Ujian Terberat Para Pria Adalah Saat Kaya, Benarkah?
Banyak para istri mengeluhkan kondisi istrinya seperti ini. Suamiku sekarang berbeda. Dulu dia rajin ke masjid, berperilaku santun dan halus, mau melakukan hal-hal yang tampaknya sepele namun bermakna: seperti memandikan anak-anak, mencuci piring, atau menyeterika. Berpakaian sederhana, penampilan seadanya, tak banyak tingkah, kalem, bahkan kucel dan ndeso.
Tapi itu dulu. Sekarang ... luar biasa berubahnya. Setiap hari belanja outfit baru: sepatu, tas, celana, kemeja, kaos, topi, jam tangan, kacamata. Rajin sekali menjaga penampilan. Olahraga, ngegym, pakai skincare, maunya nongkrong di kafe ber-AC atau hotel bintang lima. Gaya bicaranya mulai gaul, genit, dan sok romantis. Jika dulu selalu menundukkan pandangan saat bertemu kaum perempuan, sekarang sengaja jelalatan. Jika dulu gugup disapa perempuan, sekarang sudah dengan ringan mulai menggoda.
Ada apa dengan suamiku?
Aku seperti tak lagi mengenalinya.
Dia sudah berubah?
Apakah mengalami puber kedua?
Apakah dia mulai bosan denganku?
Sebelum kita bahas lebih mendetail, mari kita semua menyepakati satu hal, bahwa setiap orang itu pasti berubah. Tak hanya manusia. Semua makhluk hidup berubah. Dunia berubah. Ekonomi, sosial, budaya, politik, semua berubah. Konon yang tidak akan berubah adalah kata PERUBAHAN itu sendiri.
Apa yang membuat kita berubah? Banyak faktor. Lingkungan, pola pikir, dinamika kehidupan yang dialami, kondisi sosial ekonomi, juga kondisi keimanan. Perubahan tak selalu positif, kadang juga negatif. Banyak manusia, karena terbiasa berinteraksi dengan masyarakat luas dengan berbagai perilakunya, lama-lama akan terbawa pada perilaku yang lazim melekat pada masyarakat tersebut. Misal, seorang yang awalnya tidak suka jajan dan memilih memasak sendiri makanannya, kemudian tercebur di lingkungan yang mayoritas orangnya lebih senang nongkrong di angkringan sambil ngobrol, atau hobi mencicipi makanan dari satu warung ke warung. Jika tak memiliki prinsip yang sangat kuat, lama-lama dia akan goyah dan terbawa oleh arus.
Bagaimana dengan kasus yang dikeluhkan di atas?
Ada sebagian orang berpendapat, bahwa ujian para lelaki adalah di saat kaya dan berjaya. Ketika sedang dalam kondisi kaya, lelaki akan merasa powerful, bisa mendapatkan segalanya. Beli mobil, beli rumah, piknik kemanapun, makan di resto sebesar apapun, termasuk melakukan hal-hal yang menantang, seperti mencoba menjalin interaksi terlarang dengan perempuan-perempuan jelita yang sebenarnya tidak punya ikatan apapun dengannya, sebut saja selingkuh.
Tempo hari, di media sosial pernah beredar sebuah direct message, tentang ajakan seorang laki-laki yang mencari pasangan untuk menjalin hubungan FWB--friend with benefit. Untuk itu, si laki-laki siap memberi Rp 50 juta plus bonus Rp 1 juta setiap kencan. Apa itu FWB? Semacam ikatan pertemanan, namun dengan keuntungan tertentu atau benefit. Sebenarnya ini mirip seperti pacaran, tetapi tidak ada ikatan. Hubungan romantis, dan tentunya termasuk seks, namun dari awal sudah ada semacam disclaimer bahwa mereka tidak memiliki ikatan apa-apa selain just friend. Gila, ya?
Secara psikologis, laki-laki, dengan sikap maskulinnya, memang cenderung bersifat agresif. Tetapi, untuk bisa agresif, seseorang memerlukan senjata bukan? Kekayaan, kesuksesan, uang yang berlimpah, ataupun kekuasaan adalah senjata yang sangat canggih untuk bisa mengendalikan orang lain. Karena itu, jika dalam kondisi memiliki senjata, lelaki akan cenderung merasa kuat dan powerful. Saat dalam kondisi powerful, nalurinya sebagai penakluk, pemburu, atau penyerang akan bangkit, seperti tombol ON yang dipencet. Inilah ujian yang sebenarnya.
Sementara jika dia dalam kondisi lemah, miskin, kurang sukses atau tak memiliki kekuasaan, dia akan cenderung merasa insecure. Banyak lelaki sanggup hidup dengan memegang prinsip dalam penderitaan, namun sangat sulit bertahan dalam kebenaran saat mendapat kekuasaan. Godaan untuk menjadikan kekuasaan itu sebagai sarana bermain-main di area maskulinitas, sungguh sangat kuat.
Maka, sang legenda Amerika Serikat, Abraham Lincoln berkata, "Hampir semua pria memang mampu bertahan menghadapi kesulitan. Namun, jika Anda ingin menguji karakter sejati pria, beri dia kekuasaan."
Hal yang berbeda akan terjadi pada para perempuan. Bagi perempuan, kekayaan, kesuksesan, kekuasaan, memang menyenangkan. Tetapi tidak membuat mereka terbuncah pada satu euforia yang berlebihan. Maka, mayoritas perempuan akan mampu tetap istiqomah bertahan dalam prinsip saat diberikan kekayaan. Namun repotnya, perempuan akan sangat sulit bersabar saat diberi beban penderitaan. Jadi, ujian para perempuan adalah saat miskin dan menderita.
Perempuan sebenarnya hanya butuh hidup yang mapan, nyaman, tenteram, dan tercukupi kebutuhannya. Perempuan butuh sandaran yang kuat, namun tak perlu sandaran itu sebuah bangunan megah. Kadang cukup sebuah rumah mungil yang bersih dan tertata rapi. Dan perempuan siap mengelola itu. Jika sebuah tempat mungil saja tak mampu kau berikan, wahai lelaki, wajar bukan jika mereka sakit dan menderita?
Aduuuh, mbak Afra gak adil, terlalu membela kaum perempuan, haha.
Tapi, okelah. Perempuan memang rata-rata lemah saat menderita. Jadi, problemanya, lelaki lemah dalam mengelola kesyukuran. Perempuan lemah dalam mengelola kesabaran.
Tentu ini hanya sebuah opini yang perlu dibuktikan dengan riset lebih lanjut.
Lepas dari benar atau salah, semoga warning ini bisa diperhatikan para lelaki yang tengah jaya dan penuh kuasa. Jika ini adalah titik lemah lelaki, tak ada salahnya menjadi lebih aware. Tetaplah menjejak ke bumi, meskipun kau bisa melenting ke angkasa. Lihatlah, siapa-siapa saja yang telah memberikan dukungan kepadamu saat kau masih berjuang. Setinggi-tinggi merpati terbang, pastikan tetap mendarat di sarang, di mana anak dan istrimu menunggu dalam kesetiaan.
Posting Komentar untuk "Ujian Terberat Para Pria Adalah Saat Kaya, Benarkah?"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!