Widget HTML #1

Memahami 8 Tahap Perkembangan Anak Menurut Teori Psikososial Erikson


Apakah Sobat pernah melihat seorang anak yang ketakutan melihat orang lain? Sulit untuk bisa lekat, kecuali hanya dengan pengasuhnya saja. Bahkan, sangat menyedihkan, ada seorang ibu yang karena suatu keadaan terpaksa bekerja dan menyerahkan pengasuhan anaknya kepada baby sitter. Saat pulang kerja, si ibu tentu sudah sangat kangen dan ingin memeluk anaknya. Tetapi, si anak justru menghindar dan berlari kepada baby sitternya. Terbayang, betapa hancurnya perasaan si ibu. Hiks...

Atau, pernahkah kita melihat seorang kakek yang sehari-hari tampak frustasi, kecewa, bingung, dan bahkan mengumpati keadaan dan marah kepada siapa saja yang datang padanya? Atau seorang remaja yang kebingungan dengan dirinya, bahkan untuk memilih jurusan apa di bangku kuliahnya pun kesulitan?

Kondisi-kondisi tersebut, bisa jadi muncul karena ketidakmampuan melewati krisis di masa perkembangannya. Jadi begini. Ada satu teori terkenal yang dimunculkan oleh Erik Erikson, seorang Psikolog Jerman yang hidup dari tahun 1902-2994. Teori tersebut dikenal dengan nama Teori Perkembangan Psikososial, karena basik teorinya memang tentang kondisi psikologis dan sosial dari seseorang.

Intisari dari Teori Psikososial adalah, bahwa sejak dari lahir hingga meninggal, setiap orang melewati delapan tahap perkembangan yang mereka alami selama rentang hidup seseorang tersebut. Namanya setiap orang, berarti termasuk saya, kamu, dan juga orang-orang yang kita kenal. Delapan tahap itu apa saja? Ayo kita bahas.


Tahap Pertama - Trust vs Mistrust

Tahap pertama, yaitu masa Infancy, yakni periode dari seseorang lahir hingga 18 bulan. Pada tahap ini terjadi krisis trust vs mistrust. Pada saat itu, bayi mulai belajar mempercayai orang-orang di sekitarnya, seperti orang tua, kakak dan adik, keluarga besar, tetangga, dan juga pengasuh. Jika bayi merasa nyaman dengan orang-orang terdekat, maka akan tumbuh perasaan trust pada mereka. Namun, jika ternyata orang-orang terdekat tidak bisa memberikan perasaan nyaman, justru akan muncul rasa tak percaya, yang berdampak pada munculnya rasa takut, sedih dan juga sulit untuk bisa menerima kehadiran orang lain.

Tahap Kedua - Autonomy vs Shame & Doubt

Tahap kedua, yaitu masa Early Childhood, dari usia 18 bulan hingga 3 tahun. Pada tahap ini terjadi krisis autonomy vs shame and doubt. Orang tua dan orang-orang di sekitar anak-anak ini mestinya mengajari anak untuk bisa melakukan sendiri hal-hal yang bisa dilakukan, seperti belajar makan sendiri, belajar memakai baju, dan hal-hal lain yang mungkin bisa dilakukan anak usia satu setengah hingga 3 tahun. Jika anak tidak diajarkan untuk bisa mandiri, maka akan muncul rasa malu dan ragu pada diri sendiri.

Tahap Ketiga - Initiative vs Guilt

Tahap Ketiga, yaitu masa Preschool, ketika usia antara 3 tahun hingga 5 tahun, pada tahap ini terjadi krisis initiative vs guilt. Jika anak sudah punya trust dan autonomy, tibalah pada saat dia belajar berinisiatif melakukan apa-apa yang penting dan dia sukai. Tetapi, jika dia telah mengalami mistrust, tumbuh dalam perasaan malu dan ragu, maka dia akan sulit berinisiatif dan akan terus melakukan kesalahan (guilt).

Tahap Keempat - Industry vs Inferiority

Tahap keempat, yaitu masa School Age, yakni ketika anak sudah masuk usia 5-13 tahun, pada tahan ini terjadi krisis industry vs inferiority. Pada saat ini, anak-anak telah masuk usia sekolah. Harusnya dia sudah bisa menjadi sosok yang rajin dan tekun dalam menghasilkan prestasi. Namun, jika dia tidak bisa melewati krisis di masa ini dengan baik, dia akan menjadi sosok yang inferior, merasa rendah diri, kurang percaya diri.

Tahap Kelima 
Tahap kelima, yaitu masa Adolescence, kisaran usia antara 13 hingga 21 tahun, inilah adalah fase-fase remaja, saat manusia telah mulai matang secara reproduksi. Pada tahap ini terjadi krisis identity vs role confusion. Pada tahap ini, seorang remaja mestinya sudah bisa memiliki identitas yang jelas, siapa saya, apa potensi saya, apa cita-cita saya, apa harapan hidup saya, dan sebagainya. Namun, jika tidak bisa melewati krisis di masa ini, remaja justru akan mengalami kebingungan akan perannya. Sebenarnya aku ini siapa? Aku harus berbuat apa? Kok kayaknya aku tidak bisa ngapa-ngapain? Aku kok gini-gini aja ya progresnya. Aku takut dengan masa depanku. Aku bingung, gamang, cemas … dan sebagainya.

Tahap Keenam - Intimacy vs Isolation

Tahap Keenam, yaitu masa Young Adulthood, kisaran usia antara 21 hingga 39 tahun, atau masa dewasa awal. Pada periode ini terjadi krisis intimacy vs isolation. Orang yang bisa menjalani usia ini dengan baik, mulai akan menjalin interaksi yang akrab dengan teman-teman, juga lawan jenis yang kemudian berlanjut pada ikatan cinta dan rumah tangga. Dia sudah mampu membangun relationship yang hangat, manis, dan bertanggung jawab. Namun, jika seseorang tidak mampu melewati krisis di periode ini, dia justru akan terisolasi, merasa sendiri, mengurung diri, tidak ‘gaul’ dan sebagainya.

Tahap Ketujuh - Generativy vs Stagnation

Tahap Ketujuh, yaitu masa Middle Adulthood, kisaran usia antara 40 hingga 65 tahun, pada periode ini terjadi kiris generativity vs stagnation. Orang yang sukses melewati usia dewasa madya ini, dia akan sangat produktif, bertanggung jawab, dan banyak memberi kontribusi pada keluarga dan masyarakat. 

Dalam rumah tangga, dia mungkin sudah menjadi orang tua yang memiliki anak-anak, mendidik mereka dengan baik, mampu menjalankan peran sebagai orang tua yang baik. Dia juga sukses dalam karir dan profesi, mampu mendidik orang-orang di sekitarnya menjadi sosok yang lebih baik. Menjadi guru bagi anak-anak dan masyarakat, serta keteladanan dalam masalah kearifan atau wisdom. Namun, jika orang tersebut tidak mampu melewati periode ini dengan baik, dia akan terjebak pada stagnasi, mandek, tidak produktif, egois, atau istilahnya “kopral macet”.

Tahap Kedelapan - Ego Integrity vs Despair

Tahap Kedelapan, yaitu masa Maturity, kisaran usia antara 65 tahun hingga wafat, pada periode ini terjadi krisis ego integrity vs despair. Jika pada periode ini dia berhasil melewati krisis dengan baik, dia akan menjadi sosok penuh integritas. Integritas adalah kondisi manusia seutuhnya yang benar-benar mampu menjadi sosok terbaik sebagai manusia. Pemikiran unggul, attitude yang baik, keunggulan akal budi, dan optimalisasi potensi-potensi diri merupakan hal-hal yang dimiliki oleh orang yang memiliki integritas. Sebaliknya, kontras dengan hal ini, orang-orang tua yang gagak mendapatkan integritas, akan menemukan dirinya sebagai sosok yang kecewa, sosok yang the complete loss or absence of hope alias tak memiliki harapan apapun dalam hidupnya.

Posting Komentar untuk "Memahami 8 Tahap Perkembangan Anak Menurut Teori Psikososial Erikson"