Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat?
Saat ini, kita sering melihat betapa sengitnya adu pendapat di kalangan netizen. Saking ngototnya mempertahankan pendapat, banyak yang terjebak dengan mengkafirkan satu sama lain. Padahal, perbedaan pendapat sebenarnya telah terjadi sejak zaman dahulu, era para Sahabat.
Di zaman Nabi, ada satu peristiwa yang bisa kita analogikan di masa kini: perbedaan mensikapi sebuah fenomena. Sangat menarik, karena ternyata Nabi tidak mencela salah satu dan membenarkan yang lain. Karenanya keduanya memiliki dasar pengambilan keputusan dari satu dalil yang sama. Yaitu hadist ini:
“Janganlah (ada) satu pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari).
Pada tahun ke-5 Hijriah, terjadi pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraizhah, yang membuat Rasulullah mengambil keputusan tegas untuk memerangi mereka. Rasulullah pun mengutus pasukan ke Bani Quraizhah dengan pesan: “Janganlah (ada) satu pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari).
Di tengah perjalanan, ternyata waktu shalat ashar telah tiba. Sebagian sahabat segera melakukan shalat ashar, karena mempertimbangkan bahwa mereka tak mungkin melakukan shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah. Mereka berpendapat, bahwa esensi Hadist Nabi tersebut adalah: berjalanlah secepatnya agar para sahabat bisa ke Bani Quraizhah saat Ashar.
Namun, sebagian sahabat yang lain tetap bersikukuh, bahwa mereka harus shalat di tujuan, sebagaimana pesan Nabi. Mereka pun shalat di Kampung Bani Quraizhah.
Saat kembali ke Madinah, ada sahabat yang menceritakan perbedaan itu kepada Nabi. Ternyata Nabi SAW tidak menyalahkan keduanya (Ibnu Hajar Al-Asqalani, 7/328).
Jadi, perbedaan sudah terjadi di zaman Nabi. Adanya perbedaan dalam memahami makna secara tersirat dan tersurat sudah ada di kalangan Para Sahabat. Maka, tak bijak jika kita sering menyalahkan orang-orang lain hanya gara-gara memiliki pendapat yang berbeda.
Secara umum, perbedaan pendapat (ikhtilaf) ada dua, ikhtilaf tadhadh dan ikhtilaf al-tannawwu'.
Ikhtilaf tadhadh, yaitu perbedaan pendapat untuk perkara yang telah jelas, terang benderang dalil-dalilnya, baik perkara ushul maupun furu', seperti shalat, zakat, haji dan sebagainya, jelas tidak diperbolehkan.
Namun, mayoritas ulama mentolerir perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam perkara yang sifatnya ijtihadi, yakni ikhtilaf yang disebabkan adanya kesamaran dalil bagi seorang mujtahid, baik dalam wurud ataupun dilalah. Ini merupakan bagian dari ikhtilaf al-tanawwu’ yang diakomodir dalam agama Islam (Mahir Yasin Al-Fahl, 294).
Salah seorang ulama besar, pendiri Mazhab Hanafi, Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata, “Ucapan kami ini hanyalah satu pendapat yang paling baik menurut kami. Siapa yang memiliki pendapat yang lebih baik, tentu ia lebih utama untuk dibenarkan daripada kami." (Said Basyanfar, 11).
Para ulama yang ilmunya tak kita ragukan saja bersikap seperti itu, apalah artinya kita yang hanya remah rengginang.
Jadi, mari kita saling legawa untuk menerima perbedaan, karena perbedaan (dalam beberapa hal) adalah rahmat.
Posting Komentar untuk "Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat?"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!