Sebuah Novel Tentang Senja: Akik dan Penghimpun Senja
Akik dan Sang Penghimpun Senja, karya Afifah Afra |
Seorang lelaki muda, bertubuh jangkung, berambut gondrong acak-acakan, memakai slayer biru di lehernya, bermata sipit, dan bertelanjang kaki mendekat. Sebuah kamera terkalung di lehernya. Dengan santai dia hinggap di atas bangku kayu. Butir-butir pasir yang menempel di celana jeansnya rontok ketika tangannya menyibak pelan. Termenung sejak, dia duduk tenang menatap lautan. “Gila, ternyata Klayar ini benar-benar sebuah surga.” Terdengar sebuah suara dari mulut lelaki itu. Lirih, namun cukup jelas di telinga perempuan itu.
“Baru pernah kesini, ya, Mas?” tanya perempuan itu, ramah.
“He-eh, mbak. Udah lama denger sih, tapi baru kali ini kesampaian kesini. Senjanya keren. Pengin aku gunting. Aku kasih ke temanku.”
“Teman istimewa?”
“Haha. Mbak bisa ada. Eh, masih ada kelapa muda?”
“Masih, Mas. Mau pakai gelas, atau langsung dengan buah kelapanya?”
“Dengan buahnya, dong! Kalau pakai gelas, rasanya udah nggak alami. Tambahi gula, dikiiit aja, ya?”
“Baik, Mas.”
Dia bekerja dengan kedua tangannya, dan membiarkan sepasang matanya berselingkuh dari aktivitasnya. Senja terlalu indah, bahkan untuk dia tinggal demi berkonsentrasi mempersiapkan hidangan untuk tamunya. Untung, tangannya sudah sangat terampil, dan tatkala dia mengeruk kelapa muda dan mencampurkannya dengan cairan gula kelapa, seakan-akan sepasang mata cadangan telah dipasang di kedua tangannya, sehingga dia mampu bergerak lincah tanpa memalingkan sedikit pun dari pesta senja nan jingga.
Tak sampai lima menit, kelapa muda itu telah terhidang di depan sang tamu. Sang lelaki menyedot air kelapa muda dengan nikmat. Namun saat si perempuan itu meliriknya, dia mendapati bahwa lelaki itu pun menikmati kelapa mudanya dengan mata yang tetap tertuju kepada laut. Kepada senja. Perempuan itu mendadak tersenyum tipis, merasa memiliki teman.
“Senang ya, menikmati senja?”
“Eh, iya… iya mbak!” lelaki itu tampak kaget. “Senja itu selalu menyihir siapapun yang mau berlama-lama menikmatinya. Tatapan manusia itu seperti butiran pasir besi, dan senja adalah magnet. Saat keduanya telah beradu, yang ada adalah tarikan-tarikan yang kuat dan lekat.”
“Wah, tampaknya Mas ini suka bikin puisi, ya?”
“Ngg… nggak juga sih. Cuma aku suka baca novel-novel dan cerpen-cerpen yang nyastra. Khususnya, yang bertema senja.” Lelaki itu bangkit. Berdiri menatap laut. Lalu berbalik, memandang sang perempuan. “Eh, mbak, kamu mau nggak, mendengarkan aku membaca puisi?”
“Puisi?” Perempuan itu teringat, saat bersekolah di SD dahulu, dia pernah terpilih sebagai wakil sekolah untuk lomba puisi di tingkat kecamatan. Sebenarnya dia menyukai baris-baris kalimat yang indah. Dia pun sepertinya mampu melakukan apa yang diajarkan pelatihnya. Tetapi, dia terlampau pemalu. Meski akhirnya dia berani maju ke panggung dan membawakan puisi “Kerawang Bekasi”, jangankan memenangi kompetisi, sekadar masuk nominasi pun ternyata tidak. Suaranya terlampau lirih. Ekspresinya kaku. Sepulang dari lomba, sang bapak yang menjadi pendamping menyenggol pundaknya dan bertanya, “Nduk, kenapa baca puisimu tak sebagus saat kamu berlatih sendirian di depan cermin? Menurut bapak, kalau kau membaca puisi seperti saat tengah berlatih sendiri, kau lebih bagus dari yang juara satu tadi.”
Sampai sekarang, dia tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan bapaknya itu.
Saat masuk SMP, dia juga menyenangi kegiatan menggoresi lembar-lembar buku tulisnya dengan kalimat-kalimat indah. Sayang, ketika akhirnya dia drop out pada usia 14 tahun, keluar dari kelas 2 SMP karena tak ada biaya, dia memutuskan untuk menutup lembaran itu, dan bercerai dengan puisi. Hingga kini.
Dan mendadak, lelaki itu ingin membacakan puisi di depannya.
Aneh. Benar-benar aneh.
“Tapi, jangan diketawakan, ya? Sebenarnya saya malu, tetapi senja ini terlalu indah untuk tidak memunculkan kelindan kata-kata yang mewakili perasaanku.”
“Silakan saja, Mas. Tapi saya ndak ngerti apa itu puisi. Jadi bagi saya, semua puisi itu bagus,” jawab sang perempuan.
Lelaki itu tertawa kecil. Lalu dia mengambil notes kecil dari saku celana jeansnya. Suaranya yang serak-serak basah terdengar keras.
Aku dan jingga, bagai dua sisi keping rindu
Aku adalah sungai, jingga adalah lautan
Dan senja, adalah muara
Laut boleh jadi tak pernah bertemu sungai,
Meski dia merindu aliran airnya
Sungai boleh jadi tak pernah bertemu laut
Meski dia merindu kapal nan berlayar hingga ke hulu
Tetapi, pada sebuah muara
Sungai dan laut bertemu
Demikian pula, pada sebuah senja
Aku dan jingga memadu rindu
Hanya sejenak, tak mengapa
Sejak purba, senja mati dalam usia muda
Aku hanya mampu menggunting senja
Menyimpannya di sudut hati
Dan membukanya saat aku tak tahu
Bagaimana mengobati penyakit rindu
Akulah sang penghimpun senja
Akik dan Penghimpun Senja adalah salah satu novel yang saya tulis beberapa tahun yang lalu. Berkisah tentang penjelajahan di gua-gua bawah tanah yang senyap, hening dan penuh misteri. Serta pantai dan senja yang selalu pintar menjajah kenangan.
Minat mengoleksi?
Order yuk! Pemesanan hub 0878.3538.8493 atau bisa order ke marketplace langganan anda ya...
Posting Komentar untuk "Sebuah Novel Tentang Senja: Akik dan Penghimpun Senja"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!