Widget HTML #1

Jangan Mudah Membenci, Jangan Terlalu Gampang Mencintai



Akhir-akhir ini, kita sering sekali melihat fenomena yang bikin kita menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang. Apalagi jika bukan perkara ekspresi perasaan cinta dan benci. Ada seseorang membunuh pacarnya sendiri, ada suami melakukan kekerasan terhadap istrinya, ada fans memaki-maki idolanya, ada anak menceritakan borok orang tuanya. Kita bertanya-tanya: di mana posisi cinta? Bukankah mereka seharusnya adalah orang-orang yang diikat perasaan cinta? Apakah cinta telah menguap dan pergi?

Lantas, kita menjadi ingat dengan kalimat yang sangat sering kita dengar, bahwa benci dan cinta itu batasnya tipis. Bahkan, cinta dan benci batasnya kadang hanya setipis kulit ari. Kulit yang mulus akan terlihat mengerikan saat kulit ari tergores, karena mengalirkan darah segar yang tampak menyeramkan. Demikian juga, saat batas antara benci dan cinta terkelupas, cinta dan benci akan tercampur dan akhirnya menjadi tak jelas lagi perasaan yang kita miliki. Gado-gado. Antara pahit dan manis. Antara kesal dan merindu.

Cinta mungkin memang salah satu jenis emosi yang paling unik. Lalu, mengapa orang yang pernah mencintai bisa dengan cepat membenci? Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa menjelaskan hal tersebut. Jika Anda kurang sepakat, silakan berdiskusi dengan memberikan komentar di bawah artikel ini ya?

Pertama, cinta pada cinta ada harapan dan rasa ingin memiliki. Ketika sedang jatuh cinta pada seseorang, tentunya kita memiliki banyak harapan-harapan indah tentang hubungan cinta itu, kan? Kita juga secara alamiah akan merasa memiliki dan ingin menghabiskan banyak waktu untuk bersamanya. Pada kenyataannya, manusia tak akan mampu memberikan semua yang kita harapkan. Dari situlah muncul rasa kecewa. Kecewa ini bisa dengan cepat menepis perasaan cinta yang kita miliki, dan secara ekstrim bisa mengubah perasaan cinta menjadi benci.

Kedua, bisa dijelaskan dengan faktor hormonal. Jatuh cinta memang berhubungan dengan hormonal. Ketika sedang jatuh cinta, dopamin dan serotonin kita meningkat. Sementara, pada jenis cinta erotis, jatuh cinta juga dipengaruhi hormon-hormon reproduksi seperti testosteron pada laki-laki, dan estrogen pada perempuan. Hormon-hormon ini meningkatkan rasa gembira di dalam diri kita saat jatuh cinta. Kegembiraan tersebut biasanya membuat kita menjadi tidak rasional, sehingga apapun yang terjadi pada orang yang kita cintai, termasuk hal-hal negatif, kita tidak menyadari. Namun, ketika hormon-hormon cinta itu menurun kadarnya, kita mulai rasional dan melakukan penilaian, akhirnya kita kecewa. Kekecewaan tersebut membuncah, karena kita sudah telanjur membuat ikatan-ikatan komitmen yang akhirnya menjebak kita pada sebuah hubungan beracun, atau toxic relationships.

Kita mungkin pernah mendengar konsep roda emosi menurut Plutchik, yang sering disebut sebagai Plutchik's Wheel of Emotions. Teori ini dikaji mendalam oleh Robert Plutchik, seorang profesor psikologi dari Amerika Serikat.

Menurut Robert Plucthik, komponen-komponen emosi membentuk roda dengan elemen-elemen emosi sebagai berikut. Silakan cermati gambar di bawah ini. Khususnya di elemen cinta.
Roda Emosi Plutchik

Menurut Plutchik, cinta merupakan kombinasi dari dua hal, yaitu joy dan trust, kegembiraan dan kepercayaan. Rasa gembira, bisa sangat dipengaruhi oleh hormon-hormon cinta. Namun, trust dibangun dari penerimaan dan kekaguman. Ada kalanya kadar hormon cinta kita turun, tetapi karena trust masih terpelihara, maka hubungan cinta menjadi awet. Namun, cinta yang tak dibarengi dengan trust, jelas akan sulit untuk awet.

Namun begitu, tak ada yang tak berubah di dunia ini... kecuali makna dan konsep perubahan itu sendiri. Apapun bisa berubah, termasuk keimanan. Ya, keimanan seseorang itu pun bisa naik dan bisa turun. Kondisi saat ini, bisa jadi berbalik 180° di masa yang akan datang. Perasaan trust kita terhadap seseorang sangat dipengaruhi dari hal ini. Ada orang yang sangat kita kagumi karena keimanan mendalam yang dia miliki, namun suatu saat kita melihat orang itu berubah drastis dan bahkan melakukan kemaksiatan yang membuat kita kecewa. Atau sebaliknya, keimanan kita yang turun ternyata juga mempengaruhi persepsi kita terhadap orang lain, termasuk orang yang kita cintai.

Salah satu cara menyelamatkan diri kita dari racun cinta adalah logika. Ketika kita menjadi sosok yang lebih mengedepankan logika, maka kita akan mampu mengontrol diri kita untuk tidak terlalu hanyut dalam aliran cinta, sekaligus tidak terlalu terbakar api kebencian saat melihat dia ternyata tak seindah yang kita kira.

Yuk, perkuat logika kita. Jangan terlalu mudah menghakimi orang. Jangan terlalu gampang membenci atau mencintai tanpa kita tahu siapa dia sebenarnya. Orang yg saat ini kita jadikan pesakitan, suatu saat bisa jadi menjadi gurumu dalam kebaikan. Orang yang saat ini menjadi sahabat kita bisa jadi suatu saat jadi musuh kita. Yang saat ini menjadi klien kita, suatu saat mungkin jadi pesaing berat... 

Indah sekali pesan Nabi SAW dalam hadist ini:
Cintailah orang yang engkau cintai seperlunya, karena bisa saja suatu hari dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang kamu benci seperlunya, karena bisa jadi suatu hari kelak dia akan menjadi orang yang engkau cintai. (HR Tirmidzi).

Semoga kita bisa terhindar dari terombang-ambingnya hati hanya karena terlalu kuat mencintai atau terlalu kuat dalam membenci.

Posting Komentar untuk "Jangan Mudah Membenci, Jangan Terlalu Gampang Mencintai"