Manajer Kok Suka Nongkrong, Wajarkah?
Apakah Sobat termasuk orang yang menganggap bahwa seorang manajer itu sebaiknya tidak terlalu banyak bicara, menjaga jarak dengan karyawan, menjaga kharisma, kalem, dan selalu di depan meja merancang ini dan itu, fokus membuat strategi untuk mengejar target? Rajin datang ke kantor, jika perlu sejak sebelum jam kantor, sibuk menghadapi setumpuk kertas, menghadap komputer berjam-jam, dan tak perlu banyak bicara dengan staf-stafnya?
Tentu tak salah pandangan itu. Seringkali, kantor-kantor dengan bisnis tipe-tipe tertentu memang membutuhkan manajer-manajer semacam itu. Apalagi yang namanya kharisma, ini penting sekali. Kepemimpinan kharismatik sepanjang masa akan tetap dibutuhkan. Namun, ketika zaman bergerak menjadi semakin cair, kebutuhan-kebutuhan untuk bersikap 'horizontal' telah mematahkan pendapat bahwa hubungan manajer dan karyawan yang sebelumnya sangat bersifat vertikal alias atasan dan bawahan. Sikap feodalisme sudah tidak lagi efektif untuk diterapkan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dunia kerja.
Selama ini, kita melihat banyak para manajer atau pimpinan mengabaikan pentingnya "need of affiliation" (n-aff) dalam berinteraksi dengan staf atau teman-teman kerja, karena menganggap akan menganggu kinerja, merendahkan wibawa, dan menimbulkan subjektivitas. Padahal, menurut (Spangler et al., 2014), n-aff ini penting, seorang leader perlu memulai, memelihara, dan memulihkan interaksi dengan teman sebaya dan atasan. Mereka juga harus bekerja sama dengan pemasok, pelanggan, dan pemangku kepentingan lainnya yang diharapkan dapat mendorong kerja sama dan kerja sama tim.
Eh, apa sih need of affiliation atau n-aff itu? Bagi yang belum tahu atau lupa, saya refresh kembali, ya? Teori ini berasal dari seorang psikolog Amerika Serikat, David McClelland. Menurut beliau, kebutuhan setiap orang dibagi menjadi tiga, yaitu kebutuhan berafiliasi (need of affiliation -- n-aff), kebutuhan berkuasa (need of power -- n-power) dan kebutuhan berprestasi (need of achievement -- n-ach). Secara sederhana, n-aff adalah kebutuhan seseorang untuk menjalin interaksi atau bersahabat dengan orang lain. Sedangkan n-power adalah kebutuhan untuk menguasai, memimpin atau mendominasi orang lain, dan n-ach adalah kebutuhan untuk selalu meraih pencapaian sebaik mungkin, meraih target-target, dan melakukan sesuatu dengan maksimal.
Kalau kita melihat sekelompok remaja-remaja di SMA, anak-anak dengan n-ach tinggi biasanya didominasi anak-anak yang masuk sepuluh besar, kutu buku, rajin belajar, kalem, berkacama tebal, hehe. Sedangkan anak-anak dengan n-power tinggi biasanya mengumpul di OSIS atau mungkin di level-level tertinggi organisasi-organisasi di sekolah. Lalu, kemana anak-anak dengan n-aff tinggi? Yap, ngumpul di kantin.
Kalau begitu, mengapa saya membuka diskusi ini dengan adanya kebutuhan para manajer untuk memiliki n-aff? Maksudnya, manajer disuruh banyak nongkrong di kantin atau hang out di kafe, begitu? Nanti target-target bisa tak tercapai, dong.
Hmmm, begini ....
Jadi, saat ini zaman telah berubah. Okay? Saat ini, kekuatan jaringan telah menjadi penentu penting dalam kesuksesan karir (Ng et al., 2005). Jadi, hubungan yang harmonis sangat diperlukan dalam membangun, memelihara, dan memanfaatkan sebuah jaringan (Wolff and Moser, 2009), dan ini membutuhkan n-aff yang tinggi.
Saya pernah berdiskusi dengan anak-anak saya yang sudah remaja. Hm, mereka sebenarnya bukan anak-anak nongkrong. Tetapi, ternyata mereka juga kurang suka dengan teman-temannya yang memiliki n-ach terlalu tinggi sehingga selalu mengondisikan teman-temannya untuk selalu bersiap siaga di kelas-kelasnya.
"Bayangin, kita semua nggak ada yang siap ulangan, tiba-tiba saat guru bertanya, apakah kita siap ulangan? Tiba-tiba si A (si anak dengan n-ach tinggi) bilang, 'Siap, Pak!' Apa nggak mangkel tuh, teman-teman yang lain...."
Eh, tapi kan, si A itu benar kan? Bahwa semua anak itu memang harusnya belajar setiap saat. Iya, benar secara idealita, tetapi secara realita .... Haha, sulit ya menjelaskan hal ini. Sebagai orang yang pernah memiliki n-ach tinggi, saya juga pernah menjadi seperti si A. Rasanya bangga sekali bisa berkata 'siap' ketika yang lain meringis. Sekarang, saya tahu bahwa perilaku seperti si A ini justru membuat si A banyak dijauhi teman-temannya. Bagaimana jika si A akhirnya menjadi seorang leader? Apakah dia akan menjadi leader yang disukai?
Begitu juga dengan n-power. Secara umum, DNA para pemimpin mungkin memang banyak 'mengandung' n-power. Bahkan, kebutuhan bisa dominan dan mengendalikan orang lain memang diperlukan oleh seseorang sebagai modal untuk memimpin. Seorang manajer harus tegas, kokoh, dan punya orientasi yang kuat. Bukankah untuk itu, dia diberi wewenang oleh pihak yang memberikannya kuasa memimpin?
Okay, kita semua setuju. Namun, menurut saya, sudah bukan saatnya lagi seorang leader terus menerus menggunakan pendekatan kekuasaan. N-power itu tentu tetaplah penting, hanya bukan menjadi satu-satunya. Demikian juga, motivasi untuk mengejar target-target dengan semaksimal mungkin seperti yang terdapat pada orang-orang yang memiliki need of achievement (n-ach) pun juga bukan satu-satunya parameter yang menjadikan seseorang layak menjadi leader. Terlebih, banyak penelitian bahwa orang ber-n-ach tinggi bahkan sering gagal jadi pemimpin, karena dia akan berorientasi pada prestasi pribadi, bukan bagaimana membangun kerja tim.
Pada prinsipnya, sebenaranya ketiga hal itu harusnya ada pada seorang leader. Kita bisa melihat di gambar ini, bahwa pemimpin yang baik mestinya berada di irisan paling tengah. Hanya saja, saat ini kebutuhan n-aff tampaknya 'paling disepelekan', padahal pada kenyataannya justru sangat diperlukan, maka saya menulis khusus tentang n-aff dalam blog ini.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh para manajer agar bisa memiliki n-aff yang tinggi? Pertama, yang paling penting, ubah dulu mindset, bahwa membangun afiliasi itu tidak penting. Justru, afiliasi ini merupakan satu hal yang saat ini menjadi kunci dalam dunia bisnis yang makin horizontal.
Kedua, para leader harus mulai memangkas jarak dengan orang lain. Bukan saja dengan calon klien, orang-orang potensial, tetapi juga dengan staf dan karyawan kita. Jangan ragu untuk sering nongkrong, ngopi-ngopi dengan staf, kongkow, dan menjalin persahabatan yang tulus.
Ketiga, pahami 'tata krama' membangun afiliasi. Jangan merasa sok pintar, dominan dan senang menindas. Berusaha untuk berempati, dan berorientasi pada kepentingan kelompok. Jangan suka menjatuhkan harga diri orang lain, dan bersikaplah sebagai sosok yang kehadirannya dirindukan semua kalangan.
Ada lagi yang mau Sobat usulkan? Mari diskusi.
Posting Komentar untuk "Manajer Kok Suka Nongkrong, Wajarkah?"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!