Widget HTML #1

Wahai Orangtua, Jangan Abaikan Tahap “Trust vs Mistrust” Pada Bayi Anda


Mayoritas, atau paling tidak, sebagian besar kaum ibu pasti menyambut kelahiran bayinya dengan bahagia. Jika Sobat adalah seorang ibu, coba ingat-ingat kembali, bagaimana perasaan Bunda saat melahirkan—khususnya jika kelahirannya spontan alias normal. Begitu bayi keluar, rasanya sangat lega, sangat bahagia, luar biasa. 

Rasa sakit hilang seketika. Lalu, muncullah rasa ingin bersama si bayi tersebut. Betapa haru saat kita mulai menyusui dan memeluk bayi merah itu. Betapa momen tersebut tak bisa kita lupakan sepanjang hidup kita. 

Bagi ibu yang melahirkan dengan proses operasi bedah cesar, mungkin agak berbeda dengan kelahiran normal. Namun, fase-fase awal seorang ibu dalam menyambut kelahiran bayinya, pasti menjadi fase yang tak terlupakan. Ini terkecuali pada ibu-ibu dengan problem tertentu, semacam post partum depression, atau masalah-masalah tertentu yang membuat dia membenci bayinya. Kapan-kapan saya akan bahas khusus problem ini, ya. 

Ketika akhirnya bayi tersebut tumbuh besar, menjadi anak yang kuat, lalu menjadi remaja yang gagah perkasa, rasa haru itu semakin berbuncah-buncah. Lucu ya, ketika kita ingin terus memeluk anak kita, sementara dia sudah tumbuh menjadi sosok yang fisiknya bahkan jauh lebih tinggi dari kita.

Para ahli, seperti John Bowlby, percaya bahwa mencintai anak adalah sebuah naluri yang bersifat bawaan pada seorang ibu. Alias genetik. Agama Islam pun, dalam Al-Quran menyebutkan bahwa secara fitrah, seorang ibu—juga ayah, pasti akan mencintai anaknya. Bahkan kecintaan itu kadang berlebihan, sehingga membuat lupa pada kewajiban-kewajiban yang lebih besar, seperti dakwah di jalan Allah. Ketika kita mendapati Al-Quran memberikan warning, pahami konteksnya. Bukan berarti Islam tidak menyukai orang tua memberikan perilaku istimewa untuk anak. Tetapi, jangan berlebihan.

Secara umum, Islam justru sangat menganjurkan—bahkan mewajibkan orang tua untuk memberikan perhatian, kasih sayang, pendidikan dan perlakuan khusus kepada anak-anak di usia bayi. Salah satunya, anjuran untuk menyusui hingga 2 tahun. Itu tentu tugas untuk ibu. Sementara, saat ibu menyusui bayinya, sang ayah wajib memenuhi kebutuhan primer dan memberikan support moral. Bahkan, jika si ibu ternyata tidak bisa menyusui bayinya, sang ayah dianjurkan untuk mencari ibu susu dan membayarnya dengan patut. Untuk lebih detilnya, silakan cek di Surat Al Baqarah ayat 233, yang artinya tersebut di bawah ini:

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian (melakukan hal yang sama jika ayah bayi tersebut wafat). Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah: 233).

Detail tentang penyusuan pada bayi, silakan baca di sini:

Periode awal kehidupan seorang manusia merupakan periode sangat penting dalam hidup manusia selanjutnya. Banyak yang percaya, bahwa baik atau tidak perlakuan pada masa itu, berefek panjang terhadap kondisi fisik, psikis, kognitif, emosi dan sosial bayi tersebut.

Periode Infancy: Trust vs Mistrust

Erik Erikson menamai periode tersebut sebagai periode infancy, yakni usia 0-18 bulan, yang secara spesifik disebut sebagai periode “Trust vs Mistrust.” Sebagaimana kita tahu, periode ini adalah tahap pertama dalam teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Periode ini disebut "Trust vs Mistrust" atau "Kepercayaan vs Ketidakpercayaan", sebab pada tahap ini, bayi mulai belajar apakah dunia di sekitarnya dapat dipercaya atau tidak. 

Jika bayi percaya dengan dunia dan sekitarnya, maka dia akan melakukan eksplorasi dan adaptasi sehingga selanjutnya bisa lebih mandiri. Jika tidak percaya, bayi akan terus ketakutan, emosional, pemarah dan sulit untuk bisa tumbuh dengan mandiri. Perasaan dasar ini akan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak di kemudian hari.


Pada tahap "Trust vs Mistrust" ini, bayi bersifat dependent, alias bergantung sepenuhnya pada caregivers-nya. Tentu! Bayi kan tidak bisa memenuhi sendiri kebutuhan mereka, termasuk nutrisi, rasa aman, kasih sayang, kehangatan, pakaian yang nyaman dan sebagainya. Bahkan untuk pipis dan pup saja mereka masih dibantu orang lain. 

Jika kebutuhan bayi seperti diberi kebutuhan makanan dan minuman, pelukan hangat, pakaian yang lembut, perawatan dan sebagainya terpenuhi dengan penuh kasih sayang dan konsisten, maka tumbuhlah rasa percaya (trust) pada dunia. Bayi yang merasa aman dan nyaman akan mulai percaya bahwa orang-orang di sekitarnya dapat diandalkan. Bayi tersebut mengalami apa yang disebut sebagai secure attachment atau kelekatan yang aman.

Namun, jika bayi mengalami pengabaian, perlakuan kasar, atau ketidakkonsistenan dalam pemenuhan kebutuhan mereka, bayi cenderung mengembangkan rasa ketidakpercayaan (mistrust). Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi cemas, ragu, atau kurang merasa aman di kemudian hari. Bayi akan merasakan apa yang disebut sebagai insecure attachment atau kelekatan yang tidak aman.

Yang harus kita pahami bersama, kelekatan yang aman itu sangat penting bagi bayi. Jadi, kita harus memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi dengan baik agar bayi dapat tumbuh dengan rasa percaya yang kuat pada lingkungan dan hubungan yang mereka miliki. Para pakar psikologi perkembangan percaya, bahwa problem-problem psikososial yang dialami oleh manusia pada masa kini, sangat dipengaruhi dari bagaimana era-era sebelumnya. 

Misal, kenakalan remaja seperti tawuran, narkoba, dugem dan sebagainya, disebabkan karena kurang terpenuhinya apa-apa yang menjadi tugas perkembangan mereka di masa bayi dan anak-anak. Nah, jika kenakalan remaja itu tidak tertangani dengan segera, maka saat mereka dewasa, problem tersebut akan bertumpuk sehingga saat seseorang sudah memasuki usia lansia, dia akan menjadi lansia yang kecewa, frustasi, pemarah atau bahkan depresi di masa tuanya.

Jadi, salah satu cara mendidik anak agar bisa tumbuh menjadi sosok yang adaptif, adalah dengan mendidik anak sesuai tahap-tahap tumbuh kembangnya. Teori Psikososial dari Erik Erikson itu hanya salah satu teori yang secara ringkas membahas 8 tahap perkembangan anak dari tinjauan psikososial. Sementara, tugas-tugas perkembangan seseorang tentu lebih detail dan rumit lagi. InsyaAllah kapan-kapan saya tuliskan di blog ini.

Apakah karakter adaptif itu? Kita bisa mendefinisikan sebagai karakter berupa kemampuan sosial dan individu untuk menyesuaikan diri dengan norma atau standard yang berlaku di lingkungannya. Lawan dari karakter adaptif adalah karakter maladaptif. Kenakalan adalah konsekuensi dari ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan norma dan standard yang berlaku tersebut.

Nah, bagaimana cara mendidik anak di Tahap Trust vs Mistrust ini? Silakan baca kelanjutan artikel ini di sini: 5 Cara Mendidik Anak pada Tahap Trust vs Mistrust.

Posting Komentar untuk "Wahai Orangtua, Jangan Abaikan Tahap “Trust vs Mistrust” Pada Bayi Anda "