mutiara, dan Cinta Laptop"