Widget HTML #1

Memahami Tahap Kedua Teori Psikososial: Autonomy vs Shame and Doubt


Kita sudah cukup banyak membahas tentang tahap pertama dari delapan tahap Teori Psikososial menurut pakar psikologi Erik Erikson di beberapa artikel sebelum ini, yaitu tahap Trust vs Mistrust yang terjadi pada masa infancy atau bayi berusia 0 hingga 18 bulan. Periode ini sangat lekat dan identik dengan attachment atau kelekatan antara bayi dengan main caregivers—khususnya tentu orang tua, dan lebih khusus lagi adalah ibu. 

Dalam konteks Jawa, kita mengenal konsep Asah-Asih-Asuh. Asah mengacu pada stimulus yang diberikan kepada bayi. Stimulus ini sangat penting untuk perkembangan otak bayi. Asih adalah kasih sayang, dan Asuh adalah pemberian nutrisi berupa ASI untuk pertumbuhan fisik bayi. 

Sekarang, mari kita bahas fase selanjutnya, yaitu fase kedua, yang ternyata juga tak kalah pentingnya dalam tumbuh kembang bayi. Sebagaimana kita tahu, teori psikososial Erik Erikson terdiri dari delapan tahap perkembangan yang dialami manusia sepanjang hidupnya. Setiap tahap mencerminkan konflik psikososial yang harus diselesaikan oleh individu agar dapat tumbuh dengan sehat. 

Perlu kita garis bawahi, bahwa tahap-tahap tersebut tidak berdiri sendiri. Semuanya memiliki kaitan satu sama lain. Kesuksesan melewati tahap sebelumnnya akan menjadi awalan baik untuk tahap berikutnya. Sebaliknya, kegagalan melewati krisis tahap sebelumnya, akan menumpuk dan jadi kendala untuk kesuksesan melewati krisis di tahap selanjutnya, sehingga proses pendidikan anak menjadi lebih berat. 

Bayangkan jika di tahap berikutnya pun PR-PR sebelumnya tidak bisa dikerjakan, maka beban akan semakin menumpuk di masa depannya. Kenakalan anak, kenakalan remaja, bahkan “kenakalan orang tua”, menurut para pakar psikologi perkembangan, berawal dari tidak tuntasnya seseorang dalam melewati tugas-tugas perkembangan sesuai tahapan bio-psikologisnya.

Ini mirip ketika kita diberikan delapan tugas dalam delapan waktu. Harusnya setiap waktu kita kerjakan untuk mengerjakan satu tugas. Tetapi, karena kita gagal menyelesaikan, tugas itu akan bertumpuk. Sangat mungkin di akhir waktu, kita masih memiliki delapan pekerjaan yang harus diselesaikan sekaligus.

Nyatanya, kehidupan jauh lebih pelik dan kompleks daripada sekadar pelaksanaan tugas-tugas dalam analogi tersebut di atas. Artinya, kompleksitas masalah yang muncul karena adanya ‘delay’ dari perkembangan tersebut, tidak sekadar menjadi akumulasi tugas, tetapi efek-efek tersebut mungkin akan berimplikasi kesana kemari. Masalahnya bertumpuk bukan sebagai pertambahan, tetapi mungkin perkalian yang ruwet.

Fase kedua adalah fase early childhood, merupakan periode autonomy vs shame-doubt. Tahap perkembangan Psikososial kedua ini merupakan sebuah periode krusial yang akan membentuk bayi menjadi sosok yang mandiri yang bisa melakukan sendiri hal-hal sederhana yang bisa dilakukan anak seusianya, atau jika gagal menjadi mandiri, dia justru menjadi sosok yang dalam bahasa Jawa disebut sebagai celingus dan peragu. 

Celingus bisa dimaknai sebagai pemalu, tetapi bukan malu dalam pengertian yang dirasakan oleh orang dewasa—semisal dua calon pengantin yang bertemu pertama kali. Saya cenderung lebih suka menggunakan kata celingus ini untuk menterjemahkan rasa shame yang dimaksud dalam tahap ini. Celingus adalah malu yang berasal dari rasa tidak percaya diri, yang bercampur rasa takut, gamang, dan mungkin benci pada diri sendiri. 

Tahap kedua dari Teori Psikososial ini, yakni tahap Autonomy vs Shame and Doubt, terjadi pada masa early childhood, dimulai dari anak berusia lebih dari 18 bulan hingga mencapai usia 3 tahun. Pada saat ini, anak sudah bisa berjalan, bisa berkomunikasi dengan puluhan hingga ratusan kata, bisa mengerjakan beberapa hal sederhana, ingin mencoba segala hal, dan mulai meniru-niru apa yang dia lihat di sekitarnya. Inilah saat yang tepat bagi anak untuk mulai mengembangkan rasa kemandirian.

Pada tahap ini, anak harusnya mulai menunjukkan keinginan untuk melakukan berbagai aktivitas secara mandiri, seperti makan, berpakaian, dan berjalan-jalan mengeksplorasi rumah dan halaman rumah. Inilah masa di mana anak mulai mengeksplorasi dunia dan lingkungannya dengan lebih bebas, serta belajar untuk mengontrol tubuh dan perilakunya.

Autonomy atau otonomi didefinisikan sebagai kemampuan anak untuk melakukan hal-hal sendiri serta mampu membuat pilihan tanpa campur tangan orang lain. Misal, ketika disodori dua jenis mainan kemudian diminta memilih, anak sudah bisa memilih tanpa merasa ragu. Bukan justru merebut keduanya, atau meminta satu, namun kemudian berganti meminta yang lain. Ketika anak berhasil melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, ia akan merasakan rasa percaya diri dan harga diri yang meningkat. 

Sementara, rasa malu—atau celingus tadi—dan rasa ragu, muncul ketika anak gagal mengembangkan karakter otonomi tadi. Biasanya, ini muncul sebagai respon akan banyaknya kritikan, kontrol yang terlalu ketat, diolok-olok atau dipermalukan saat mencoba melakukan sesuatu secara mandiri, atau selalu dilayani dalam kondisi apapun, termasuk disuapi saat makan. 

Saya ingat, dahulu pernah menegur dengan agar keras seorang kenalan, gara-gara kenalan saya tersebut mengolok seorang anak kecil yang menggunakan pakaian dengan warna yang menurutnya kurang cocok. Anak kecil tersebut menangis terisak-isak gara-gara kritikan kenalan saya itu. Kenalan saya memang punya bakat sebagai desainer yang cukup menonjol. Sayangnya dia saat itu belum memahami bahwa kritikan dia yang spontan itu bisa berefek buruk terhadap kondisi mental anak kecil.

Dan kita bisa melihat, betapa banyak kejadian semacam itu terjadi di sekitar kita. Dan kita justru seringkali menjadi pelaku, sadar atau tidak sadar.

Anak yang gagal mendapatkan otonomi, dia akan merasakan shame and doubt. Anak ragu dengan kemampuannya sendiri, menganggap dirinya tidak mampu melakukan sesuatu dengan benar, dan ini membuatnya menjadi kurang memiliki kepercayaan terhadap dirinya.

Meski fase ini sangat penting dalam pembentukan dasar-dasar kepercayaan diri dan harga diri anak di kemudian hari, nyatanya masih banyak orang tua yang abai dengan fase ini. Seringkali, karena malas melihat kondisi berantakan saat anak belajar makan sendiri, orang tua memilih menyuapi anaknya saat makan. Karena jika mandi sendiri anak justru berendam sangat lama—dan beberapa kasus sering menghabiskan sabun untuk membuat “susu” di dalam ember, orang tua memilih untuk memandikan anak, memakaikan baju, menyisiri, dan semua pekerjaan yang sebenarnya mulai bisa dilakukan sendiri.

Intinya, anak-anak yang berhasil melewati tahap ini dengan baik, mereka akan menjadi individu yang mampu mengendalikan diri dan lingkungan mereka. Sebaliknya, anak yang terlalu sering mengalami kegagalan atau dikritik secara berlebihan dapat mengalami perasaan malu yang berkepanjangan—atau celingus, peragu, dan tidak yakni dengan kemampuan dirinya. Dia akan menjadi sosok minder, kurang percaya diri, dan penakut.

Posting Komentar untuk "Memahami Tahap Kedua Teori Psikososial: Autonomy vs Shame and Doubt"