Widget HTML #1

judul gambar

Terimakasih Ibu (Renungan Hari Ibu)



Selamat hari ibu, wahai para ibu. Tahukah engkau, mengapa 22 Desember ditetapkan sebagai hari ibu? Sebenarnya jika kita menelisik sejarah, Hari Ibu 22 Desember bukanlah sebuah peristiwa yang berkaitan secara langsung dengan kehidupan domestik seorang ibu, wabil khusus hubungan ibu dengan anak. Sebab, ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai hari ibu, sebenarnya merujuk pada peristiwa yang terjadi di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928, yakni Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Tak mau kalah dengan para pemuda yang telah menggelar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, para perempuan Indonesia bergerak cepat, berkumpul dan mengorganisasikan gerakan yang bertujuan mengoptimalkan peran perempuan dalam kemerdekaan Indonesia.

Namun, meskipun sejarah Hari Ibu sebenarnya berkisar pada peran perempuan sebagai bagian dari bangsa dan negara, sebenarnya tak salah juga jika kita menyoroti peran domestik para ibu, yaitu hubungan seorang ibu dengan anak. Sebab, interaksi ibu dan anak ini sangat berperan penting dalam kehidupan seorang manusia.

Mari kita renungkan kembali, seberapa besar kebaikan yang diberikan ibu kepada kita. Tak terukur, dan tak akan pernah tergantikan oleh apapun.

Ibulah manusia pertama yang membuat kita trust, merasa percaya, bahwa dunia layak kita tempati. Ibu memeluk dan mendekap kita, membisikkan kata-kata penuh kasih sayang, sehingga sosok mungil kita~yang begitu takut dengan dunia yang asing, menjadi lebih tenteram dan damai. ASI yang ibu berikan, kasih sayang yang mereka berikan, adalah bahan baku utama terbentuknya kelekatan (attachment) antara seorang ibu dengan anaknya.

Tanpa adanya trust pada dunia, tanpa adanya attachment yang kuat, bagaimana mungkin akan tumbuh sosok yang kelak menjadi pahlawan-pahlawan bangsa? Banyak manusia yang mengalami luka kepengasuhan sangat dalam, sulit bisa tumbuh menjadi sosok manusia yang utuh dan mampu meraih prestasi secara optimal sesuai potensi dirinya.

Lalu, seiring dengan usia kita, pada usia 1,5 tahun hingga 3 tahun, ibu mendidik kita agar menjadi bocah yang mandiri (outonomy), mampu melakukan sendiri hal-hal sederhana. Kita menjadi bocah lucu yang menyenangkan siapapun, dengan perilaku sederhana namun menggemaskan. Lantas, ketika kita memasuki usia pra sekolah, kita akan dibantu untuk mampu berinisiatif (initiative) melakukan eksplorasi dan mencoba hal-hal baru, sehingga ketika kita masuk usia sekolah, kita akan tumbuh sebagai bocah menjadi produktif (industry), dan dilepaslah kita sebagai sosok remaja dan dewasa muda yang beridentitas (identity).

Dari bekal itu, kita mampu membangun relationship dan intimacy yang baik dengan sahabat kita, orang-orang terdekat, dan tentu ... dengan pasangan kita. Kita pun akhirnya kita berkeluarga, memiliki putera dan mendidik mereka. Kita melakukan proses generativity, dan akhirnya memasuki usia senja sebagai sosok penuh integritas (ego integrity).

Berterimakasihlah pada ibu, yang telah meletakkan dasar-dasar psikososial yang mapan pada bangunan jiwa kita.

Selamat hari ibu! Ibu adalah makhluk mulia. Islam pun sangat memberikan perhatian dan hak-hak istimewa kepada kaum ibu. Bukankah surga itu di bawah telapak kaki ibu? Bukankah ibu berhak kasih sayang lebih prioritas dari anak-anaknya?

Mari ingat kembali satu hadist Nabi ini....

Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad).

Posting Komentar untuk "Terimakasih Ibu (Renungan Hari Ibu)"

banner
banner